7 'berhasil atau gagal
H-4 undangan dibagikan. Dua hari telah berjalan seperti biasa. Dua hari juga, ketiga temannya digojlokinya berulang-ulang. (gojlok/ digojloki= di candai).
Sayangnya, sampai hari ini pula, Davina belum juga menemukan partner. Setidaknya ada orang yang mau mengajaknya ke tunangan Raffli, mantannya itu.
Beruntungnya, sedaritadi davina tidak memainkan ponsel. Kirana tersenyum penuh arti akan hal itu. Jika ketahuan, paling tidak ... gadis itu mengumpat kasar berulang kali.
Oops! Hampir lupa, Davina kan jomblo. Jadi tiada pesan yang setiap detik menanyakan perihal keadaannya. Kirana tertawa kecil memikirkan hal itu.
Sampai kelas akhir pun, Davina tak memainkan ponselnya sama sekali. Hingga kali ini ponselnya bergetar menampilkan lagu ringtone lagu dari Justin Bieber yang belakangan ini menjadi favoritnya.
"Eh, iya ... hallo. ada apa?" Davina memperhatikan layar ponsel genggamnya. Saat ini, ia perjalanan menuju ke rumah yang tak jauh-jauh amat setelah menguntit di pelanggan es doger.
"Lah kok lo tanya balik?" Si penelpon, berdecak malas.
Rasanya ia malas merespon, padahal jelas-jelas si penelpon itu menelponnya terlebih dahulu.
Sebelum mulut cantiknya mengumpat kasar, ia memperlihatkan siapa penelpon itu.
Marveling, is connected.
Tamatlah riwayatnya.
sebelum gadis itu mematikan sambungan, si penelpon itu berujar kembali ...
"Ini gue telepon balik. Kalau gak ada kepentingan gue matiin."
"Eh, bentar!" Davina sedikit reflek berteriak menghentikan si penelpon, Marvel mematikan sambungan telpon.
Terdengar dari ujung telepon, Marvel hanya berdehem.
Entah membaik, atau memburuk. Piker keri, gadis itu dengan berani-beraninya mengatakannya dengan spontan ...
"Gue pinggin ngajakin lo--"
Kalo dia mau, gue beruntung, klo enggak, siapin kain nafan dah. Batin Davina dalam hati. Suaranya pun terdengar gugup.
Belum apa-apa, Marvel telah memberikan kesepakatan.
"Oke."
Padahal Davina belum selesai melanjutkan ucapannya.
Gadis itu membulatkan mata ke arah ponsel hingga lamunannya terhenti ketika Marvel melanjutkan perkataannya sebelum mematikan sambungan telepon dengan sengit.
"Hari H tiba gue jemput."
Tin.
Davina menganga mulutnya. "Gila tuh, orang!"
Tak lupa memeriksa riwayat panggilan. Dan benar saja!
Disana, Marvel mematikan sambungan telepon dengan terburu-buru. Masih sibuk dengan extrakulikuler jurnalistiknya, itulah salah satu alasan mengapa ia menelpon balik, Davina, gadis kasar itu.
Sedikit heran, padahal mereka tidak berkomunikasi lagi semenjak hubungan mereka kandas waktu itu, entah apa alasannya.
Padahal, Davina sendiri juga tak merasa menghubungi lelaki dingin itu. Chat saja, sudah tidak direspon meski masing saling menyimpan kontak.
***
Keesokan harinya, yang membuat Davina heran dicampur dengan rasa kesal, lelaki itu tiba-tiba menampakan dirinya di pekarangan rumah. Dengan penampilan dan struktur yang tak jauh berbeda.
Siapa lagi, kalau bukan Marvel?!
Meski dengan wajah bantal, gadis itu menuruni tangga tak memperdulikan Linda, yang sedari meneriaki memanggil namanya.
Sangat heran, ketika pagi seperti ini, anak sulungnya berpinjak dari tempat tidur. Eh, bukan pagi ding. Ini sudah pendak jam delapan Biasanya Davina beranjak keluar dari zona nyamannya kasur pukul sepuluh ke atas, jika hari libur seperti ini.
"Koen lapo rene? Moleh-moleh!" Gadis itu telah berada di gerbang menghalangi. (Kamu ngapain disini? Pulang-pulang!)
Davina mendorong tubuhnya dengan mengusir kasar. Beruntungnya, ia mengetahui keberadaan Marvel terlebih dahulu, jika tidak ...
"Davina, kamu ngapain di luar?" teriakan Linda, mungkin dari segala penjuru, seisi rumah dapat mendengarkannya.
"Sebelun ketahuan, lo pulang deh!" Marvel masih terpinjak dari posisinya. Merasa arah pembicaraannya tak sopan, Davina kembali meralat, "Lo ada perlu apa? Tunggu di mobil aja, oke!"
Lelaki itu masih diam dengan posisinya dengan tangan terkunci dibelakang memperhatikan sekitarnya bertindak seolah menghiraukan apa yang dikatakan orang itu sebelumnya.
Mobil BMW terpakir sempurna di depan kediaman rumanhnya--yang diyakini mobil Marvel, tak segan-segan gadis itu segera mendorong tubuhnya memasukkan ke arah mobil itu berada.
Marvel berpikir keberadaannya disini seolah teroris kembali dijeremuskan kembali ke pidana. Sial! Gadis itu selalu saja bertindak sesuka hatinya!
Tangannya kini melemas terlalu agresif mendorong lelaki itu, ia mengebaskan tangan sebelum pertanyaan yang dilontarkan mamanya berkali-kali lipat.
"Iih. Kamu rembes bangettt!"
"Pantesan gak ada yang mau sama kamu."
"Gak malah dukung, suka banget cari menantu," cibir Davina malas. Gadis itu mengikat rambut panjangnya dengan setelan piyama tie dye.
Linda sempat tertawa karena gadis itu bertindak ceroboh, tak mempehatikan riasan wajahnya. Wajah bantal tertampang jelas. Entah mengapa, anak gadisnya itu, membuat anak para sekompleks seusianya tidak menarik perhatian.
"Jangan lupa, ntar kirim pesanan Mama ke kompleks sebelah." Setelah mengatakan itu, Linda berbalik arah. Davina kini dapat menghela nafas panjang.
Gadis itu mengacungkan jempol ke arah mobil, tak lain Marvel berada sedangkan Marvel yang sedaritadi memperhatikan interaksi kedua orang itu hanya mengangkat alis acuh tak acuh.
***
"Gue beneran ketemu Marvel, dengan wajah gini? tanya Davina bermonolog sendiri menatap dirinya di depan cermin sebelum membasuh mukanya.
"Ini muka, jelek bangeeettt!!!"
Muka lepek, dan berminyak. Bintik jerawat berbintik merah kisaran dahi itu tertutup dengan poni helai rambutnya. Ketika ia menyilak poni rambut, jerawat itu akan terpampang jelas membuat kepercayaan dirinya terkadang menurun drastis.
Keunikannya ialah ketika siapapun orang memujinya cantik, berniat beneran memuji atau dalam artian mengejek, Davina akan menjawab, 'Iya-iya. Gue jelek!"
Lawan bicaranya tak segan-segan dibuatnya kesal. Bukan malah berterimakasih malah dipuji malah memuji dirinya sendiri jelek.
Itulah Davina, ia merasa dirinya burik. Apalagi menjulukinya 'ketank'. Tak akan merasa terbang jika berada di atas pujian.
Setelah meraih handuk di gantungan, Davina akan memejamkan tubuhnya di atas pancuran shower.
***
Lima belas menit berlalu, seseorang di depan kediaman rumah Davina menunggu dengan bosan. Dengan sengaja, Marvel memainkan suara klaksonan mobilnya.
Tiiiiiiiinnn!
"Itu teman kamu?" Linda bersedukur menatap arah luar sekilas.
Davina yang tidak sengaja mencari makanan di dapur itu berhenti sejenak, menguping pembicaraan Mamanya dan adiknya. Jika ketahuan, Davina akan bersiap menahan malu. Kalinat yang dilontarkan Linda sudah tergiang di kepalanya setiap saat.
"Bukan, Ma, atau Raffles lihat dulu?" Raffles bertanya balik menaruh stik PS. Sebelum lelaki itu bertindak menjeda mainannya Davina bergerak cepat.
"Palingan juga orang asing." Davina mencegah beralih ke Linda, yang sedaritadi menyuruhnya mengantarkan kue. "Sekalian minta ongkos ya, Ma."
"Kalau kamu punya pacar kan enak, lumayan bantuin Mama anter pesanan."
"Yaudah sih, ah! Sewa go sent, sana." Davina memutar bola mata malas. Ngapain juga mengorbankan pacar demi membantu Mamanya. Anter jemput? Gojek, tetap setia. Antar barang? Go sent, selalu menanti.
Dengan santainya, ia menduduki kursi penumpang di dekat pemudi, Marvel yang sedari menatapnya datar membuat Davina ingin mencakar mukanya yang tanpa noda itu.
***
Pemeran laki nya
udah dateng, tuh.
ada yg ngerasa
nganjel, ga???
3-5-20🙋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro