Lembar 06
Hari berganti, membawa cahaya kembali di langit Seoul. Changkyun keluar dari kamar mandi dengan seragam yang belum di rapikan. Pandangan pemuda itu segera terjatuh pada sosok ayahnya yang belum juga bangun. Sedikit merasa heran, mengingat ayahnya tidak pernah bangun sesiang itu.
Tak ingin mengganggu tidur sang ayah. Changkyun segera menyiapkan keperluan sekolahnya. Berusaha tak menimbulkan suara, Changkyun melakukan semua persiapan dengan hati-hati. Dan setelah beberapa menit, ia telah selesai melakukan persiapan kecilnya. Terlihat seragamnya yang sudah rapi, tapi belum mengenakan sepatu.
Dengan ransel yang menyampir di bahu serta kotak hadiah di tangannya. Pemuda itu menghampiri ayahnya, sejenak memperhatikan pria itu sebelum seulas senyum terlihat menghiasi wajahnya.
Membenahi selimut ayahnya. Changkyun lantas bergumam, "aku berangkat sekolah dulu, ayah."
Changkyun lantas keluar dari kamarnya sembari membawa sepasang sepatu di tangannya. Menutup pintu dengan hati-hati, pemuda itu berjalan menuju tangga dan sejenak duduk di sana untuk memakai sepatunya. Setelah selesai, ia pun segera turun ke bawah dan langsung menuju ruang makan.
"Selamat pagi, Bibi Jang ..." sapa Changkyun pada bibi Jang yang saat itu tengah menyiapkan meja makan.
"Selamat pagi, Tuan Muda ... Tuan Muda sudah siap pergi ke sekolah?"
Changkyun mengangguk dan menempati tempat duduknya. Menaruh ransel beserta kotak hadiah di lantai dan mengeluarkan ponselnya.
"Ibu belum bangun?"
"Nyonya dan Tuan belum turun."
"Ayah tidur di kamarku. Jika Ayah belum bangun, Bibi jangan masuk ke sana."
"Ah ... baiklah, bibi mengerti. Sekarang, Tuan Muda makanlah lebih dulu."
Changkyun memandang ke arah ia datang sebelumnya dengan harapan bahwa setidaknya ibunya akan datang untuk sarapan bersama, mengingat beberapa minggu terakhir, ibunya itu tidak pernah ada di meja makan. Saat malam pun ia tidak akan makan di rumah karena jam sekolahnya berakhir pukul sembilan. Dan bahkan pemuda itu sering melupakan jam makannya jika tidak di ingatkan oleh Jisung.
"Tuan Muda menunggu apa?"
"Ah ... tidak. Bisa tolong ambilkan nasi untukku?"
"Ye, kemarikan piring Tuan Muda."
Saat itu Joohyun memasuki ruang makan dengan pakaian yang sudah rapi. "Selamat pagi ..." sapa wanita cantik itu.
Joohyun menghampiri Changkyun dan menjatuhkan telapak tangannya pada puncak kepala putranya itu. "Kenapa tidak menjawab?"
"Selamat pagi," ucap Changkyun kemudian.
Joohyun sekilas mengusap kepala putranya dan saat itu bibi Jang pergi ke dapur. "Di mana ayahmu?"
"Ayah masih tidur di kamar."
"Tidur?"
"Tidak biasanya. Ibu akan melihat ayahmu sebentar."
"Setelah ini aku akan berangkat, Jisung sebentar lagi sampai."
"Kau berangkat dengan Jisung?"
Changkyun mengangguk dan Joohyun menunjukkan gerak-gerik yang sedikit mencurigakan.
"Kalian, di antar siapa?" terdengar berhati-hati.
"Pak Choi."
"Ah ... supir keluarga Jisung."
Changkyun kembali mengangguk.
"Ya sudah. Jika Jisung datang, kau berangkat saja dulu. Ibu akan membangunkan ayahmu."
Joohyun kemudian pergi meninggalkan ruang makan. Dalam perjalanannya, ponselnya berbunyi dan seulas senyum itu menghiasi wajahnya ketika ia melihat nama Wonsik tertera di sana. Bukannya pergi ke kamar Changkyun, dia justru pergi ke kamarnya sendiri dan menerima panggilan itu.
Di sisi lain, saat itu Taehwa sudah terbangun dari tidurnya. Namun setelah tak mendapati lagi putranya berada di sana, Taehwa merasa enggan untuk beranjak dan tetap berbaring dalam posisi miring seperti semalam.
Ada perasaan kosong yang menempati hatinya pagi itu. Perasaan sunyi yang sudah lama tak ia rasakan, karena perasaan itu datang di saat ia kehilangan ayahnya dulu.
Tatapan kosong itu terlihat begitu menyedihkan. Tatapan yang tidak akan ia tunjukkan pada siapapun kecuali Seulgi. Namun sayangnya Seulgi tak bisa lagi menjadi sandarannya sejak ia berstatus sebagai suami orang. Tak ada yang bisa di pikirkan oleh Taehwa saat ini, dan itulah yang membuat tatapannya terlihat begitu kosong.
Di hadapan Taehwa, berdiri di samping ranjang. Gunhak menaruh perhatiannya pada ayah satu anak itu. Mempertimbangkan akankah ia memberikan keringanan pada keluarga yang akan di tinggalkan, atau membiarkan pria itu pergi begitu saja secara tiba-tiba.
"Sebagai seorang pria ... sikapmu saat ini adalah tindakan pengecut, Kim Taehwa," gumam Gunhak yang tentu saja tak akan ada satu manusia pun yang bisa mendengarnya.
Berjarak beberapa detik, Gunhak kembali berucap. "Istrimu berselingkuh, seharusnya kau segera menegurnya. Meski kau tidak mencintainya, tapi kau terikat tanggung jawab terhadap wanita itu ... jika kau tidak bisa melepaskan tanggung jawab itu, lalu kenapa kau hanya berdiam diri seperti ini?"
Gunhak berdecih, "menyedihkan."
Si Dewa kematian lantas mengangkat buku di tangannya sedikit lebih tinggi dari pinggangnya, dan saat itu buku tersebut terbuka dengan sendirinya seperti terkena tiupan angin. Meski di sana tidak ada angin yang berhembus.
Pergerakan buku itu terhenti pada sebuah halaman di mana nama Taehwa tertulis di sana. Tangan kiri Gunhak terangkat, mengarah ke atas halaman yang terbuka dari buku itu. Gunhak berinisiatif menggerakkan tangannya. Namun saat itu sebuah tangan berhasil menghentikan pergerakan tangannya.
"Jangan berulah," teguran itu datang dari Juyeon yang tiba-tiba berdiri di samping Gunhak.
Gunhak segera menarik tangannya dari cengkraman Juyeon bersamaan dengan buku di tangannya yang kembali menutup. Gunhak kemudian mengibaskan tangannya. Bukan karena sakit, melainkan dia memang seperti itu.
"Jangan mengulangi kesalahanmu lagi, Kim Gunhak."
"Memangnya apa yang pernah kulakukan? Aku tidak mengurangi atau menambah waktu mereka di dunia."
"Inilah dirimu ... sudah kukatakan untuk membuang hatimu. Jangan menaruh kepedulianmu terhadap manusia."
Gunhak menatap tak terima. "Jangan menuduhku sembarangan."
Juyeon menjatuhkan pandangannya pada Taehwa dan berucap, "pria ini adalah orang baik. Tapi kenapa dia harus mati dengan cara seperti itu?" Juyeon kembali memandang Gunhak. "Bukankah itu yang sedang kau pikirkan?"
Gunhak menatap jengah sebelum memalingkan wajahnya dan duduk di sisi ranjang dengan kedua kaki yang di naikkan ke atas ranjang.
Dia berucap dengan malas, "pergilah dan berhenti menguntitku."
"Apa yang ingin kau lakukan barusan?"
Gunhak memandang tanpa minat. "Bukan apa-apa," jawabnya acuh.
"Katakan padaku."
"Agar kau bisa mengadukannya pada Asosiasi?"
"Jika aku berniat mengadukan tindakanmu. Mungkin sudah dari dulu kau mendapatkan sanksi dari Asosiasi ... jangan ikut campur dalam permainan takdir, jika kau tidak ingin bergabung dalam permainan itu sendiri."
Gunhak melemparkan bukunya ke samping dan bersedekap. Tak peduli jika buku tersebut jatuh tepat di samping tangan Taehwa.
"Berhenti bicara tidak jelas dan lakukan saja tugasmu sendiri."
"Hanya sebagai pengingat. Sebelum kita di tugaskan, seorang Dewa Kematian penyegel ingatan telah melakukan kesalahan fatal dengan melibatkan diri dalam permainan takdir."
"Lim Changkyun. Aku sudah tahu itu, kau tidak perlu lagi menceritakannya padaku."
"Kau tahu sanksi apa yang di berikan Asosiasi pada senior Lim?"
"Apa?" sahut Gunhak tanpa minat.
"Reinkarnasi."
Netra Gunhak sekilas melebar sebelum kembali memandang Juyeon dengan tatapan tak bersahabat.
"Apanya yang buruk dari sebuah reinkarnasi? Bukankah itu jauh lebih baik? Mereka mendapatkan kesempatan untuk merasakan hidup kembali."
"Akan menjadi buruk jika kau di permainkan oleh takdir."
"Apa maksudmu?"
"Siapa nama anak dari pria ini?"
Gunhak sekilas memandang Taehwa dan kembali pada Juyeon. Dia berucap dengan tatapan yang terlihat waswas, "Kim Changkyun."
"Anak itu adalah reinkarnasi dari senior Lim Changkyun."
Netra Gunhak terbelalak. Cukup terguncang dengan apa yang baru saja di katakan oleh Juyeon. "Jangan konyol."
"Kau tahu bagaimana nasib anak itu setelah di tinggalkan oleh ayahnya. Itulah hukuman yang harus di jalani senior Lim atas kelalaian yang ia buat dalam tugasnya ... sekarang, kau masih berpikir bahwa reinkarnasi merupakan sesuatu yang baik? Anak itu di tinggal mati oleh ayahnya dan ibunya berselingkuh ... kau berpikir bahwa anak itu akan menjalani hidupnya dengan baik setelah ini?"
Gunhak memijat keningnya. Merasa terjebak dengan fakta yang baru saja di beberkan oleh Juyeon. Dia tahu bahwa dulu memang ada seorang Dewa Kematian yang di berikan sanksi setelah ikut campur dalam takdir manusia. Tapi dia tidak tahu jika Lim Changkyun, seniornya itu bereinkarnasi menjadi putra dari pria menyedihkan di sampingnya itu.
Namun, di saat kedua Dewa Kematian itu sibuk dengan urusan mereka. Saat itu pandangan Taehwa terjatuh pada tangannya, di mana ia melihat sebuah buku aneh yang entah datang dari mana dan tiba-tiba sudah tergeletak di samping tangannya.
Tanpa membuat banyak pergerakan. Taehwa mengerakkan tangannya untuk mengambil buku tersebut. Namun tepat saat ujung jemarinya menyentuh permukaan buku itu, pintu tiba-tiba terbuka dan mengalihkan perhatian ketiganya.
Saat itu Gunhak kembali di buat terkejut ketika melihat tangan Taehwa berada di atas bukunya. Sebelum Juyeon menyadari hal itu, dia segera mengambil buku miliknya dan menghilang dari sana. Juyeon yang melihat hal itu pun segera melenyapkan diri dari sana.
Melihat bahwa Joohyun yang masuk. Taehwa kembali menaruh kepalanya yang sempat terangkat. Berinisiatif untuk mengambil buku yang sebelumnya ia lihat, ia di buat tertegun ketika tak mendapati apapun di bawah tangannya.
"Kau tidak pergi ke kantor?" tegur Joohyun, membuat Taehwa mengabaikan tentang buku misterius tersebut.
Joohyun duduk di tepi ranjang tepat di balik punggung Taehwa. Tangan kanannya kemudian terangkat dan terjatuh pada lengan suaminya itu.
"Kenapa? Kau ada masalah di kantor?"
"Tidak ada."
"Lalu? Kenapa kau seperti ini?"
"Apa maksudmu? Aku memang seperti ini sejak dulu."
"Kau marah padaku?"
Taehwa tak memberi jawaban. Tak juga beralih dari posisinya.
Joohyun kembali berucap, "apa aku sudah melakukan kesalahan? Jika iya, katakan padaku dan aku akan meminta maaf."
Semudah itu perkataan itu keluar dari mulut istrinya. Sudut hati Taehwa kembali tersakiti meski tak ada yang salah dari ucapan Joohyun. Namun kesalahan di sana adalah bahwa Joohyun lah yang mengatakan hal itu.
"Aku hanya butuh istirahat, aku akan ke kantor lebih siang."
"Kau yakin tidak apa-apa?"
"Pergilah, kau sudah terlambat."
Joohyun sekilas melihat jam di pergelangan tangannya. "Ya sudah, aku pergi dulu. Nanti malam ... aku ada janji dengan klien, dan mungkin aku tidak akan pulang malam ini."
"Pergilah."
"Jika kurang sehat, tidak usah ke kantor. Aku pergi dulu."
Joohyun beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu. Tepat setelah pintu tertutup dari luar, satu tangan Taehwa meremat bantal yang berada di bawah tangannya. Merasa marah, merasa harga dirinya tersakiti. Namun pada akhirnya mulutnya hanya terkatup rapat dengan telinga yang sengaja di tuliskan dan mata yang di butakan. Apa yang bisa ia lakukan sekarang?
"Waktu tersisa, 28 hari."
Selesai di tulis : 08.05.2020
Di publikasikan : 08.05.2020
Mohon maaf, mohon maaf. Ini Alur tambahan yang datang tiba-tiba 🤧🤧🤧 Saya pernah mengatakan bahwa Book ini tidak ada kaitannya dengan Book SHINIGAMI.
Tapi pada episode ini menjelaskan bahwa Book tersebut ada kaitannya dengan Book ini. Bagi yang dulu sempat melihat Line Up untuk SHINIGAMI, pasti tahu tentang sosok Dewa Kematian penyegel ingatan yang di perankan oleh Changkyun.
Di Book SHINIGAMI, Lim Changkyun di kisahkan sebagai seorang Dewa Kematian penyegel ingatan yang telah menyalahi aturan dan di akhir kisah harus menerima hukuman dari Asosiasi.
Dan hukuman yang ia terima adalah sebuah reinkarnasi. Dan karakter Kim Changkyun di sini tidak lain adalah reinkarnasi dari Dewa Kematian Lim Changkyun. Dan kisah pilu Kim Changkyun di sini adalah hukuman dari kelalaiannya dalam menjalankan tugas saat ia masih bertugas sebagai Dewa Kematian.
Dari sini sudah jelas, atau tidak mengerti🤧🤧🤧 Tak apa meskipun tidak mengerti. Karena saya juga tidak akan terlalu membahas kisah SHINIGAMI di sini.
Dan alur ini benar-benar muncul dadakan ketika saya membuat perbincangan antara Gunhak dan Juyeon di atas. Sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Jadi, jika ada sesuatu yang membuat kalian bingung. Jangan sungkan untuk bertanya🤧🤧🤧
Sekali lagi mohon maaf, ini di luar dugaan🥺🥺🥺
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro