Lembar 04
Changkyun keluar dari kamarnya dengan seragam lengkap yang menegaskan bahwa ia sudah siap untuk pergi ke sekolah. Saat hendak menuruni anak tangga, sang ayah datang menyusulnya.
"Kau sudah siap?" tegur Taehwa, berjalan menghampiri putranya dengan langkah yang terkesan terburu-buru. Sedangkan Changkyun hanya mengangguk.
"Kalau begitu, ayo. Ayah akan mengantarmu."
Taehwa meraih pergelangan tangan Changkyun, menariknya dengan lembut namun terkesan memaksa. Membuat sang putra menatapnya dengan heran.
"Tidak sarapan dulu?" tegur Changkyun ketika keduanya mencapai lantai dasar.
"Kita sarapan di luar, ayah sedang buru-buru."
"Aku bisa di antar pak Han."
"Tidak apa-apa, ayah yang akan mengantarmu hari ini."
Changkyun sempat menoleh ke belakang sebelum keluar dari rumahnya. Masih dengan tangan yang di genggam oleh ayahnya, pemuda itu turun ke halaman.
"Tapi kita belum berpamitan pada ibu."
"Ibumu sedang sibuk." Terkesan acuh, Taehwa lantas mengedarkan pandangannya untuk menemukan pak Han.
"Pak Han." Sedikit memekik, suara itu lantas membuat pak Han berlari mendekat.
"Tuan sudah akan berangkat?"
"Berikan kuncinya padaku. Jika Joohyun bertanya, katakan padanya bahwa Changkyun pergi bersamaku."
"Baik, Tuan."
Taehwa segera mengarahkan sang putra masuk ke dalam mobil. Tampak seperti tengah ingin menghindari sesuatu, Taehwa segera meninggalkan kediamannya meski masih terlalu pagi bagi Changkyun untuk pergi ke sekolah.
Setelah kepergian suami serta putranya, Joohyun keluar dari kamar mandi dan sedikit heran ketika melihat kamar yang sudah kosong. Karena biasanya Taehwa akan berada di sana sampai ia mengikatkan dasi suaminya itu.
Berpikir bahwa Taehwa sudah turun terlebih dulu. Joohyun melakukan persiapan kecilnya sebelum berangkat menuju Butiknya. Sekitar tigapuluh menit, wanita itu turun ke bawah dan kembali terheran setelah tidak mendapati siapapun di meja makan. Bahkan semua masih tampak rapi.
Joohyun lantas berjalan ke dapur dan menemukan bibi Jang yang tengah sibuk membersihkan dapur.
Joohyun menegur, "Bibi Jang."
"Iya, Nyonya." Bibi Jang segera menegakkan tubuhnya.
"Di mana Tuan dan Changkyun?"
"Tuan dan Tuan Muda sudah berangkat."
"Berangkat kemana?"
"Sepertinya Tuan Taehwa mengantarkan Tuan Muda terlebih dulu."
Dahi Joohyun mengernyit. Di lihatnya jam di pergelangan tangannya. Merasa aneh dengan kelakuan Taehwa sejak semalam.
"Nyonya ingin sarapan dulu?" tegur bibi Jang.
"Tidak, tidak ... aku akan langsung ke Butik."
Joohyun segera meninggalkan dapur dan bergegas keluar rumah. Menuruni anak tangga yang terhubung dengan halaman, di lihatnya pak Han yang tengah membersihkan bagian luar mobilnya.
"Pak Han."
"Oh! Nyonya sudah ingin berangkat?"
Joohyun mengangguk dan menerima kunci mobil yang di serahkan oleh pak Han.
"Apa Tuan mengatakan sesuatu sebelum pergi?"
"Tuan berpesan. Jika Nyonya bertanya, Tuan Muda berangkat bersama Tuan."
"Dia tidak mengatakan apapun lagi?"
Pak Han menggeleng. "Tuan terlihat sangat terburu-buru, sepertinya Tuan mendapatkan masalah di kantor ... semalam Tuan cukup lama berdiam diri di mobil sebelum masuk ke dalam rumah."
Dahi Joohyun kembali mengernyit setelah mendengar penuturan pak Han. "Ya sudah, nanti malam tolong jemput Changkyun seperti biasa."
"Baik, Nyonya."
Joohyun masuk ke dalam mobilnya dan segera meninggalkan kediamannya dengan rasa penasaran terhadap tingkah suaminya.
Melajukan mobilnya berbaur dengan kesibukan di jalan utama pagi itu, Joohyun mengambil ponselnya dan menghubungi Taehwa. Sedangkan Taehwa yang saat itu melihat panggilannya justru menolak dan mengabaikan panggilan itu.
Joohyun mendecak, "ck, kenapa dengan orang ini?"
Joohyun kemudian menaruh ponselnya di atas dasrboard. Memilih mengacuhkan sikap aneh Taehwa pagi itu. Sedangkan di sisi lain, Changkyun memandang sang ayah setelah pria itu menolak panggilan dari seseorang dan tampak kesal.
"Kau ingin langsung ke sekolah, atau ke kantor ayah dulu?"
Changkyun sempat kaget ketika Taehwa tiba-tiba menegurnya. "Terserah ayah saja, lagi pula ini masih pagi."
"Kalau begitu ke kantor ayah dulu."
Changkyun sesekali mencuri pandang, memperhatikan garis wajah sang ayah yang tampaknya tengah marah kepada seseorang. Namun ia hanya diam saja, tak memiliki keberanian untuk ikut campur dengan masalah orang dewasa dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan bermain game di ponselnya.
Seulgi mengetuk pintu sebagai formalitas sebelum masuk ke ruangan Taehwa. Menutup pintu dari dalam, Seulgi lantas menghampiri Taehwa di meja kerjanya.
"Presdir, pihak pengelola ingin melakukan pertemuan denganmu. Aku sudah menyusun jadwalnya, jika kau tidak keberatan, kita bisa ke Ilsan pagi ini."
Kursi besar yang sebelumnya membelakangi meja itu berputar dan membuat Seulgi tertegun ketika bukanlah Taehwa yang duduk di sana, melainkan Changkyun.
"Changkyun? Kau di sini?"
Changkyun hanya mengangguk tanpa memberikan respon yang lebih berarti lagi.
"Di mana ayahmu?"
"Ayah mengatakan akan pergi keluar sebentar."
"Ah ... begitu, ya?"
"Bibi akan mengajak ayah pergi ke Ilsan?"
"Urusan bisnis, ada beberapa hal yang harus di urus oleh ayahmu."
"Memangnya apa yang sedang ayah lakukan di Ilsan."
"Ayahmu sedang membangun Rumah Sakit untuk anak-anak penderita Kanker."
"Sungguh?" Changkyun menunjukkan minatnya. "Kenapa ayah tidak pernah memberitahuku?"
"Dia tidak memberitahumu?"
"Tidak," jawab Changkyun sembari menggeleng.
"Pembangunannya sudah mencapai 65%. Kemungkinan tahun depan sudah mulai beroperasi."
Pintu ruangan terbuka dari luar. Menginterupsi pembicaraan keduanya dan menampakkan Taehwa masuk dari sana.
"Kau di sini?" tegur Taehwa yang datang dengan dua cup minuman.
Menghampiri Changkyun. Taehwa memberikan satu cup minuman kepada putranya. "Minumlah ini."
"Apa ini?"
"Chamomile Tea."
Changkyun mengambil cup tersebut. "Ayah sedang membangun Rumah Sakit?"
Taehwa segera memandang putranya dengan tatapan bertanya. "Dari mana kau tahu?"
"Bibi Seulgi yang bilang."
Taehwa langsung memandang Seulgi yang kemudian tersenyum lebar. Sejak awal Taehwa memang sudah memperingatkan agar tidak ada yang memberitahu Changkyun perihal proyek Rumah Sakit yang tengah ia tangani, karena ia berencana menjadikan Rumah Sakit itu sebagai hadiah ulang tahun untuk putranya. Tapi sepertinya Seulgi lupa akan hal itu.
"Changkyun membalik kursinya ... aku pikir dia adalah Presdir."
Changkyun kembali bertanya, "seberapa besar Rumah Sakit itu?"
"Tiga kali lipat lebih besar dari rumah kita."
Changkyun mengangguk-anggukkan kepalanya sembari memikirkan seberapa besar bangunan Rumah Sakit itu jika tiga kali lipat lebih besar dari rumahnya yang terbilang sangat luas itu.
Sejenak meninggalkan putranya. Taehwa memandang Seulgi. "Ada perlu apa?"
"Pihak pengelola ingin bertemu dengan Presdir."
"Ada masalah apa?"
"Ada beberapa hal yang harus di rapatkan kembali."
"Bagaimana dengan jadwalku hari ini?"
"Siang ini Presdir harus menjemput Presdir Kang di Bandara. Jika Presdir tidak keberatan, akan lebih baik pagi ini Presdir pergi ke Ilsan."
Taehwa sejenak melihat jam di pergelangan tangannya. "Ya sudah, kau siapkan berkas yang di butuhkan. Kita pergi pagi ini."
"Haruskah aku ikut?"
"Kau yang mengemudi, ada beberapa hal yang harus aku urus di jalan." Taehwa kemudian menjatuhkan pandangannya pada Changkyun. "Changkyun, ayo. Ayah akan mengantarmu ke sekolah."
Changkyun beranjak dari duduknya, dan meraih ranselnya. Namun saat itu Taehwa justru menahannya.
"Biar ayah bawakan."
"Tidak ... aku bisa membawanya sendiri."
"Tidak apa-apa, biar ayah yang bawakan."
Tak bisa menolak, Changkyun pun membiarkan sang ayah membawakan ranselnya. Taehwa sekilas memandang Seulgi dan berucap, "aku tunggu di mobil."
"Ye."
Taehwa merangkul bahu putranya dan keduanya pun berjalan keluar bersama-sama dengan Seulgi yang menyusul di belakang mereka.
Changkyun berdiam diri di mobil ketika kedua orang dewasa di hadapannya tengah membicarakan seputar dunia bisnis yang belum ingin ia mengerti. Sesekali ia berbalas pesan dengan Jisung, namun sedikit kesal karena Jisung sering mengabaikan pesannya meski telah membacanya.
Setelah cukup jauh dari kantor. Tidak jauh di hadapan mereka, pandangan Taehwa menangkap sebuah tenda di pinggir jalan yang berjualan makanan ringan.
"Changkyun."
"Ya?"
"Kau ingin makan Bungoeppang?"
"Di mana?" Changkyun segera menegakkan tubuhnya.
Seulas senyum terlihat di wajah Taehwa. Dia lantas berujar, "tepikan mobilnya."
Seulgi menepikan mobilnya tidak jauh dari pedagang yang di maksud oleh Taehwa. Taehwa pun mengambil beberapa uang dari dalam dompetnya dan segera memberikannya pada Changkyun.
"Ini, belikan juga untuk bibi Seulgi."
Changkyun menerima uang itu dan segera turun dari mobil. Pemuda itu berlari kecil untuk menjangkau tenda pedagang itu, sedangkan kedua orang dewasa di sana tengah memperhatikannya.
"Kau memiliki putra yang sangat lucu, Presdir."
"Kenapa? Kau iri?"
"Ck, jangan mulai lagi."
Tak seperti biasa. Taehwa langsung berdiam diri dengan pandangan yang tak lepas dari sosok putranya, dan hal itu berhasil menarik perhatian Seulgi.
"Kau ada masalah?" Menghilangkan formalitas, Seulgi kembali datang sebagai seorang teman.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Taehwa menjawab, "sepertinya begitu."
"Dengan kak Joohyun?"
Taehwa hanya sekilas memandang dan berdiam diri setelahnya.
"Baru semalam aku mengatakan padamu ... kau benar-benar tidak ingin memperbaiki semuanya?"
"Akan kupikirkan nanti."
"Masalah tidak akan membaik jika hanya di diamkan. Lebih baik selesaikan sebelum semuanya semakin bertambah sulit."
Kali ini Taehwa benar-benar memandang lawan bicaranya. "Putraku akan menjalani ujian akhir sekolah dalam waktu dekat. Aku tidak ingin masalah ini sampai mengganggu pikirannya."
"Apa masalahnya memang sebesar itu?"
Taehwa tersenyum tipis. "Aku bisa menyelesaikannya jika memang sudah waktunya."
Pembicaraan mereka terhenti ketika Changkyun kembali ke mobil dengan kantong kertas berisikan adonan tepung yang di bentuk menyerupai ikan.
"Sudah dapat?" tegur Taehwa.
"Pamannya memberikan bonus dua, dia bilang untuk pelanggan pertama."
"Ini adalah hari keberuntunganmu."
Seulgi kembali melajukan mobilnya menuju sekolah Changkyun. Seulgi sesekali memandang Taehwa menggunakan ekor matanya dan menemukan Taehwa yang sedari tadi memperhatikan putranya melalui spion di depan mereka.
"Ayah dan Bibi tidak mau."
"Tidak, untukmu saja."
Taehwa kemudian menegur. "Changkyun."
"Ya?"
"Kau jadi ingin mencari kado untuk temanmu?"
Changkyun mengangguk. "Jika ayah mengizinkan, aku akan pergi bersama Jisung sepulang sekolah."
"Bibi Seulgi akan mengantar kalian, kalian tunggu di sekolah."
Seulgi bertemu pandang dengan Taehwa yang kemudian memberikannya seulas senyum tipis.
Seulgi kemudian menyahut, "memangnya apa yang ingin kau berikan pada temanmu itu?"
"Aku dan Jisung belum memikirkannya, aku akan menanyakannya pada Jisung nanti."
Taehwa sejenak memijat keningnya ketika mendengar putranya yang lagi-lagi menyebut nama Jisung. Bukannya ia tidak suka terhadap anak itu, tapi setiap kali mendengar nama itu, pikirannya selalu kembali pada foto-foto yang ia terima semalam. Bagaimana mungkin istrinya berselingkuh dengan ayah dari teman putra mereka. Taehwa masih tak habis pikir dan pergerakan kecilnya itu sempat tertangkap oleh Seulgi.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan sekolah Changkyun. Pemuda itu bergegas turun dari mobil setelah melihat bahwa sahabatnya baru akan memasuki gerbang.
"Jisung ..." pekik Changkyun dan berhasil menghentikan langkah seorang pemuda yang hendak memasuki gerbang.
"Ayah, Bibi aku pergi dulu."
"Jangan terlalu lama bermain di luar, udaranya dingin."
Nasehat Taehwa terabaikan begitu saja ketika pemuda itu yang lebih dulu berlari menghampiri Jisung.
Seulgi lantas berucap, "mereka sepantaran, tapi kenapa Changkyun terlihat lebih tua?"
"Karena putraku di takdirkan untuk dewasa sebelum waktunya," gumam Taehwa.
"Kau ada-ada saja ..." Seulgi kembali melajukan mobilnya.
Kedua pemuda itu berjalan beriringan memasuki area sekolah dengan obrolan ringan mereka. Namun langkah Changkyun tiba-tiba terhenti begitupun dengan Jisung ketika Changkyun menarik ransel pemuda itu.
"Ada apa?"
"Apa yang orang itu lakukan di sana?"
Jisung mengikuti arah pandang Changkyun. Memandang ke atap gedung dengan mata yang sedikit memicing mencoba mencari orang yang di maksud oleh Changkyun.
"Di mana?"
"Di sana, dia berdiri di tepi gedung." Changkyun menunjuk ke atap gedung, di mana terdapat seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di pinggiran gedung.
Jisung kembali memandang dan terlihat bingung ketika tak melihat siapapun. "Tidak ada."
"Kau tidak melihatnya? Dia sedang berjalan di tepi gedung."
Jisung sekali lagi memandang ke arah yang di tunjuk Changkyun, namun tetap tak melihat apapun. Dengan segera ia memandang Changkyun.
"Kau tidak sedang membohongiku, kan?"
"Tidak, untuk apa aku bohong?"
"Ya sudah, biarkan saja. Mungkin dia mencari seseorang." Jisung segera menggandeng tangan Changkyun dan membawa sahabatnya itu memasuki bangunan sekolah. Dia tidak tahu siapa yang di maksud oleh Changkyun karena memang tidak ada siapa-siapa di atap gedung.
Angin musim dingin yang masih melekat berhembus dengan pelan seakan tak ingin menggoyahkan pendirian dari seseorang yang saat itu berjalan menyusuri pinggiran gedung. Rahang tegas yang menunjukkan sisi arogannya, membimbing pandangannya untuk melihat lalu-lalang para pelajar sekolah menengah pertama yang berada di bawahnya.
Kim Gunhak, si Dewa Kematian yang selalu membawa sebuah buku di tangannya. Sekedar bersinggah sebelum membimbing satu jiwa yang telah menghabiskan waktu satu bulan yang sebelumnya ia berikan untuk meninggalkan segala urusan duniawi.
Langkah itu kemudian terhenti ketika ia merasakan udara asing yang familiar datang untuk menyapa. Menoleh ke samping, ia temui rekan sesama Dewa Kematian yang kemudian datang mendekatinya dengan ujung mantel hitam yang sesekali terangkat ke udara.
Lee Juyeon, berdiri berhadapan dengan Kim Gunhak. Tak jauh berbeda dengan Gunhak, sama sekali tak ada keramahan di wajah mereka.
"Aku tidak mengusikmu, jadi apa yang membuatmu datang mencariku?" tegur Gunhak yang merasa sedikit terganggu akan kehadiran rekannya itu.
"Senior Yoo telah di berhenti kan dari tugas."
"Lalu? Siapa yang akan menjadi Dewa Kematian penyegel ingatan?"
"Asosiasi memberiku wewenang."
Sebelah alis Gunhak terangkat. "Lalu setelah itu?"
"Kau akan berkeja sendiri setelah ini, dan bertanggung jawab atas sepuluh kasus yang sedang kutangani."
Gunhak memandang tak percaya. "Sungguh? Kau sedang bercanda? Perkejaanku saja masih menumpuk ... aku masih harus pergi ke sana-kemari. Jika kau ingin pensiun, harusnya kau selesaikan dulu pekerjaanmu ..."
"Bicarakan itu dengan Asosiasi, aku hanya mengikuti arahan mereka."
"Aish ... kau ini."
Tak di beri kesempatan untuk melampiaskan kekesalannya. Buku di tangan Gunhak bergetar di iringi oleh cahaya kilat yang keluar dari buku itu. Gunhak lantas membuka buku itu secara asal. Menunjukkan halaman kosong yang perlahan mulai terisi.
Di mulai dari potret seorang pria, di susul oleh beberapa tulisan yang kemudian memenuhi halaman kosong itu.
"Ya ampun, kenapa aku harus mendapatkan orang semacam ini?"
"Ada masalah?"
"Dia pria baik-baik. Akan ada banyak hal menyedihkan jika berurusan dengan orang seperti ini."
"Siapa?"
"Kim Taehwa, CEO dari Global Nation Group. Memiliki istri bernama Bae Joohyun dan seorang putra bernama Kim Changkyun ... dia memiliki riwayat hidup yang menyedihkan."
"Kau ingin membela manusia?"
Sudut bibir Gunhak tersungging, "cih! Kau bercanda?"
"Sebaiknya tidak, atau kau akan mendapatkan masalah denganku."
"Berhenti mengawasiku."
Gunhak membuka telapak tangannya di udara dan tiba-tiba muncul sebuah pena hitam di tangannya. Ia kemudian menggunakan pena di tangannya untuk membubuhkan tanda tangan di bagian bawah halaman yang kosong.
"Laporan di terima. Terhitung satu bulan dari sekarang, aku akan membimbing jiwa Kim Taehwa untuk meninggalkan urusan duniawi."
Selesai di tulis : 06.05.2020
Di publikasikan : 08.05.2020
Bungoeppang : Kue manis berbentuk ikan dengan selai kacang di dalamnya. Terbuat dari adonan tepung dan biasa di jual di pinggir jalan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro