Hey, You....
Hai, kamu....
Jemariku tak pantas bersentuhan dengan tembok yang sama hinanya, berperan sebagai penampung orang yang baru saja berbuat jahat. Kau bilang aku jahat? Entahlah.... Aku tak merasa demikian. Bahkan setelah tangan penuh luka dan darah ini mengotori kesucian dinding bercat putih, aku tak berpikir bahwa aku jahat. Dan aku punya hak untuk tersenyum atas kelakuanku sendiri.
Kau ingin tahu aku kenapa? Aku tertawa sumbang. Kau takkan pernah paham dengan diri ini. Jangankan kamu, aku saja tak bisa menjelaskan semua perilakuku dengan rinci. Aku berbaring, memandang kosong, membayangkan wajahmu di langit-langit kamar, berharap aku dapat menyentuhmu meski sebatas hologram. Aku ingin kamu bilang Kamu tidak sendirian atau Aku akan selalu berada di sisimu. Namun, semua itu hanya bentuk lisan semata, bukan? Pada akhirnya kamu akan tinggalkan aku sendiri, untuk kali sekian.
Siapa saja pelaku yang meninggalkanku di saat aku terpuruk macam sekarang? Biar kuingat.... Maaf, aku bilang begitu. Perlakuan mereka buat sebagian kecil ingatanku terhapus. Ah, aku ingat sekarang. Sekitar ... lima orang? Mungkin segitu. Jangan marah, aku sudah beritahu hal ini dan kau malah memaksaku untuk menjawab. Perlakuan mereka sangat kejam.
Seorang wanita bernama ibu yang seenaknya membentak dan menelantarkan aku layaknya seekor kucing liar yang pantas diusir, aku ingin tertawa bila ingatan itu kembali terngiang. Iya, biasanya aku tertawa dan menangis dalam waktu bersamaan, sebagai bentuk bahwa aku sungguh putus asa. Hanya karena aku lebih jago di bidang non-akademik, dia sampai menelantarkanku. Apa yang ada di otaknya selain nilai raport dan prestasi di bidang akademik seperti olimpide sains nasional? Supaya bangga punya anak yang jauh lebih pintar dan dipastikan dapat pendidikan serta profesi yang lebih bagus? Hah, dasar kuno....
Kemudian, kakakku yang awalnya selalu bawa aku pergi keliling desa dan kota, selalu berbagi makanan dan ruang untuk tidur, dan selalu luangkan waktu untuk bermain denganku, pada ujungnya malah tinggalkan aku. Menurutku ini tidak terlalu buruk, mengingat dia titipkan aku pada paman dan bibi yang tak sedarah dan mau tak mau harus pergi untuk laksanakan akademi militer. Aku tidak boleh egois, bukan? Dia memberikan secercah warna dan hitam untukku, begitupun sebaliknya. Aku percaya akan kebaikan paman dan bibi seperti halnya kakakku. Aku juga percaya, tak lama lagi mereka lah yang berjuang untuk bebaskan aku dari dunianya para kriminal, bukan monyet berkedok ibu.
Lalu siapa lagi, ya.... Entah kenapa pandanganku berkunang-kunang. Kulihat kamu mendekat----tunggu! Kenapa kamu seperti keluar dari TV? Tanganmu muncul. Mau apa kau denganku?
Hei, kamu!
Kamu bawa aku ke mana?
Pandanganku silau. Aku tak dapat melihat apa-apa, bung. Apa? Kamu bilang apa? Aku tak mendengar. Sayup-sayup terdengar orang-orang tengah tertawa. Apa yang mereka tertawakan?
"Bangun, Ven." Suara laki-laki. Siapa dia? Sensasi dingin buat aku terbangun. Ada cowok berambut pendek belah tengah tengah sodorkan kaleng teh soda padaku. "Jangan galau terus," katanya tersenyum lembut. Gawat, aku bisa meleleh! "Diminum biar aktif kayak Venchy yang kukenal."
Ah, jangan ketawa, kamu. Saking lamanya aku bermanja dengan masa laluku, nama sendiri pun jadi lupa. Namun, aku tertegun karena perlakuan lelaki di hadapanku, yang kini tengah memandang sesuatu di belakangku. Dia macam ... kakakku. Aku yakin orang ini bukan dia yang pergi jalani akademi militer.
"Mereka masih saja berantem, ya." Kumohon, hentikan senyumnya yang buat hatiku berbunga-bunga! "Nanti malam bisa, kan?"
"Hah? Bisa apa?" tanyaku sambil buka minuman pemberiannya.
"Misi rahasia OSIS," jawabnya tertawa kecil. "Udah berkali-kali loh kita lakukan misi rahasia, Ven. Masa lupa mulu?"
Maaf, aku tak bisa bilang----
"Tapi aku ngerti kok," sambung lelaki itu meneguk teh soda tanpa sedotan. "Aku juga pernah kayak kamu." Pernah kayak aku? Apa maksudnya sih? "Lupa karena harus berurusan dengan trauma pemicu datangnya gangguan jiwa."
Aku paham sekarang, perkara kenapa kamu bawa aku ke sini. Kulebarkan senyum yang terselip harapan agar semangatku menularinya. Lantas aku berdiri seraya menghabiskan minuman gratis dari dia, disusul sendawa beserta desah nikmat yang terlalu kuat bagi seorang perempuan. "Jadi, kita baca buku bareng atau ... kerjain tugas bareng-bareng atau ... sekadar olahraga dan bergabung dengan anggota eskul beladiri? Supaya ingatan kita kuat."
"Kedengarannya bagus." Syukurlah dia mau. Aku tidak tahu lagi harus ajak siapa bila dia menolak. "Sekalian kita bahas soal misi rahasia di ruang OSIS."
Bukan ide yang buruk, makanya aku mengangguk mantap. Terima kasih untukmu yang membawa aku sampai ke sini, bertemu dengan sosok senasib yang amat pengertian walau kuingat sifatnya angin-anginan jika gangguan jiwanya kambuh, juga mendapatkan teman yang bisa menuliskan sedikit mengenai diriku.
Aku baru sadar, kami ada di area sekolah pada sore hari. Perpustakaan tempat kita andalkan media belajar pun tutup. Kata lelaki tadi, banyak buku pelajaran yang dibawa supaya bisa melupakan masa lalu. Jangan mengejekku. Aku takkan pernah lupa dengan kegiatan yang berperan sebagai 'obat penenang': asah kemampuan tinju untuk kapan-kapan ikut pertandingan bareng dia yang habiskan waktu dengan bela diri judo.
Memang itulah 'obat penenang' kami selain media massa dan buku tulis. Tulisanku yang mirip jejak ceker ayam adalah perasaanku terhadap ruang dan waktu. Terkadang bagus, terkadang tak dapat dibaca, terkadang pula sejelek muka kakak ketika ngambek. Begitu juga dengan seberapa sakitnya pukulan kami bagi musuh.
Tragedi yang pernah terjadi di antara kami adalah pertarungan di menara pabrik gula. Kami sama-sama babak belur, penuh luka, darah mengalir hampir sekujur tubuh. Itu peristiwa paling parah. Aku menyebutnya 'tragedi hilangnya kewarasan'. Iya, kami hilang waras. Kami hilang kendali, emosi menyeruak sakiti fisik.
Dari tragedi itu, aku bisa merasakan betapa mengerikannya orang-orang yang lebih memilih akhiri hidupnya sendiri ketimbang bertahan dan mencoba diam di rumah kosong sampai suasana hati lebih baik. Maksudku, apa mereka sama sekali tak takut dengan luka menganga di pergelangan tangan? Apa mereka tak merasakan sakit hebat usai minum racun demi melepaskan masalah yang nyatanya malah dibawa mati? Belum lagi jika divonis meninggal dunia karena bunuh diri, apa mereka tak memikirkan ke depannya bakal bagaimana? Bisa saja keluarganya malah tertekan karena dia meninggal atau tetangganya pada sebarkan gosip neraka yang mengatakan kalau bunuh diri sama dengan kurang bersyukur.
Hai, kamu....
Maukah kamu sampaikan pesanku tadi? Aku tidak mau mereka tertekan sampai nekat sakiti diri sendiri. Aku tidak mau mereka menyerah karena keadaan. Aku ingin mereka tak usah dengarkan mulut busuk orang-orang sekitar, sekalipun orang itu adalah keluarga sendiri. Cukup mereka lihat penderitaanku yang mungkin salah satunya sama macam pelaku bunuh diri. Tertekan karena lingkungan, perilaku manusia yang banyak ragamnya, pun tak punya seseorang sebagai tempat mereka bersandar dan mencurahkan semua penderitaan dalam hati lewat kata-kata. Aku ingin mereka bertahan, mencari kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran buruk, dan mencoba menyatakan bahwa 'Aku bukan lagi sosok yang selalu berharap ada uluran tangan orang lain!' dalam bentuk gerakan tubuh.
Kau sungguh mau? Terima kasih, aku sangat berharap mereka mau baca pesanku.
Apa? Kamu mau aku pukul? Sayangnya suasana hatiku sedang bagus, jadi semua kegiatan yang kulakukan bersamanya hany sebatas terapi mengendalikan emosi. Kamu aman hari ini. Tak lupa aku ucapkan terima kasih untuk lelaki yang barusan menyadarkanku.
"Ayo kita baku hantam di eskul masing-masing." Begitulah katanya, mendadak aku kebingungan. Lantas aku lihat eskul beladiri yang masih aktif di area sekolah. Barulah paham. Dia simulasi bertarung di eskul yang digabungi. Aku? Tentu mengajak satu anggota eskul kickboxing terbaik selain aku (terus saja aku yang diandalkan buat ikut pertandingan. Sekali-sekali ambil anggota lain lah....)
Namun, aku selalu merasa tak puas jika lawanku kalah telak.
Tidak! Aku tak pernah merasa paling hebat! Hanya kekosongan dan dingin yang menyeruak di sekujur tubuh jika menatap lawan terkapar. Dan itulah yang paling kubenci. Seketika seringai muncul, tapi aku tarik sebisa mungkin.
"Sudahi saja...." Kau boleh tertawa. Aku emang pecundang, kan? Aku yang mengajak dia baku hantam, aku pula yang memaksa untuk akhiri pertandingan. Setidaknya ini lebih baik ketimbang aku tak berkata apa-apa dan justru setiap tinju melayang malah bawa dia ke rumah sakit. Aku tidak mau itu. Semua ini salah tanganku----salah pikiranku. Aku tak ingin 'seseorang' terus saja bisikkan sesuatu yang jahat jika melihat orang yang terduduk menahan sakit karena pukulanku. Dia bilang....
Bunuh saja. Siapa suruh terima tawaranmu, kan?
Mendadak kepalaku sakit. Aku terduduk, membungkuk nyaris sujud sambil memegang kepala dan meraung-raung minta tolong. Suara dia juga malah menggema. Pandanganku kabur. Tak dapat melihat siapa saja meski paling terdekat. Tak dapat mendengar nada bicara yang mungkin meneriaki namaku.
Hei, kamu....
Kenapa diam saja?
Kupikir kamu memang sosok yang aku andalkan. Ternyata sama saja, ya. Egois. Tak usah minta aku berhenti tertawa. Aku ingin hormon dopamine mendominasi pikiranku, tak peduli bakal berhalusinasi atau apapun itu, termasuk lenyapnya dirimu di alam bawah sadarku.
"Maafin aku, Ci...."
Oke.... Sekarang siapa yang mesti aku hadapi? Tetes air basahi pipi. Tak ada bau amis dar----ralat, aku menciumnya tapi tak sepekat besi karatan. Air yang tadi mendarat di wajahku bukan darah, kan?
"Maaf...." Begitu aku berada dalam dekapan si laki-laki (aku dengar suaranya tidak seberat laki-laki yang mengajak baku hantam tadi) itu, entah kenapa rasa hangat tiba menyelimuti. Tangan dia cukup besar dan kuat untuk sebuah pelukan hangat. Kurasakan dia tersedan, menenggelamkan wajah di pundakku sambil berbisik kata yang sama.
Hei, kamu.
Misteri apa lagi yang harus kubongkar supaya kau enyah dalam pikiranku? Memahami perasaan kakakku? Kenapa aku harus lakukan hal itu? Biarlah dia yang membongkar semuanya di hadapanku. Dia sudah mengatakannya? Kapan? Aku tidak ingat.
"Aku cuma gak mau kamu kayak gini, Ci...." Apa ini yang dia katakan selagi aku hilang kesadaran? "Kamu malah terluka karena tindakanku sendiri."
Aw! Lenganku sakit sekali. Apa dia yang lahirkan luka ini? Dia takkan tahu aku masih sadar, sebab itu aku tak banyak gerak.
"Aku cuma pengen kamu bahagia kayak cewek lain." Pelukannya makin erat. "Hanya itu."
Sungguh. Aku tidak mengerti. Aku tak bisa bongkar misterimu yang satu ini. Kenapa bukan kau saja yang beritahu aku tentang semua ini? Sialan.... Pendirianmu kokoh juga. Kau minta aku mengurutkan semua masa lalu dan mengartikannya? Jangan bercanda!
"Buruan makan!"
Hah.... Lagi-lagi kau mengajakku ke tempat lain. Aku bosan dengan tingkah lakumu.
"Apa? Kamu bosan lihat Abangmu sendiri, Ci?" Oh, tunggu. Kenapa dia bisa tahu ucapanku?
"Beneran ngigau nih anak." Hei, aku tidak mengigau! Aku hanya----
"Woi, berhenti----Bang!" Aku langsung terbangun dan mendapati wajahku penuh cipratan. Dugaanku air yang dia ciprat bekas cuci tangan.
"Emang dasar kamu gak bisa bedakan pura-pura dengan ngigau beneran, Ka." Wanita berambut ikal seleher pun bercakap di kursi dekat ranjangku, mulai menutup buku bersampul kulit dan menatap lelaki jangkung nan tegap yang berdiri di sisiku. "Umur tua tapi pikiran macam bocah."
"Wong dia sendiri yang bilang bosan," pekiknya tak mau ngalah. Tatapan kami bertabrakan selagi dia mendekat seraya mengusap wajahku. "Kamu gak apa-apa kan,Ci? Gak halusinasi lagi?"
Aku mengerjap tak percaya. Jadi selama ini aku....
Hei, kamu.
Apa yang kamu rencanakan dari tadi sampai otakku mikir keras kayak susah buang air besar?
"Aku nyaris nyalahin diri sendiri kalau kamu masih tertekan," sambungnya merunduk memandang proses genggam tanganku. "Aku bersyukur kamu bisa bertahan sampai detik ini, Ci. Aku bersyukur kamu lahir guna menjadi orang pertama yang menyambut kemenanganku. Jangan salahin diri kamu sendiri. Semua penderitaanmu adalah salahku sendiri."
Bukan, penderitaan dia adalah salahku juga. Berkat kehidupanku yang berantakan ini, kakakku harus berkarier sambil memikirkan keadaanku yang sudah rusak. Aku memang bukan sosok yang dulu selalu tertekan dan enggan cari pengalihan. Aku adalah diri yang mulai mengenal apa saja pemicu perhatianku beralih. Aku adalah diri yang perlahan akan menyadari betapa langkanya kejadian buruk yang menimpaku dan membawaku pada kebahagiaan paling indah juga menempa diriku menjadi lebih baik. Aku pula adalah diri yang menganggap kalau ungkapan andai waktu bisa diputar kembali adalah pikiran paling tak berguna yang hanya datangkan sisi muram seorang manusia. Aku-telah-merdeka.
Hei, kamu....
Maaf.... Aku baru mengerti dengan isi pikiranmu sekarang. Kini giliranku yang perintahkan kamu satu hal.
Bisakah kau perkenalkan dirimu yang merupakan diriku di masa lalu pada mereka?
FIN
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro