Dua
***
Yuuna menjatuhkan tas yang dibawanya ke lantai kamarnya. Berjalan malas—tak bersemangat—menuju kasur, dan langsung menjatuhkan dirinya ke permukaan empuk, lembut dan berwangi softener itu.
Selama beberapa saat, wajahnya masih tenggelam pada permukaan kasurnya. Tubuhnya mematung dalam posisi telungkup. Tapi pikirannya, saat itu sedang melaju tanpa henti.
'Um ... Bisa kau bicara pelan-pelan? Aku tidak bisa membaca gerak bibirmu.'
Sebuah ucapan terbayang kembali di benaknya. Menggema dalam pikirannya, dan membuat Yuuna akhirnya menolehkan wajahnya dari kasur. Memandang meja kerjanya yang berantakan oleh kertas-kertas dan alat menggambar.
***
Memuakkan. Memuakkan. Memuakkan.
Itulah perasaan yang dirasakan Yuuna saat dirinya menyadari bahwa ia diikuti. Dan ketika wanita berambut cokelat tembaga itu melirik siapa yang mengikutinya, rasa kesalnya semakin menjadi.
Wanita asing itu lagi. Mau sampai kapan dia mengganggu Yuuna? Tidak bisakah wanita itu membiarkannya saja? Membiarkannya mati dengan tenang.
'Menyebalkan!' batin Yuuna kesal bukan main.
Langkah jenjangnya yang lebar seketika berhenti. Membuat orang di belakangnya nyaris menabrak punggungnya karena berhenti dengan tiba-tiba.
"Bisa kau hentikan itu?" tanya Yuuna masih memunggungi wanita sebelumnya. Kedua tangannya terlihat mengepal. Jelas mencoba menahan amarahnya agar tidak meledak.
Tapi kemudian, Yuuna tiba-tiba berbalik menghadap orang yang mengikutinya. "Berhenti mengikutiku! Dan jangan sok akrab padaku!" Bentaknya, "memangnya kau tahu apa soalku?! Apa yang kulakukan ini tak ada hubungannya denganmu sedikit pun!"
Barisan keluhan diutarakannya dengan lantang dan kesal. Tak peduli jika itu membuatnya menjadi pusat perhatian, karena ia yakin orang-orang pasti akan menganggap itu hanya pertengkaran kecil antara dua orang teman.
Teman? Ia bahkan bukan teman wanita bermata hijau ini. Tahu namanya saja tidak.
Wanita di hadapan Yuuna terdiam. Keningnya terlihat mengerut seperti orang yang sedang berpikir keras.
"Um ...," Wanita itu menggaruk tipis pipinya. Rona merah terlihat menghias pipinya yang tampak halus itu. "Bisa kau bicara pelan-pelan? Aku tidak bisa membaca gerak bibirmu,"
Yuuna mengerjap. Mulutnya tanpa sadar menganga, tapi tak ada sepatah kata yang terucapkan.
"Aku tahu kau kesal karena aku mengikutimu ter—"
"Apa maksudmu membaca gerak bibir?" Potong Yuuna menatap intens wanita di hadapannya.
Sang wanita ganti terdiam. Mulutnya seketika mengatup ketika mendapat pertanyaan tak terduga dari Yuuna.
Ia menatap sekitar. Mengusap belakang lehernya yang tertutupi oleh surai cokelat panjangnya.
"Aku tunarungu,"
Yuuna terdiam.
"A-apa?" Tanya Yuuna seolah dirinya lah yang justru tidak dapat mendengar.
"Aku, tunarungu," ulang wanita di hadapannya menunjuk salah satu telinganya, "walau aku tidak seratus persen tidak bisa mendengar, tapi apa yang bisa kau dengar jika itu hanya berfungsi sekitar 10 sampai 20 persen saja? Karena itulah aku memutuskan untuk belajar gerak bibir untuk mempermudahkanku berkomunikasi,"
"Jadi sedari tadi ... kau membaca gerak bibirku?" tanya Yuuna lagi usai mendengar penjelasan wanita tersebut.
"Ya," jawab si wanita bermata hijau dengan anggukan.
"Lalu bagaimana kau bisa mendengar klakson mobil yang hendak menabrakku?" Yuuna bergerak mendekati wanita tersebut. Yang secara spontan, tampak dirinya langsung bergerak mundur menjauh dari Yuuna.
Namun Yuuna tetap melangkah mendekat.
"H-hanya kebetulan!" Jawab si perempuan sedikit panik dan gelagapan, "aku kebetulan sedang berjalan di dekat situ. Dan tanpa sengaja, perhatianku tertuju ke tempatmu begitu saja,"
Yuuna mengerutkan kening. Matanya menyipit, seperti mencoba masuk ke memori wanita di hadapannya ini.
"Aku ... aku tahu tindakanku setelahnya keterlaluan," lanjut si rambut cokelat panjang itu, "maksudku, memang tidak mungkin seseorang akan langsung menerima pemberian orang yang tak dikenalnya. Meski jelas bahwa sebelumnya, orang itu baru saja menolongmu.
"Tapi, ketika aku melihat tatapan matamu usai aku menyelamatkanmu, tanpa sadar tubuhku bergerak dengan sendirinya. Karena sebelum ini, aku juga menghadapi situasi yang serupa,"
"Dan bukan berarti situasi yang kau lewati lebih dulu itu sama denganku," balas Yuuna seperti tidak terima.
"Ya aku tahu. Jadi ...," Wanita di depan Yuuna kembali bergerak mundur selangkah. Lalu membungkukkan badannya sebagai isyarat yang langsung diketahui Yuuna apa itu. "Aku sungguh minta maaf,"
Kini Yuuna balik terdiam. Matanya jelas lurus mengarah ke wanita yang sedang membungkuk di depannya itu.
"Baiklah. Aku memaafkanmu," ujar Yuuna akhirnya pasrah.
Wanita tersebut langsung mengangkat kepalanya. Matanya membulat, tak mengira bisa dengan cepat ia mendapatkan maafnya atas tindakan bodohnya sendiri.
"Arigatou!" Ujarnya tersenyum lega. Yang seketika, senyuman itu sukses melukiskan rona merah di pipi Yuuna.
"I-itu bukan apa-apa!" balas Yuuna memalingkan wajah.
"Dan ... bolehkah aku berpesan satu hal padamu?"
Mendengar pertanyaan yang mengarah ke sebuah izin, Yuuna tanpa sadar kembali menoleh ke wanita sebelumnya.
Ugh. Siapa nama dia ini sebenarnya?
"Pesan?" Tanya Yuuna balik memastikan.
Lawan bicaranya mengangguk. Lalu perlahan ia mengangkat kepalanya.
"Dunia ... tidaklah sekecil yang kau lihat saat ini." Pesan sang wanita dengan nada serius. Seolah ia ingin Yuuna terus mengingat pesannya tersebut.
Yuuna terdiam selama beberapa saat. Matanya mengerjap beberapa kali, pikirannya berusaha mencerna maksud ucapan lawan bicaranya itu. Tapi, dirinya tak bisa memahaminya. Setidaknya untuk saat ini.
"Apa yang—
"Ah! A-aku harus pergi!" Ujar si rambut cokelat memotong ucapan Yuuna, "sekali lagi, aku sungguh minta maaf atas segalanya. Dan ngomong-ngomong, salam kenal ya, aku Vivian Adrienne!"
***
"Dunia ... tidaklah sekecil yang kulihat ...?" bisik Yuuna usai mengingat kembali percakapannya dengan wanita yang menolongnya. "Konyol. Tentu saja aku tahu itu. Dunia ini memang luas, tapi hanya dipenuhi oleh hal memuakkan."
Kini, Yuuna ganti membenamkan wajahnya ke bantalnya. Kedua tangannya perlahan bergerak naik. Mencengkeram kuat permukaan bantalnya tersebut hingga ia bisa merasakan ujung kukunya sendiri.
"Kau pun salah satunya yang juga memuakkan, wanita sok suci."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro