Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 - Jalan Pagi

Sejak bangun tidur, bahkan kini sedang sarapan, Melisa merasakan sesuatu di bawah perutnya. Rasanya itu seperti kram menstruasi, juga mulas seperti ingin BAB, tapi saat duduk di kloset tidak keluar. Frekuensinya pun acak. Datang dua menit, jedanya bisa sampai sepuluh menit. Datang lagi sebentar, terus berhentinya lama. Melisa jadi tidak nyaman duduk di kursi dan tidak bisa menikmati makanannya.

"Sayang ..."

"Ya?" Melisa meluruskan kepalanya ke depan. Bertemu dengan wajah Candra.

"Kamu kenapa diam aja? Ada yang sakit?"

Candra belum tahu. Kalau Melisa bilang sejak pertama kali merasakan, mungkin saja sekarang dirinya sudah berada di rumah sakit. Melisa sangat hafal perangai suaminya itu. Namun, kalau tidak jujur sekarang, Candra lebih marah lagi. "Sebenernya ada, Mas."

"Hah? Mana yang sakit?" Candra spontan membanting sendok, berdiri, dan menghampiri istrinya.

"Perut aku, Mas. Rasanya kayak mau datang bulan. Tapi, datangnya sebentar, terus jedanya lama. Aku curiga ini kontraksi, tapi belum intens."

Candra mengerjap. Rasa datang bulan saja dirinya tidak tahu, bagaimana caranya menolong Melisa? "Mau ke rumah sakit sekarang?"

"Itu namanya kontraksi palsu, Mbak."

Kontan Candra dan Melisa menoleh ke asal suara. Siapa lagi kalau bukan Ambar.

"Maaf, tadi saya nggak sengaja dengar Mbak Mel. Sakitnya cuma di bawah perut, kan, Mbak?"

"Iya," jawab Melisa.

"Belum keluar flek, kan?"

"Belum. Tadi aku udah bolak-balik kamar mandi nggak keluar apa-apa, cuma pipis."

"Kalau belum, berarti itu kontraksi palsu, Mbak. Kalau kontraksi asli, dari perut sampai punggung rasanya sakit semua. Terus biasanya udah keluar flek sama pecah ketubannya. Sekarang Mbak nggak perlu ke rumah sakit. Kalau ke sana sekarang yang ada Mbak disuruh pulang karena belum pembukaan. Saya dulu juga gitu, sama dokter nggak boleh nginep karena kontraksi palsu."

"Tapi, kalau sakit kayak gini kasian Melisa-nya, Mbak." Candra bersuara. Melisa menggenggam tangan suaminya. Padahal, Candra sudah banyak membaca buku-buku tentang kehamilan dan persalinan--lagi-lagi sesuai saran dokter, dan Melisa paham orang kalau sedang panik apa saja bisa buyar.

"Coba bergerak aja, jalan-jalan. Nanti sakitnya hilang sendiri, kok, kalau benar kontraksi palsu. Sama jangan lupa banyak minum. Bisa jadi Mbak lagi dehidrasi."

Satu hal yang Melisa syukuri adalah para asisten di rumah sangat mengerti kondisi Candra. Terutama Ambar, dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Sakitnya udah hilang. Kayaknya emang bener, ini kontraksi palsu," kata Melisa.

"Beneran udah hilang?"

Melisa mengangguk.

Setelah Ambar pergi, Candra berlutut di dekat Melisa dan tangan mereka masih saling berpegangan. "Sayang, maaf semalam aku--"

"Sst! Nanti Mbak Ambar denger," potong Melisa. "Lagian, aku juga mau dan harusnya Mas seneng, dong, usahanya berhasil. Aku ngerasain kontraksi sekarang."

"Ya, tapi--"

"Udah. Aku baik-baik aja. Sekarang temenin aku jalan-jalan. Atau Mas mau tenangin diri dulu? Aku bisa jalan sendiri."

"Nggak. Aku temenin kamu."

Candra bangkit, membantu Melisa berdiri. Namun, sebelum pergi, Candra pergi ke kamar dulu untuk mengambil dompet, jaga-jaga kalau Melisa minta jajan di luar. Tidak mau kejadian kue pukis itu terulang. Kalau sedang bersama Melisa, laki-laki itu siap siaga membawa dompet yang berisi uang cash.

"Yuk, jalan!" ajak Candra setelah kakinya menyentuh anak tangga paling terakhir dan mendekati Melisa.

Melisa menggamit tangan suaminya, lalu mereka melangkah sejajar. Sepasang calon orang tua itu mulai menelusuri jalan di sekitar rumah. Berkat bayi ini, satu per satu impian Melisa terwujud. Salah satunya, jalan pagi berdua bersama Candra dengan perut yamg besar. Melisa bisa merasakan indahnya ditemani suami seperti ibu hamil yang pernah ia temui.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau dari tadi sakit?" tanya Candra.

"Aku masih bisa tahan, Mas. Lagian, emang belum ada tanda-tanda melahirkan, baru kontraksi ini. Sekarang aja kita jalan begini udah berhenti. Berarti Mbak Ambar bener."

"Beneran udah nggak sakit lagi?"

"Iya, Mas. Aku juga udah chat Dokter Indi, udah kasih tahu kejadian tadi, cuma belum dibales."

"Termasuk yang semalam?"

"Iya," jawab Melisa enteng.

Wajah Candra berubah seketika. "Kenapa bilang?"

"Ya, kan, nanti ditanyain penyebabnya apa, ya, aku kasih tahu sekalian biar jelas. Dokter juga nggak mungkin marahin Mas."

Iya, tidak akan memarahi, tapi, kan, malu. "Kalau nanti sakit lagi teriak aja, Sayang."

"Habis tenagaku, dong, buat teriak. Percuma aku ikutan kelas ibu hamil kalau ilmunya nggak dipraktekkin."

Candra tidak membantah. Malah bangga melihat Melisa sekarang. Istrinya itu cukup tenang menjalani kehamilannya. Hal itu sedikit mengurai ketakutan di dalam dirinya.

"Mas, aku laper lagi. Boleh nggak kita berhenti di tempat telur gulung?"

Pria yang pagi ini mengenakan kaus putih itu mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Tangannya bergerak mengacak rambut Melisa yang masih setengah basah. "Boleh, Sayang."

Benar saja, ketika tiba di tempat penjual telur gulung, Melisa berhenti. Sang penjual pun menyambut kedatangan mereka.

"Mbak Mel, pasti mau beli telur gulung, kan?" tanya penjual telur gulung.

Melisa meringis. "Iya, kan, Mbak nggak jual pizza. Seperti biasa, ya, Mbak."

"Beres. Telur gulung super mateng, jangan kasih micin sama saus."

Ibu hamil itu mengangkat kedua jempolnya, lantas duduk di bangku panjang. Melisa sering datang ke sini setiap jalan pagi. Arini nama penjualannya. Dia masih kuliah tapi sambil berjualan. Arini pun tidak keberatan kalau Melisa ingin beli telur gulung lalu diantar ke rumah karena jaraknya tidak cukup jauh.

"Mas nggak beli?" tanya Melisa pada suaminya.

"Aku masih kenyang."

Melisa diam setelah itu dan memilih memainkan ponsel. Chat-nya dibalas oleh Dokter Indi.

"Tuh, Mas, kata Dokter Indi kita nggak perlu ke rumah sakit dulu." Melisa menunjukkan ruang pesan WhatsApp-nya pada Candra. Suaminya mengangguk.

"Ya udah, tapi kalau sakit lagi jangan kamu tahan sendiri."

"Iya, Mas. Sekarang udah beneran ilang, kok. Aku nggak bohong," ucap Melisa sembari jemarinya mengetik balasan untuk Dokter Indi.

"Wah, Mbak Mel bentar lagi mau lahiran, ya." Arini tiba-tiba bersuara.

"Iya, Mbak."

"Saya doain, deh, semoga lahirannya lancar. Nanti saya kasih bonus telur gulung buat dede bayinya."

"Masih lama, dong. Nanti mamanya yang makan."

"Nanti kalau udah gede diajak ke sini, ya, Mbak. Nanti saya ajarin cara bikin telur gulung."

Melisa tersenyum dan tangannya mengelus perutnya. Ponselnya berdering lagi, tapi kali ini bukan pesan dari Dokter Indi, melainkan dari Ratna.

"Mas, Mama barusan chat, bilang lagi di jalan. Kira-kira entar siang mama datang."

"Jadi sama Fyan?"

"Iya, Mas. Papa nggak bisa sekarang. Katanya ada orang yang mau beli kambing buat akikah."

Mendengar itu, Candra teringat sesuatu. "Yang omongan papa waktu itu ... beneran?"

"Iya. Nanti kalau udah waktunya bakal diantar ke sini. Waktu Tiara lahir juga gitu." Tapi, ditolak sama Mbak Mutia, lanjut Melisa dalam hati. Kalau sekarang, mana tega Melisa mengecewakan Hartanto yang ingin memberikan sesuatu untuk cucunya.


Gaes, aku udah bikin grupnya di tele. Mau linknya nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro