06 - Ternyata Begini
Dua hari kemudian, Hartanto datang bersama Fyan mengendarai mobil pikap karena membawa satu ekor kambing. Nanti kambing itu ditaruh di halaman belakang. Kemarin, Mas Agus--tukang kebun--sudah menyiapkan tempat di sana.
"Makasih, ya, Pa. Ini beneran nggak boleh dibayar?" Melisa senang karena tidak perlu memikirkan lagi, tapi dirinya tidak enak kalau tidak mengeluarkan uang sepeser pun.
"Nggak usah, Nak. Kambing ini udah papa siapkan khusus buat anak kamu. Tinggal nunggu lahirnya aja, nih, jagoan kakek."
"Bukan jagoan, Pa. Kan, perempuan." Fyan meralat ucapan Hartanto.
"Oh, iya. Papa lupa. Padahal, papa pernah liat mama jemur baju anak perempuan."
Melisa meringis dan sebelah tangannya mengusap perut. Sengatan itu kembali terasa. Namun, Melisa yakin ini masih kontraksi palsu sebab rasanya masih sama seperti dua hari yang lalu. Hanya saja frekuensinya lebih sering. Pun Melisa jadi bolak-balik pipis. Tidak seperti biasanya.
Malamnya, posisi tidur pun diatur. Hartanto dan Fyan tidur di kamar tamu, Ratna dan Sintia tidur di kamar Melisa, dan lima orang pengawal tidurnya saling bergantian di ruang tamu. Melisa pamit ke kamar lebih dulu di saat yang lain masih asyik mengobrol di luar.
Perempuan itu lantas menyandarkan punggungnya pada headboard, meluruskan kedua kakinya di kasur. Di tangannya terdapat ponsel yang menyala. Melisa memilih menonton video persalinan normal di Youtube sambil mengunyah kripik kentang. Sesekali tangan yang satu lagi mengusap perut, lalu berdesis ketika sengatan terasa kencang.
Seorang ibu sedang berjuang mengeluarkan buah hati dibimbing oleh dokter. Tampak napasnya terengah-engah, keringat membanjiri tubuhnya saat dorongan demi dorongan terus dilakukan. Tidak lama, video memperlihatkan kepala bayi yang muncul di jalan lahir. Melisa memandangnya dengan takjub. Betapa Allah menciptakan perempuan dengan indah dan tubuh yang kuat. Siapa yang sanggup menahan beban selama sembilan bulan dan merasakan lelahnya melahirkan kalau bukan perempuan?
Tak lama, terdengar suara tangisan bayi. Sang ibu tersenyum sembari menahan tangis, apalagi ketika dokter menyerahkan bayi mungil yang wajahnya merah. Melisa yang melihat itu ikutan terharu. Bayi di dalam perutnya bergerak saat Melisa mengusap permukaannya.
"Mama nggak sabar, deh, ketemu kamu," gumamnya. "Semangat mencari jalan lahir, ya, Sayang. Mama bantu dari sini."
Kala kram terasa lagi, Melisa menggigit bibir bawahnya, mengatur napas. Sakitnya makin sering terasa. Ia pun meletakkan ponsel dan stoples keripik di nakas, lalu mengatur tumpukan bantal supaya posisi tidurnya nyaman. Usai berdoa, Melisa mulai memejamkan mata.
Melisa terbangun dari tidurnya ketika nyeri perut terasa sangat hebat. Matanya melirik jam digital di nakas. Pukul setengah lima pagi. Setelah itu, ia menoleh ke samping. Ada Ratna dan Sintia yang masih terlelap.
Perempuan itu berdiri, berjalan dengan tangan kiri menyentuh pinggang, tangan kanan mengelus perut. Melisa kira dengan jalan sakitnya akan hilang, tapi justru semakin jadi. Kram, nyeri, pegal-pegal, serta mulas bersatu. Akibatnya, keringat mulai bermunculan di sekitar kening. Melisa sampai kesulitan mengatur napas. Sekujur tubuhnya merinding hebat. Ketika sengatan itu datang, Melisa melirik jam. Kalau dihitung, rasa sakit ini datang setiap sepuluh menit sekali. Teratur. Berarti ini kontraksi asli.
Karena sakit tidak kunjung hilang, Melisa masuk ke kamar mandi. Saat itu juga dia melihat bercak merah di pakaian dalamnya. Melisa lantas keluar, berjalan tertatih mendekati ranjang yang ditempati mamanya.
"Ma!" Melisa membangunkan Ratna terlebih dahulu.
Serempak Ratna dan Sintia membuka mata. Ratna duduk tegak begitu melihat wajah kesakitan anaknya.
"Melisa, kamu kenapa?"
"Kayaknya aku harus ke rumah sakit sekarang, Ma. Aku udah nggak kuat. Aku lihat udah keluar bercak."
"Jarak kontraksinya berapa lama?" tanya Sintia.
"Sepuluh menit, Mi."
"Kamu tunggu sebentar, ya. Mami suruh pengawal keluarin mobil dulu."
"Kamu duduk dulu, Nak." Ratna yang sudah berdiri lantas menuntun Melisa duduk di pinggir ranjang. "Kamu tarik napas kalau sakit, ya."
Melisa mengangguk. Mengikuti instruksi mamanya ketika diterjang kontraksi hebat sambil memperhatikan Sintia yang keluar, dan Ratna yang mengambil dua buah tas besar berisi keperluan persalinan. Harusnya tas-tas itu masuk ke bagasi biar kalau sudah waktunya, langsung meluncur ke rumah sakit. Namun, belum sempat karena Candra masih harus menyelesaikan jadwal penerbangan minggu ini.
Tidak lama, Sintia masuk bersama Hartanto dan Fyan. Raut wajah kedua lelaki itu tampak cemas.
"Nok, mau abang gendong?" tanya Fyan.
Melisa meringis kesakitan saat menatap abangnya. "Bobot aku sekarang hampir 70 kilo, Abang. Emang kuat?"
"Ya, kan, dicoba dulu."
"Nggak usah, Bang. Aku masih kuat jalan."
"Ya udah, ayo, abang bantu."
Fyan membantu Melisa berdiri, memapahnya pelan-pelan. Sesekali berhenti karena Melisa merasakan kontraksi. Bisa saja Fyan langsung mengangkat tubuh adiknya supaya cepat sampai ke teras rumah. Akan tetapi, dia tidak mau ambil risiko. Kalau benar-benar tidak kuat terus jatuh, kan, malah lebih berbahaya.
Tiba di mobil, seorang pengawal membukakan pintu penumpang. Ratna yang masuk lebih dulu, lalu Melisa, dan terakhir Sintia. Di belakang, Hartanto memasukkan barang-barang ke dalam bagasi.
"Papa sama Abang di sini dulu, ya. Nanti kalau udah lahir, mama kabari," titah Ratna. Hartanto dan Fyan mengiakan.
Mobil mulai melaju kencang sesuai arahan Sintia. Di tempat duduknya, Melisa terus mengerang kesakitan. Rasanya campur aduk, sesuatu di bawah sana mendesak ingin keluar. Ternyata begini rasanya. Apa yang didapat dari kelas ibu hamil buyar tidak bersisa. Kacau akibat nyeri yang tidak tertahankan. Bahkan, ketika kontraksi menghantam perutnya, Melisa tidak sengaja mencengkeram kuat tangan Sintia.
"Maaf, Mi," ucapnya seraya menggigit bibir.
"It's okay, Sayang. Kamu mau cubit, mau cakar-cakar, mami nggak masalah."
Ratna mengusap peluh di dahi anaknya. Melisa memejamkan mata, mencoba mengatur napas, mencoba untuk tenang. Hingga dirinya merasakan basah pada pergelangan kakinya.
"Ma, kok, aku kayak ngompol."
Mendengar itu, Sintia yang lebih dulu menyingkap dress yamg dikenakan Melisa. Matanya melebar begitu melihat sesuatu mengalir dari bawah perut menantunya.
"Ketubannya udah pecah. Kamu yang sabar, ya. Biasanya kalau udah pecah, makin sakit rasanya," kata Sintia. "Pegang tangan mami kalau sakit."
Tepat sekali kontraksi datang makin menggila, Melisa menggenggam kuat tangan Sintia. Sekali lagi ia mencoba menarik napas dengan tenang.
Setibanya di rumah sakit, sopir yang tak lain adalah salah satu pengawal Sintia membantu Melisa duduk di kursi roda. Seorang perawat kemudian mendorong kursi roda Melisa menuju ruang bersalin diikuti oleh Sintia dan Ratna.
Dokter Indi menyambut kedatangan mereka dengan senyum ceria dan mulai memeriksa Melisa.
"Masih aman walaupun sudah pecah ketubannya. Ibu masih punya waktu kalau mau persalinan normal." Dokter Indi lantas melongok ke arah jalan lahir. "Sudah pembukaan dua, nih. Semangat, ya!"
Tubuh Melisa sedikit rileks mendengar penuturan dokter. Waktunya masih panjang untuk menghadapi kontraksi yang terus membelah tubuhnya. Salah satu tangannya sudah dipasangi jarum infus untuk jaga-jaga kehabisan tenaga. Rasa sakit mengacaukan segalanya. Melisa sampai kehilangan nafsu makan.
Melisa menyalakan ponsel ketika kontraksi lagi-lagi menyerang perutnya. Ia nyaris menghubungi Candra kalau tidak ingat lelaki itu masih ada satu landing hari ini. Melisa menahan diri, tidak mau membuat suaminya panik di sana. Menunggu waktu yang tepat untuk mengabari Candra.
Aku ikutan mules 😂😂😂
Besok liat Mas Candra gimana reaksinya 😂
•••
Yang mau baca spesial part di Karyakarsa (20 kakoin)
https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part
https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part-2
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro