03 - Rancangan Tempat Tidur
Melisa duduk di sofa panjang dengan kedua kaki menekuk di bawah perutnya. Kedua tangannya diletakkan di lutut. Matanya terpejam. Melisa mengambil napas melalui hidung, lalu mengeluarkannya dari mulut. Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai tubuhnya terasa rileks. Meski perutnya besar, badannya sakit semua, Melisa masih berusaha melakukan olahraga ringan. Dia berusaha menemukan jalan melahirkan secara normal.
Entah sudah berapa lama matanya tertutup rapat, Melisa merasakan hangat pada keningnya. Spontan Melisa membuka mata dan terbelalak.
"Lho, Mas, kapan sampainya?"
"Barusan."
Melisa lantas menurunkan kedua kakinya. Sementara itu, Candra yang tadinya di belakang kini pindah ke samping. Kembali mengecup Melisa, kali ini di pipi, dan menjatuhkan tubuhnya tepat di sebelah istrinya.
"Gimana perjalanan dua hari ini, Mas?"
"Lancar banget karena cuacanya lagi bagus." Candra melonggarkan dasi warna biru tua, lalu mengeluarkan dua kancing paling atas. Ketika menunduk, matanya menemukan telapak tangan Melisa yang kukunya berganti warna merah. Ia meraih telapak tangan itu. "Kapan kamu ngecat kuku?"
"Tadi sebelum Mas pulang. Menurut Mas bagus nggak? Ini mami yang pilihin. Tenang aja aman, kok," jawab Melisa. Kemarin sebelum pulang, Sintia sempat bertanya apa yang disukai Candra dari tubuhnya. Melisa memilih jawaban yang aman, ya, kuku ini. Tidak disangka, Sintia membelikan cat kuku dengan berbagai warna, tentunya dengan bahan yang aman untuk ibu hamil.
"Kamu kemarin jadi ikut mami?"
"Jadi, dong. Mas libur berapa hari?"
"Dua hari."
"Oh, pas mama ke sini, dong. Tapi, kata mama nggak usah dijemput. Soalnya Bang Fyan yang mau nganterin sampai sini pakai mobil."
Candra tersenyum, mengecup tangan Melisa. "Cantik."
"Aku udah kayak bola gini masih cantik, Mas?"
"Kamu tetep cantik mau kayak apa bentuknya." Kali ini Candra mengelus telapak tangan istrinya yang kini kosong tanpa cincin pernikahan di jari manisnya. Ia jadi teringat drama cincin yang tidak bisa dilepas karena jarinya sudah kebesaran. Segala cara dicoba. Mulai dari ditarik pakai tali, dioles minyak, direndam air hangat, disabuni dengan harapan licin dengan sendirinya, hingga berakhir di toko perhiasan. Cincinnya terpaksa dipotong. Setelah dibetulkan, Melisa memilih menyimpan benda itu di lemari alih-alih dipakai lagi.
Dengan perubahan itu, ukuran sepatu dan sandal juga ikut berubah. Pipi Melisa tampak berisi. Candra benar-benar tidak masalah dengan bentuk tubuh istrinya sekarang. Malah terlihat makin seksi. Untuk yang terakhir, Candra sangat setuju dengan ucapan Melisa tempo dulu, yang bilang kalau wanita hamil itu kecantikannya makin bertambah. Candra tidak pernah absen melihat foto istrinya dengan baby bump ketika di dalam ruang kokpit sebelum lepas landas.
"Mas, aku nggak sengaja lihat di history belanja, kok, Mas beli baby crib lagi? Kan, kita udah beli buat di kamar anak."
"Yang ini karena bisa menyatu sama ranjang kita, nanti dipasang di kamar kita."
Melisa mengerjap. Sebentar, ini tidak sesuai rencana di awal. Sebelumnya mereka sudah membicarakan hal ini. Rencananya Melisa mau mencoba sleep training dan Candra setuju. "Eh? Maksudnya nanti baby X tidur di kamar kita?"
"Iya. Setelah aku pikir-pikir, kayaknya untuk tiga bulan pertama, dia tidur di kamar kita biar kamu nggak perlu bolak-balik. Lagian aku rasa kamu nggak akan mungkin nerapin sleep training setelah baby X lahir. Kamu orangnya nggak tegaan."
"Enak aja aku jadi kambing hitam. Mas kali yang nggak tega."
"Coba kita buktikan nanti."
"Oke." Melisa sangat percaya diri akan teguh dengan pendiriannya. Dia sudah memantapkan hati melakukan itu nanti. Namun, yang dikatakan Candra ada benarnya juga. "Jadi, kita nggak usah dulu nerapin sleep training-nya?"
"Nggak usah dulu, ya, Sayang. Aku nggak bisa bayangin bayi masih merah tidurnya pisah dari orang tua. Nanti aja kalau udah besar."
Melisa mengulum bibir, menahan diri agar tidak tertawa. Tuh, kan, jelas siapa yang tidak tega sekarang.
Malam harinya, paket berisi tempat tidur bayi telah tiba. Candra tampak antusias, bahkan menolak saat ditawari mau dipasangkan apa tidak. Dia sendiri yang membongkar dan merakit baby crib-nya setelah makan malam. Beberapa minggu yang lalu saat box bayi pertama datang, lelaki itu sedang tidak ada di rumah. Sekarang dia tidak mau melewatkan kesempatan ini.
Di ranjang, Melisa memperhatikan Candra yang serius merakit sembari membaca panduan di kertas. Menurut dokter yang menanganinya, Candra memang harus terlibat dalam apa pun yang berhubungan dengan anaknya. Supaya kelak ketika anak itu hadir, Candra tidak merasa takut atau khawatir lagi. Makanya kalau sedang tidak terbang, Candra ikut serta saat periksa kandungan dan kelas ibu hamil. Memang terkadang Candra masih suka cemas, tetapi hal itu masih bisa diatasi.
Ya, memang semuanya kembali kepada bagaimana orang itu mengatasi segala kerisauan. Semuanya kembali ke Candra mau keluar dari lingkaran itu apa tidak. Tugas dokter hanya mengarahkan. Namun, melihat progresnya, Melisa sangat yakin Candra akan sembuh.
Beberapa menit kemudian, baby crib berbahan kayu dengan cat warna pink terpasang sempurna di sebelah kanan ranjang. Tinggal dipasangi kasur kecil dan kelambu. Melihat tempat tidur ini, Melisa jadi membayangkan dirinya yang selesai menyusui masih bisa memperhatikan bayinya dari dekat.
"Wah, keren!" Melisa bertepuk tangan. "Jadi, nanti aku nggak perlu jalan lagi? Tinggal ambil dari sini?"
"Iya. Nanti kalau udah selesai, kamu tinggal tutup aja."
"Aaa, makasih, Mas!" Masih dengan posisi duduk, Melisa memeluk tubuh suaminya. Sebagai balasannya, Candra mengecup puncak kepala sang istri.
Candra yang mengurai pelukan Melisa lebih dulu. Kemudian, ia duduk samping istrinya. Tangannya mulai meraba perut Melisa. Menyapa penghuni di dalam sana. "Hai, ayah udah nggak sabar ngeliat kamu tidur di sini. Jangan lama-lama ngekos di dalam perut mama. Di sana udah sempit, kan?"
"Sabar, ya, Ayah. Beberapa hari lagi kita ketemu," balas Melisa menirukan suara anak kecil. Tendangan di dalam mulai terasa. Seakan-akan mengerti jika saat ini sedang diajak bicara.
"Keluarnya besok aja gimana? Mumpung ayah masih di rumah."
"Heh, sembarangan! Belum waktunya!"
"Kan, kata dokter nggak selalu sesuai sama HPL."
"Ya, nggak besok juga kali. Lagian, aku belum pernah ngerasain kontraksi. Dia masih betah kayaknya walaupun udah sempit."
"Pokoknya jangan lama-lama. Aku kasian ngeliat kamu kayaknya berat."
"Bukan kayaknya, emang berat. Tapi, aku seneng karena di dalam sini ada anak kita." Melisa tersenyum. Dia harus terlihat bahagia agar Candra tidak cemas. Harus bisa meyakinkan Candra bahwa keputusannya tidak salah.
Candra akhirnya mencium pipi istrinya. "Makasih, ya. Anak kita pasti bahagia punya ibu yang luar biasa kayak kamu."
"Dia juga bahagia punya ayah yang hebat kayak Mas."
Pria itu kembali menghujani wajah Melisa dengan kecupan. Melisa tahu kalau begini pasti ada maunya.
"Aku dua hari ini tidurnya meluk guling. Kamu gemes banget hari ini," kata Candra seraya mengelus tulang pipi istrinya.
"Terus?" Melisa sengaja bertanya padahal sudah tahu, apalagi dari mata pria itu jelas sekali ingin ke arah mana.
"Boleh, kan, malam ini aku nengokin baby X, Sayang?"
Udah ada yang tahu nama anaknya Mbak Mel? Kalau belum, bisa mampir ke karyakarsa. Ada spesial anniversary dan babymoon juga. Murah, lho, cukup bayar 2k atau setara dengan 20 kakoin. Jangan lupa kasih love dan komen juga. Linknya ada di bio wattpad.
Makasih banyak untuk antusias kalian. Notip dari kalian tuh menghibur aku banget setelah pengumuman dan kalah 😭 semoga kebaikan kalian dibalas berlipat ganda sama Allah.
Kasih aku alasan dong kenapa kalian nungguin banget cerita ini. Padahal sebulan itu lama, lho. Apa kalian menunggu anak kembar? 😂
Oh, yang soal grup chat itu, aku kayaknya mau serius. Kalau ada yang minat, enaknya di mana? WA atau tele? Yang paling banyak entar aku buatin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro