Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga

[ !WARNING! THIS CHAPTER MENTION ABOUT SUICIDED CONTENT! ]

***

Vivian tak bisa menahan bersinnya yang muncul tiba-tiba. Suhu di ruangannya tidak terlalu dingin, dan di luar juga sedang tidak hujan. Tapi entah kenapa, ia tiba-tiba merasa menggigil.

["Kau sedang flu?"]

Suara Carol membawa kesadaran Vivian lagi. Ah benar, ia sedang melakukan video call dengan sahabatnya itu lewat laptopnya. Karena ponselnya sudah menjadi ponsel geprek. Seperti yang ia perkirakan.

"Tidak," Vivian menggeleng. Meraih tisu di tasnya, dan membersihkan hidungnya sesaat. "Mungkin ada yang sedang membicarakan hal buruk tentangku,"

["Konsep konyol dari mana itu?"]

Vivian tertawa kecil. Dan tiba-tiba, suasana berubah hening.

Dalam diam, iris emerald Vivian memandangi wajah Carol yang tergambar di layar laptopnya. Dengan terbatasnya ukuran layar, tentu Vivian tak bisa sepenuhnya melihat sosok Carol. Sedang apa dia, atau sedang dimana dia.

["Kenapa tiba-tiba diam?"]

Carol lebih dulu bersuara. Mempertanyakan keheningan yang terbangun di antara mereka.

Sebelumnya mereka sudah bercerita panjang lebar. Tentang apa yang mereka lakukan seharian ini, juga apa yang masing-masing mereka alami. Kedua sahabat itu sangat menikmati waktu mereka. Tak peduli meski mereka terhalang oleh jarak yang teramat sangat jauh.

"Ah maaf. Aku ... sedang terpikirkan sesuatu," ujar Vivian menggaruk belakang kepalanya. Merasa malu sendiri.

Carol terlihat memiringkan kepalanya.

["Mengganggu pikiran?"]

Vivian mengangguk. Yang entah atas dasar apa, Carol justru tertawa. Tentu hal itu menimbulkan rasa heran di pikiran Vivian. Keningnya mengerut bersama salah satu alisnya yang sedikit melengkung naik.

"Kenapa malah tertawa?" tanya si rambut cokelat heran.

["Ah maaf. Bukannya aku berniat menertawakanmu atau mengejekmu,"]

"Lalu?"

Carol nampak mengubah posisinya. Berpangku dagu di atas sesuatu, dan ganti tersenyum.

["Aku hanya penasaran. Hal apa yang membuat seorang Vivian Adrienne merasa kesulitan seperti ini,"]

Carol terkekeh pelan. Membuat Vivian tak bisa menahan diri untuk tidak cemberut.

"Aku serius," keluh Vivian bersedekap.

["Iya iya, maafkan aku. Apa yang mengganggu pikiranmu? Kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku bisa membantu,"]

"Kau yakin?" tanya Vivian memastikan. Nada bicaranya terdengar khawatir.

["Tentu saja! Kita ini sahabat, 'kan!"]

Memang mereka sahabat. Vivian mengakui itu. Dan ia sangat menghargai persahabatan mereka. Tapi dirinya juga tetap menghargai privasi Carol. Ia tak mau persahabatan mereka pecah begitu saja karena Vivian tak bisa menghargai privasi orang lain.

"Kau ... tidak perlu menjawabnya jika merasa tak mau," ujar Vivian seolah memperingatkan.

Carol tampak tak ambil pusing.

"Kalau begitu ...," Vivian terhenti. Meyakinkan diri untuk mengutarakan apa yang ada di pikirannya. "Apa alasanmu mencoba mengakhiri hidup?"

Dan tepat ketika pertanyaan itu terucap, Vivian bisa melihat manik biru pucat di hadapannya membulat.

***

"Kau pasti bercanda." Keluh Yuuna tak bisa berkata-kata.

Tak terasa hari telah berganti, dan Yuuna berharap hari baru ini tidak membuatnya naik pitam karena masalah baru yang memusingkan. Namun rupanya, Kami-sama merencanakan hal lain.

'Kami-sama benar-benar membenciku ya.' Pikir Yuuna sepintas.

Yuuna berpikir sepertinya wanita kemarin—siapa namanya? Oh ya, Vivian Adrienne. Tunggu, namanya kok begitu?—pasti menguntitnya dengan cara yang entah bagaimana, bisa tidak ia ketahui. Karena jika tidak, sangat mustahil hari ini Yuuna bisa bertemu dengannya lagi.

"H-hai," Vivian tersenyum canggung. Melihat ekspresi kesal yang dilukiskan Yuuna dalam hitungan detik, Vivian bersumpah pasti wanita di hadapannya ini tidak mengharapkan pertemuan ini.

Jangan salah kira! Vivian juga tak memperkirakan hal ini!

"Kau menguntitku, 'kan," tebak Yuuna. Mata cokelatnya berkilat tajam seperti hendak menerkamnya.

"Tidak!" Vivian menyanggah dengan cepat dan tegas, "tempatku menginap memang lewat sini jika aku mau pergi ke pusat kota!"

Sebelum terjadi kesalahpahaman yang fatal, Vivian harus segera menjelaskannya.

Ya, ini sungguh sebuah ketidaksengajaan. Lagi.

Hari ini, Vivian jelas harus pergi ke pusat kota Tokyo untuk pergi ke kediaman dokter spesialisnya. Jadwal check up-nya memang hari ini, di jam 9 pagi. Jadi, ini sepenuhnya bukan tujuan Vivian untuk bertemu Yuuna.

"Jangan bohong," ujar Yuuna mengancam. Matanya jelas tampak melotot.

"Aku tidak bohong!" balas Vivian berterus-terang. Ia sejenak berpikir. Apa yang bisa menunjukkan bahwa ucapannya adalah fakta.

Oh ada!

Dengan cepat, Vivian langsung membuka tas kecil yang menggantung di bahu kanannya. Membukanya dan mengambil dompetnya. Menarik secarik kartu nama, yang langsung ditunjukkan kepada Yuuna setelahnya.

"Lihat! Aku tidak bohong, 'kan!" ujar Vivian tanpa ragu menunjukkan kartu nama di tangannya, tepat di depan wajah Yuuna.

Yuuna spontan mundur selangkah untuk menjauh. Mata cokelatnya yang membulat, mencoba fokus dengan apa yang ditunjukkan Vivian.

[CONSULTATION CARD
dr. Kunagai Akira, Sp.THT
Tokyo, xx xxx]

'Spesialis THT?' pikir Yuuna heran. Yang dalam hitungan detik, ia teringat akan sesuatu. 'ah benar. Wanita ini, 'kan ... tapi tunggu.'

Selama beberapa detik, Yuuna mencoba berpikir. Memutar ulang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu.

Yang kemudian, tampak wajah Yuuna berubah memerah dalam hitungan detik.

"Kenapa wajahmu memerah?" tanya Vivian heran. Sambil perlahan menurunkan tangannya dari wajah Yuuna. Ia yakin wanita itu sudah selesai membacanya.

"M-maafkan aku," ujar Yuuna lirih dan agak tertunduk.

"Ha?"

"Aku bilang, maafkan aku!" ulang Yuuna dengan lantang, dan buru-buru ia berbalik untuk kabur dari rasa malunya.

Tahu langkah yang hendak diambil Yuuna, Vivian dengan cepat menahan salah satu lengannya.

"Tunggu!" henti Vivian, "kau ...,"

'Setiap orang memiliki masalahnya sendiri. Dan ada beberapa di antaranya yang beranggapan bahwa mengakhiri hidup adalah cara terbaik untuk lepas dari masalah itu.'

Ucapan Carol di hari sebelumnya terngiang tiba-tiba di pikiran Vivian. Itu membuat kening Vivian berkerut, dan sukses melahirkan tanda tanya di benak Yuuna.

"Aku akan membantumu," ujar Vivian tiba-tiba, "apapun masalahmu, aku akan membantumu. Jadi, tolong jangan berpikir bahwa mati adalah akhir terbaik."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro