17' frist for all
[ awal ospek ]
Murid baru junior telah mengenakan seragam putih hitam dengan rambut diikat dua, seperti badak bercula. Gantungan nama peserta diikat di leher sebagai identitas.
Davina hampir saja terlambat, hanya dikarenakan style seragam yang dipakainya--menurutnya seperti sales marketing yang memperjualkan pembelajaannya kepada consumers.
Gadis itu sedikit membedahkan dengan memakai rok kotak hitam, agar tidak seperti ... eh bukan seperti, mirip sales marketing. Seragam putih lengan panjang agar tidak terkena sinar UV--meski Davina merasa dirinya burik, setidaknya ia menjaga penampilannya dengan rok kotak hitam itu selutut.
Jika kegiatan ospek banyak gerak, Davina tidak akan memakai rok pendek, ditambah lagi hari pertama sudah dijemur seolah ikan pindang di tengah lapangan Universitas Airlangga dengan matahari yang tidak kalah semangat.
"Eh! Sabuk. Sabuk!" Panitia mencegah langkahnya memperhatikan setiap inci atribut peserta ospek, tidak lain murid baru.
Karena melihat rambut Davina yang panjang terurai, tidak sesuai dengan peraturan, membuat panitia itu menatap sengit. "Rambut! Rambutnya dikepang! Bukan diurai. Ini bukan ajang kecantikan!"
Davina sesaat terdiam berdialog dalam hati, "Kan gue gak ikut fashionshow 2020." sebelum membalas perkataan senior itu dengan lantang, "Rambut gue habis keramas."
Itulah spesies membantah perkataan senior.
Hanpir saja panitia senior itu mengarahkan hukuman, beruntungnya senior cewek lebih memahami permasalahan cewek. Setidaknya ia diberi kesempatan. "Sebelum istirahat, dikepang rapi ya," ujarnya sebelum beralih ke panitia senior yang barusaja mencetus hukuman, "Nih, rambut gue keurai, gak lo hukum?"
Kedatangan lelaki lain bersama senior cewek itu tidak dirasa memperhatikan keberadaannya dengan ekspresi datar lebih tepatnya tidak berekspresi.
"Biarin dia masuk." Singkat, padat dan jelas.
Awalnya, Davina kira, lelaki itu senior karena membantunya bebas dari hukuman. Atau ketua BEM? Perkataannya langsung dianggukan oleh bawahannya. Detik itu juga, Davina bebas dari hukuman. Davina akan berterimakasih kepadanya setelah ini.
Ketika lelaki itu berada di penjemuran ikan pindang bersamanya, Davina merasa heran. Lelaki itu mengikuti ospek juga, bedanya terlihat jelas, hampir semua panitia memberikan kebebasan untuknya.
Lelaki itu ialah Marvel.
"Temen gue banyak orang dalam." Jawaban yang sama ketika Davina mempertanyakannya.
Disana pertemuan mereka, seolah kisah anak jaman SMA pada umumnya. Sayangnya, kita mereka tidak mempunyai akhir, atau belum?
Happpy ending, atau sad ending?
Keduanya tidak akan pernah bisa menebak apa yang dituliskan semesta untuk mereka.
Berlanjut hingga Davina yang tidak sengaja menumpahkan ice bubble kepada lelaki itu saat terburu-buru menyerobot antrian tanda tangan anggota inti BEM.
"So ... Sorry, Kak!" Davina mengingit bibir bawahnya menatap minuman yang ia bawa tersisa setengah, sebagaian mengenai tubuh lelaki itu yang Davina kira senior.
"Kita seangkatan," ujar Marvel selagi Davina membersihkan minumannya dan mengelap seragam Marvel yang tidak sengaja ia tumbahkan dengan tisu basah, buru-buru lelaki itu menyingkirkan tangannya.
Tatapan datar dan dingin yang ia tunjukkan sekilas membuat Davina ketakutan. Apalagi saat marahnya senior? Jauh lebih tragedis daripada jahatnya guru killer.
Pemikiran itu teralihkan ketika lelaki dihadapannya itu meraih kertas gulung yang berada di salah satu capitan tangannya.
Kebetulan antrian tidak terlalu panjang, Marvel menyerobot antrian dengan kertas milik gadis itu. Lebih tepatnya, membalap barisan, lelaki itu dengan beraninya berdiri di dekat anggota inti BEM dengan menyetorkan kertas lalu dengan cepat mendapat tanda tangan tanpa mengantre.
Davina tertengun akan hal itu, sekian beberapa menit Marvel kembali, Davina masih berdiri di tempat sama.
Barusaja, Davina akan mengucapkan terimakasih, lelaki itu lagi-lagi meningalkan tanpa sekata pun.
***
Hari ini Minggu, rencana Davina pagi ini, akan berjelah di taman kompleks melakukan olahraga pagi. Ia tak mau tubuh kurusnya tiba-tiba menjadi gendut, dan kelebihan lemak.
Handuk kecil bergalut dengan lehernya, selagi membasuh mukanya ketika berkeringat. Sepatu convers dan celana traning fila panjang memudahkan aktivitas lari mengelilingi kompleks, selagi memanjakan mata memperhatikan cogan berkeliaran di sekitarnya.
Cogan, cowok ganteng. Moodboster cewek meski tidak bisa memilikinya. Eaak. Apalagi ketemu cogan sesuai kiteria. Bening. Eh, ternyata ... nyatae bablas angine, dadakno wes gue andengan, cah! Nasib.
Aah. Lebih baik menghalu idola favoritnya, setidaknya lebih pasti daripada berimajinasi mengharap kepada orang yang salah.
Sepulang joging, Davina disuguhkan dengan kedatangan mobil BEM dari lawan arahnya. Hampir saja gadis itu gopoh sendiri, karena mengira mobil itu akan menabraknya.
Pikiran konyol!
Pikiran sekilas terbuang jauh ketika pengemudi mobil tersebut sangat dikenalinya. Itu adalah Marvel. Lelaki itu memakir mobilnya lalu menarik tangannya tanpa berkata apapun.
Lagi-lagi pikiran gadis itu berkelana. "Woi! Jangan culik gue!" jerit Davina hampir menarik perhatian pengunjung sekitar.
Marvel menutup mulutnya dengan baik berkata, "Dia, teman gue. Orangnya suka parno."
Davina ingin bercelatuk, namun gengaman tangan Marvel dimulutnya sangat menghambat kinerja.
Rasanya, lelaki itu akan menculiknya, membuang tubuhnya ke tepi danau, sebelum memotong tubuhnya dengan ala pscyopat. Seperti novel atau film yang sering ia tonton.
Jika itu terjadi padanya ... apa boleh buat?
"Masuk!" perintah Marvel mendorong tubuhnya masuk ke dalam mobil. "Gue antar lo pulang."
"Cih!" Davina hampir saja meludai.
Marvel melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, mau tidak mau, Davina kembali ke arah topik. "Ih. Jangan! Lo gak perlu gak masuk ke rumah gue!"
"Tamu adalah raja."
Opsi tetakhir, Davina memperkenankan Marvel masuk ke dalam rumahnya. Agar tidak menimbulkan suara kicauan dari Mamanya, ia melangkah dengan pelan.
"Lo ngapain sih, pakek ke sini. Nyulik gue, kalau gue--"
Marvel memotong perkataannya dengan menatap jengah. "Mintah jatah--"
"Mesum!" Davina memotong perkatannya hingga mendapatkan jitakan dari Marvel. "Lah. Kenapa gue di jitak? Salah?" Gadis itu berdialog sendiri mengelus kepalanya. Siapa tau sel otaknya miring?
"Jatah minum, sist. Gue haus."
Demi kegantengannya, Davina ingin meludai wajah sok tampan Marvel yang sempat tertunda.
Benar-benar menyebalkan!
Hampir lupa memberitaukan, Marvel adalah cucu dari ketua yayasan membuatnya disegani di kalangan kampus tempat mereka berada, dan lebih dikenal di fakultasnya.
Bukan karena status yang lebih tinggi pula, Marvel memang dilahirkan sebagai orang berada. Namun hal itu sedikit kemungkinan bahwa mereka mengerti privasi Marvel.
Davina yang dahulu mejalin hubungan saja, keduanya melakukan komunikasi sangat minim, bagaimana dengan orang luar menilainya???
"Gak minta sumbangan, 'kan?" alih-alih Davina bertanya balik telah menganti kaos olahraga kumel dan lepek itu.
Tujuannya kemari adalah mengajak gadis kasar itu free days. Eh. Bukan free days, kalik! Kalau free days, bukankah memakai sepeda ontel?
Marvel menghentikan mobilnya di salah satu tempat pariwisata, setelah melalui perjalanan panjang berkelok dengan rerumputan rindang.
"Mangrove Explorer."
Davina membaca lokasi tersebut dengan bergumam, "Dora explorer! Katakan peta. Katakan peta!"
Beruntungnya urat malu, Marvel tertutup dengan kutub utaranya.
Bagaimana bisa, Marvel pernah menjalin hubungan dengan gadis kasar didekatnya ini. Pemikiran itu, dia buang jauh-jauh. Saat ini, Marvel tidak akan membuka hatinya kepada siapun. Waktunya break out, dan memperbaiki masa lalu.
***
Eyooo! Itu dari
sudut pandangnya Marvel:)
gimana dong ...
23-11-20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro