07 - Pilihan
Tiga hari, enam kali landing. Didukung cuaca yang bagus hingga pesawat berhasil mendarat dengan selamat. Dari kaca pesawat, Candra memperhatikan para penumpang yang turun. Usai mendapat laporan dari kabin bahwa seluruh penumpang telah meninggalkan pesawat, barulah Candra mematikan mesin, sedangkan Martin menceklis berkas. Sesuai prosedur penerbangan, pilot baru boleh keluar apabila ruang kabin telah kosong.
"Enaknya kita mampir makan dulu, Capt. Kali ini saya yang traktir," kata Martin. Tangannya bergerak menyelipkan kacamata hitam di saku baju. Selama perjalanan pria itu memang mengenakan kacamata supaya tidak silau. Namun, begitu di darat, Martin melepaskannya. Katanya biar tidak ada perempuan yang terpesona.
Candra sedikit melonggarkan dasi menggunakan satu tangan, sementara tangan satu lagi menyeret navbag. "Kamu mau traktir saya apa?"
"Ramen bagaimana?"
"Boleh."
Kemudian, dua pria berseragam putih itu memasuki gerai ramen yang ada di bandara. Martin memesan dua mangkuk ramen chicken katsu untuknya dan untuk Candra. Beberapa menit kemudian, makanan itu datang.
"Kenapa saya ajak Captain makan? Karena kalau saya pulang sekarang percuma. Istri saya sedang pergi ke Belanda karena ada fashion show di sana. Andai saya nggak punya jadwal minggu ini, saya sudah pasti menyusul dia ke sana," cerocos Martin seraya mengunyah mi.
"Udah berapa lama istri kamu di sana?"
"Tiga hari. Selama itu saya tersiksa, tapi saya juga senang karena ini show terakhir dia."
"Jadi, habis ini berhenti?"
"Bukan berhenti, Capt. Tapi, vakum satu sampai dua tahun katanya. Dia ingin hamil dan melahirkan tahun ini. Doakan, ya, semoga usaha kami berhasil."
"Kalau mau berhasil, kamu juga mesti punya jadwal libur," kata Candra berdasarkan pengalamannya sebelum Xania muncul di rahim istrinya. Dulu dia tidak kepikiran Melisa akan memanfaatkan waktu liburnya untuk bisa hamil.
"Ah, benar juga. Tapi, saya punya cara lain, Capt. Saya akan bawa istri ke mana pun saya terbang, termasuk ketika harus menginap. Kerja sambil liburan."
"Itu bisa."
"Istri Captain masih lama persalinannya?"
"Kalau sesuai perkiraan, seminggu lagi."
"Luar biasa! Sebentar lagi Captain jadi orang tua."
Martin melanjutkan makannya, sedangkan Candra mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Ucapan Martin mengingatkannya kalau hari ini dirinya belum mengabari perempuan itu. Berbeda dengan Martin yang sepanjang jalan tadi bertelepon dengan istrinya.
Data seluler dihidupkan. Niat ingin menghubungi Melisa runtuh setelah pesan istrinya lebih dulu masuk. Isinya hampir membuat Candra tersedak.
Mas, kayaknya Xania udah nggak sabar mau ketemu kita. Aku udah di rumah sakit sekarang. Kalau udah selesai, Mas langsung ke sini, ya.
"Maaf, Martin, sepertinya saya nggak bisa lama-lama di sini. Ternyata Melisa sudah di rumah sakit." Candra bangkit, bersiap untuk pergi tanpa menghabiskan ramen. Dia ingin cepat-cepat sampai ke rumah sakit. Melisa membutuhkannya meskipun ia sangat yakin Ratna dan Sintia setia menemani.
"Saya antar kalau gitu, Capt. Bukannya Captain tidak membawa mobil?"
Astaga, Candra melupakan bagian ini. Dia sengaja meninggalkan mobilnya di rumah karena dia pikir tidak akan membutuhkan kendaraan itu. Siapa yang mengira kalau persalinannya akan cepat datang?
Akhirnya Candra menerima tawaran Martin. Usai membayar, Candra menunggu Martin mengeluarkan mobilnya. Bohong kalau dia tidak cemas. Ini sudah berkali-kali Candra mengambil lalu mengembuskan napas. Sudah tidak sabar ingin tiba di rumah sakit.
Mobil Martin datang. Candra masuk dan duduk di samping Martin setelah meletakkan navigasi bag-nya di kursi belakang.
"Pakai sabuk pengaman dulu, Capt. Saya nggak mau kita kena tilang." Martin mengingatkan Candra yang belum memasang sabuk pengaman. Candra langsung melilitkan tali pengaman itu ke tubuhnya.
"Ini kalau saya ngebut nggak apa-apa?"
"Kalau itu bisa bikin saya sampai ke rumah sakit dalam waktu singkat, saya akan sangat berterima kasih."
"Baiklah. Pegangan, ya, Capt. Vee one, rotate!"
Martin menggerakkan tuas, menginjak pedal gas agak dalam, mengucapkan kalimat seolah-olah sedang akan menerbangkan pesawat. Mata sipit pria itu fokus ke jalan, menyalip mobil di depan dengan lincah, menguasai jalan seperti pembalap handal. Candra tidak akan mengomel apalagi menegur Martin untuk mengurangi kecepatan. Yang penting baginya bisa tiba di rumah sakit. Ya, walaupun jantungnya melompat-lompat sekarang.
Jarak tempuh dari bandara ke rumah sakit jika dalam kecepatan normal bisa sampai 45 menit. Ini bisa lebih cepat berkat Martin. Laki-laki itu baru mengurangi kecepatan ketika gedung rumah sakit terlihat. Sebelum turun, Candra melepas dasi, pin wings, id card yang melekat di bajunya, lalu menyimpan semua atribut itu di dalam tas. Sebenarnya tidak ada masalah dirinya masih berseragam lengkap. Namun, Candra ingin tubuhnya steril sebelum mendatangi Melisa.
"Terima kasih, Martin. Saya berutang budi sama kamu."
"Jangan pikirkan itu, Capt. Saya doakan persalinannya lancar."
"Amin. Sekali lagi terima kasih!"
Candra berjalan cepat dengan tangan sibuk memegang ponsel. Ratna sudah memberitahu letak ruang bersalin. Perasaannya semakin campur aduk ketika masuk lift dan bergerak menuju lantai atas. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan istrinya.
Candra memelesat saat pintu lift terbuka. Tinggal berjalan sedikit, ruang bersalin tampak di depan mata. Dari kejauhan, ia melihat Sintia berdiri di depan pintu ruang bersalin.
"Akhirnya kamu datang!" seru wanita itu ketika melihat Candra.
"Melisa gimana, Mi?"
"Masih di dalam sama mamanya."
"Mi, saya titip tas!"
Setelah itu, Candra membuka pintu, menerjang masuk. Dia segera menghampiri Melisa yang berbaring miring di ranjang. Di sampingnya ada Ratna yang mengusap dahi istrinya.
"Mas ...."
Ratna menoleh begitu Melisa memanggil Candra. Wanita itu segera menyingkir supaya Candra bisa lebih dekat dengan Melisa.
"Ma, sampai berapa lama Melisa begini?"
"Sampai pembukaannya lengkap. Karena ini kelahiran pertama, prosesnya lama."
"Ini udah pembukaan berapa, Ma?"
"Tadi dokter cek katanya udah tiga senti."
Candra mengecup kening Melisa seraya mengelus perutnya yang terasa kencang. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya. "Sakit, ya?"
Melisa ingin merespons, tetapi gelombang itu datang lagi. Kali ini dirinya mendapat pelampiasan dengan menjambak rambut Candra. Seperti mengulang masa lalu di saat pertama kali mendapatkan menstruasi setelah dipasangi IUD.
Candra mengabaikan pusing di kepala. Tangan kirinya bergerak memijat punggung Melisa, seperti yang pernah diajarkan saat kelas prenatal. Tangan kanannya dibiarkan menjadi pelampiasan istrinya.
Nyeri terasa lagi ketika Melisa meremas sangat kencang. Meninggalkan bekas merah di pergelangan tangan Candra. Keringat timbul lagi di sekitar wajah dan Candra dengan sigap menyekanya.
"Sabar, ya, Sayang. Xania masih cari jalan keluar. Kamu jangan lupa atur napas."
"Pijat lagi di belakang, Mas."
Candra langsung menurut. Mungkin hanya dengan cara ini dia bisa mengurangi rasa sakit istrinya. Kalau bisa dipindahkan, Candra akan senang hati menerima asalkan Melisa tidak kesakitan.
Dokter Indi datang satu jam kemudian. Di saat tangan Candra penuh dengan memar akibat cengkeraman istrinya. Perut Melisa kembali diperiksa.
"Dokter, gimana sekarang?" tanya Candra.
"Pembukaannya tidak bertambah, terus karena ketubannya sudah pecah dan mulai berubah warna, sebaiknya kita lakukan tindakan operasi. Takutnya kalau dipaksakan melahirkan normal, bayinya bisa terkena infeksi dan itu berbahaya."
Sekujur tubuh Candra lemas mendengar perkataan dokter itu. Ini pilihan yang sulit. Ia tahu Melisa ingin melahirkan secara normal dan sejak awal selalu berusaha. Candra bisa saja detik ini juga setuju dengan saran itu, tapi bagaimana dengan Melisa?
"Mas, aku mau dioperasi," kata Melisa sambil mencengkeram tangan sang suami.
"Kamu yakin?"
Melisa mengangguk. "Kasian Xania, Mas. Dia nggak boleh kenapa-napa."
"Baik. Kalau sudah sepakat, Bapak ikut saya ke bagian administrasi untuk tanda tangan surat persetujuan."
Mulesnya sampai sini. Aku beneran sampai ke kamar mandi. Karena belum pernah tau rasanya, aku sampai memberanikan diri lihat proses persalinan di Youtube.
Yuk buibu yang pernah SC boleh dishare pengalamannya biar Mbak Mel semangat 😍
Apa pun cara melahirkannya, kita semua adalah wanita yang hebat 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro