18' outing days
Dulu Davina mengajaknya outing mall, tepat sebelum hubungan mereka kandas. Ralat-ralat, lebih tepatnya Marvel yang lebih menjanjikannya.
Saat hari itu tiba, karena suasana hatinya tidak membaik, lelaki itu lepas kontrol dan mengatakan 'tidak.'
Waktunya memang tidaklah banyak, tetapi ia hanya ingin menganti waktu yang telah hilang. Terkadang memperbaiki, bukan berarti membaik. Membaik pula bukan berarti membalik.
Jika di posisi saat ini, setidaknya Marvel memang bersalah, namun hal itu ia bertindak seolah mengikuti takdir. Tidak jarang pula, perasaan mereka membawa semuanya menjadi rumit.
"Kalau dulu, pasti gue lebih seneng."
Apalagi gumaman Davina seolah gadis itu berbisik tersenyum sekilas memperhatikan suasana diskitarnya. Ia membayangkan betapa indahnya masa dulu ketika qualitime bersama, jika lelaki itu tidak mengingkari janji, mungkin mereka akan merasa bahagia di waktu itu.
"Gimana lo sama cewek itu?" Davina mengangkat alis beralih topik ke arah lelaki itu.
Refleks Marvel menatapnya dengan mengerutkan kening dengan berfikir sejenak. "Ganya?"
"Hooh."
"Gak ada apa-apa," alih Marvel cekatan.
Rupanya, lelaki itu menutupnya dengan apik. Siapa sangka, Davina telah menebak hubungan yang terkalin diantara keduanya.
Feeling cewek, tidak dapat diremehkan. Apalagi kekepoan cewek mengalahkan martabat.
Davina hanya tersenyum simpul, tidak mempermasalahkan hal itu, beralih ke kamera swag di ponselnya selagi berulang kali mengambil lighting aesthetic.
"Cantik," alih-alih Marvel beralih ke kamera ponselnya lalu berujar, "Gue beralih profesi jadi potografger."
Eeh tunggu! Jangan baper ketika lelaki itu mengatakan 'cantik' yang ada akan dibuat dialog, "Cantik pemandangannya.". Jika lelaki itu mendapat foto jeleknya, ia kakan berkata, "Ih. Jelek. Gue bakal buat nakutin anjing peliharan gue, dirumah."
Itulah alasan Davina mengalihkan arah menutup mukanya. Ia tidak mau muka jelek tertampang di ponsel, apalagi di ponsel Marvel, yang ada buat menakuti anjing peliharannya.
Lelaki itu merajuknya dengan memberikan jarak, Marvel dapat mengambil poselnya meski dengan candind muka tertutup membelakangi kamera.
Dulu, gadis itu tidak menyukai mengabdikan foto dengan alasan, 'gue burik, jelek, kentang, apalagi foto di kamera berasa kek mayat hidup.'
Awal dari ketidaksengajaan Marvel memontret gadis itu secara candid. Saat itu, Davina yang sibuk bersemedi di dekat rumah kelinci memperlihatkan kelinci kelinci dengan gumus, Marvel memainkan tangan mungilnya lalu memberikan jarak rentang diantara keduanya dengan pose Marvel mengengam tangan mungil gadis itu dari balik kamera.
Davina yanh tiba-tiba menyadari hal itu melepaskan gengamannnya. "Woi, lo apain tangan gue?" celatuknya keras dengan kembali memperlihatkan tekstur tangannya. Alhamdulilah, tidak berubah.
"Hm ... buat objek foto." Marvel mengangkat alis, telah menciptakan foto yang sempurna.
Sebelum Davina merampas ponselnya dan menghapusnya, lelaki itu buru-buru menyimpannya dan menyalin ke dalam file lain.
Dimana pun, jika pemilik kamera adalah cewek, mau gimana pose orang disekitarnya, jika dia paling cantik menurutnya edisinya, tiada option delete. Itulah cewek. Berulang kali swag foto namun tiada yang menjadi selera.
"Candid gue, bagus."
Foto itulah yang masih berada di walpaper ponselnya hingga saat ini. Bukan karena siapa si fotografer, tetapi foto yang dihasilkan membuatnya takjub.
Drrrttt ....
Marvel buru-buru mengangkat sambungan telepon. Lelaki itu menghela nafas, mengeser tombol hijau.
"Kamu lupa--"
"Lo dimana sih?" decak Marvel memotong perkataaan lawan bicaranya dalam sambungan telepon itu.
Tidak lain, Ganya. Suara gadis itu terdengar sangat bising.
"Aku disuruh Nenek buat nungguin kamu."
Disana, Ganya mengingit bibir bawahnya sebelum Marvel menutup sambungan telepon sepihak.
Lelaki itu memperhatikan jam tangan dipegelangan tangannya menunjukkan hampur pukul sepuluh.
Marvel tidak ada lupa jika hari Minggu, ia akan berkunjung ke tempat ibadahnya apalagi perintah Nenek dan Kakeknya seolah tugas negara, yang harus ia kerjakan tanpa ada kalimat penolakan.
"Dav. Gue mau pulang."
Davina menerjap matanya sekilas tanpak fokus memperhatikan lelaki itu.
Ayolah. Apa tiada waktu sebentar lagi?
Davina tersenyum singkat lalu mengangguk. "Yaudah. Ayok."
Dalam hatinya, ia ingin mehanan namun ia juga merasa kondisinya tidak memungkinkan. Banyak hal yang gadis itu ingin tanyakan namun terurungkan.
Siapa, Ganya. Seberapa berharga kedudukannya.
Yang membuat Davina menginginkan bertanya tentang gadis itu dikarenakan salah satu post feed instagramnya menunjukkan gelang couple, selagi gelang yang pernah diberikan Marvel waktu itu kepadanya.
Saat mengetahui post tersebut, Davina memang mencocokannya dan hasilnya pun sama. Kali ini, ia hanya beramsumsi. Jika dugaannya salah, kembali ke pertanyaan, 'emang satu gelang doang? Kan pabriknya banyak.'
***
Juy 18
Tiga harinya, Marvel berada di Kebun Raya Bogor selagi melakukan metode penelitan ilmiah biologi dengan beberapa teman satu falkultasnya.
Setiap pagi, mereka harus memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman apa yang mereka bibit. Pengaruh pemberian pupuk organik dan pupuk kompos. Begitu juga dengan biji monokotil dan dikotik.
Selagi menjelang liburan, kegiatan pembelajaran tersebut tidak diperketat. Jika ada yang jauh, mengapa memilih dekat?
Disisi lain, kampus mereka akan mengadakan pertandingan antar jurusan, sampai mendekati hari H tiba, Davina tiada persiapan apapun. Gadis itu terlalu menyerah sebelum bertarung, apalagi keberadaab Marvel, membuat mereka menjadi LDR, long distance relationship a.k.a hubungan jarak jauh.
Tanpa pengetahuan teman lainnya, Bela mempunyai rencana. Dengan akal cerdik, ia menghubungi salah satu temannya dengan alasan meminta jemput.
Davina, merasa ada yang aneh dengan sifat Bela itu pun segera beranjak pergi, namun hal itu terurungkan ketika sepatu conversnya terikat tali. Yah. Gimana mau kabur?
You know .. .it's bella's doing.
Nyatanya Bela, menghubungi Brown, tidak lain sahabat gadis itu--sesorang yang sering gadis itu ajak sebagai partner, meski di undangan Freeza-Rafli waktu itu, agar orang-orang tidak mengatakan 'Jones'.
Perkataan jones bagi Bela itu sangatalah sensitive, jika ia dalam metode macan. gadis itu tidak segan-segan melemparkannya ke dalam danau buatannya dengan zat kimia berlapis-lapis.
Hm ... mungkin? Bella menyukai sahabatannya itu, atau ... ? Hanya Tuhan dan dirinya sendirilah berhak mengerti.
Brown melepas helm bogonya sebelum mematikan mesin, Bela sudah merampas kuncinya dan beralih menarik tubuhnya agar lelaki itu turun dari sepeda vespanya.
Beruntungnya, Brown selalu membawa dua helm. Bela juga menarik lengan Davina lalu menyalurkan helm lain, memaksa gadis itu mengarah ke boncengan belakang.
"Woiii! Lu mau bawa kemana?" tanya sang pemilik cemas.
Bela menghiraukannya beralih kembali ke Davina dengan menalikan sepatunya dengan dengan sadel motor. Sebelum gadis itu berceloteh, Bela sudah mengegas vespa dengan kecepatan penuh.
08:45 AM. Marvel yang tidak sengaja mengetahui keberadan gadis itu--tidak lain kekasihnya itu berada, segera menyusulnya dan berlarian tepat di dekat lapangan basket.
"Lo ngapain disini?" Marvel menjitak Davina belahan selagi memainkan rambut panjang gadis itu.
"Tolongin aku kek," ia menjerit hampir saja terhisak menatap sepatunya terikat erat dengan sadel. Bela meninggalkannya! Apalagi, tubuhnya dengan sadel tidak sebanding dengan tinginya sepeda montor milik Brown ini.
Marvel mengeleng heran segera melepas tali sepatu gadis itu dengan hati-hati.
"Kamu belum pulang? Kerasan banget, holiday," goda Davina memelas seraya ia merajuk bang toyip, kekasihnya yang tidak pulang itu.
Gadis itu menjelaskan asal dimana saat ia melakukan telepati kemari. Marvel hanya mendengarkan mengangguk paham selagi beiringan memasuki lapangan basket, yang lokasinya tidak jauh dari Kebun Raya Bogor.
Surabaya-Bogor.
"Gue gak bisa maen basket!"
Belum apa-apa, Davina sudah pesimis, selagi hanya memperhatikan lapangan basket dengan bola basket yang kini berada gengamannya.
Memantulkan bola saja, tidak selalu tertangkap dengan benar, apalagi memantulkan bola tersebut ke dalam ring basket? Mengingat ia tidak menyukai pelajaran olahraga.
Davina mencoba memantulkan bola basket digengamannya itu ke dalam ring basket, namun tiada satu pun yang memasuki ring, sedangkan Marvel memantulkan bola basket, hanya dengan satu pantulan. Bola basket itu memasuki ring dan kembali berujar, "Gimana bisa, lo sendiri gak niat," cibirnya kembali mengacak rambutnya lalu memberikan bola basket selagi membenarkan posisi.
Mungkin. Diamnya Marvel dengan sekali gerakan spontan, membuat denyut nadinya berpicu cepat. Terkadang yang membuat Davina kesal, lelaki itu memang tidak banyak bicara, namun ia bersyukur akan hal itu, setidaknya mendengar keluh kesahnya.
"Fighting, Dav! Fighting!"
Davina merampas bola basket di genggaman lawan bicaranya itu lalu mencoba kembali memasukkan bola ke ring dengan gerakan taktik yang tak jauh berbeda.
Lebih keras mencoba hingga pantulan bol basket tepat memasuki ring. Davina bersorak bahagia heboh. "Yeah! Gue bisa!"
Bela memperhatikan couple goals itu ikut bahagia. Ini adalah rencananya tersusun rapi. Bela juga sengaja meningalkan Davina dan segera menghubungi Marvel menjelaskan apa tujuan mereka kemari melalui direct messagers sebelum lelaki itu menemui kekasihnya itu. Tidak lain Davina.
"Anggep aja, gue selalu buat lo, ketika pertandingan besok."
***
huh, gt doang,
ga bisa banyak² wkwk
btw gimana,
udah baca
smpek sini?😋
26-11-20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro