6 || Menulis Surat
Jason pernah bilang padaku, bahwa game online adalah jenis permainan yang kompleks. Katanya, bayangkan saja, bagaimana kerumitan para tim ketika membangun dunia game sampai-sampai bisa membentuk gambaran visual yang memukau dan detail karakter-karakter yang fantastis. Setiap pertarungan, setiap pemilihan karakter, setiap kekuatan ... semuanya rumit. Semuanya dibangun dengan rumit dan serius dan bersama hati yang penuh sehingga mereka mampu menciptakan game yang membuat beberapa orang di dunia betah lama-lama memainkannya—nah, ini alasannya Jason main game dari pagi-siang-sore-malam-tengah malam.
Yah, itu kata Jason tentang game.
Namun buatku, perasaan kitalah yang rumit. Bukan game, bukan hal-hal yang sudah terbentuk dan mampu kita lihat.
Hal yang kompleks adalah hal yang tidak bisa kita lihat secara terang-terangan, seperti frekuensi, seperti perasaan kita, pokoknya apa pun itu yang tidak kelihatan dengan mata telanjang.
Bukannya aku tidak menghargai game. Aku sangat SANGAT menghargai para pekerja seni di luar sana. Tapi sebelum mereka menciptakan game, bukankah ada proses kegusaran yang panjang? Bukankah ada proses mengidentifikasi perasaan di dalam masing-masing pekerja seni; di dalam semua orang? Bagaimana cara mereka tahu apa yang benar-benar mereka inginkan? Bagaimana para tim itu bisa membentuk imajinasi mereka menjadi sebuah game (objek) yang nyata? Bukankah proses berpikir ini lebih rumit dan juga menyenangkan untuk dibahas?
Sebenarnya aku ragu. Aku ragu betul mengenai apa yang benar-benar kuinginkan. Kadang, kita butuh waktu panjang untuk merekognisi pola perasaan kita sendiri, hanya untuk menjawab pertanyaan yang jawabannya tidak jauh-jauh dari sekitar kita.
Maka setelah proses merenung jam dua pagi beberapa hari belakangan, hari ini ... atau tepatnya hari setelah aku menyadari perasaanku, aku ingin menyatakannya langsung kepada Ran.
Katakanlah aku terlalu nekat, terlalu ambil resiko, terlalu melawan norma sosial karena semestinya yang maju lebih dulu adalah laki-laki bukannya perempuan. Aku tidak peduli.
Justru aku akan lebih gila lagi kalau harus menahannya lebih lama. Kamu tahu, 'kan? Perasaan tidak nyaman yang mengganggu di sepertiga malam hanya karena memikirkan apakah ia menyukai kita balik atau tidak.
Hari ini, aku mau menuntaskan kebingungan itu. Aku mengidentifikasi perasaanku sendiri untuk membuatnya menjadi lebih berbentuk, bukan untuk disimpan rapat selamanya.
Dan kau tahu apa yang sudah kulakukan demi melancarkan aksi itu?
Aku menulis surat.
Iya, surat cinta.
***
Aku berdeham, berusaha menetralisir hormon bahagia yang melonjak naik akibat mendapat pujian mendadak dari Ran. Tidak, pokoknya jangan sampai semua rencanaku kacau karena itu.
"Ran, bisa bicara sebentar?" tanyaku setelah beberapa kali berdeham.
"Silakan."
Aku berdeham canggung lagi. "Maksudku, bukan di sini," lanjutku dengan penekanan, sambil memberi isyarat dengan tatapan bahwa di sini ada terlalu banyak orang: Charles, Jason, Chris. Ya ampun, mana bisa aku melakukan itu di depan mereka?
Ran masih mengunyah kue kering. Ia sangat menyukai kue kering tersebut sampai-sampai tidak mengindahkanku. Entahlah, aku bingung harus merasa senang atau sebaliknya.
"Bagaimana dengan taman belakang?" usulku berusaha terlihat santai. "Kudengar ada tanaman baru yang dibeli Charles secara online kemarin. Ia sudah sampai? Boleh aku melihatnya?" lanjutku beruntun, terdengar memaksa, tapi terserahlah.
Ran mengangguk santai, lalu menyudahi aktivitas makan kue keringnya dan bangkit berdiri dari kursi. "Ayo," katanya saat sudah berdiri di sampingku.
Kini, ganti degup jantungku yang berdetak melebihi kecepatan wajar.
Aku yang memburunya untuk segera pisah dari orang-orang, tapi aku juga yang tidak siap akan hal itu. Aku khawatir paru-paruku nanti tidak berfungsi dengan normal, ia akan menyerap karbondioksida dan membuang oksigen di tubuh saking tidak siapnya aku menghadapi hal ini. Benar-benar kacau.
Karena astaga, melihat Ran dengan rambutnya yang acak-acakan, tubuh tegap dan tinggi yang dibalut kaos hitam oblong saja sudah membuatku sedikit tidak waras. Ran mungkin tidak menyadari ketampanannya, tapi kini aku sudah mengakui hal itu secara resmi.
Kurasa, satu-satunya hal normal yang tersisa adalah wajar aku menyukai seseorang yang kelewat pandai dan cerdas (ia bisa membuat lubang cacing, ingat?) bersama fisik yang mendukung. Semua gadis seperti itu, tapi semoga saja tidak semua gadis di Minnesota menyukai Ran.
"Ayo," sahutku pada akhirnya.
Kami berjalan dalam keheningan menuju taman belakang. Ran memimpin di depan dan aku melihat-lihat isi rumah dengan seksama meski aku sudah hafal betul tata letak ruangnya.
Ukuran rumah ini tidak jauh berbeda dari rumahku. Lebih besar karena ia memiliki taman belakang, hal yang tidak kami punya di rumah. Kamar-kamarnya dominan di atas, begitu juga dengan ruang kerja. Di lantai pertama lebih diisi oleh segala macam furnitur ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, gudang, dan satu ruang khusus yang berisikan ruang uji coba (laboratorium) mini. Semesta sangat baik karena sudah menyediakan rumah paket lengkap dengan kebiasaan-kebiasaan mereka di frekuensi Quardon.
Lalu cat rumahnya warna putih. Kurasa mirip-mirip seperti konsep rumah modern minimalis meski tidak terlalu minimalis karena perabotannya banyak juga. Tapi yah, kita simpulkan saja begitu.
Ran mendorong pintu geser lebar-lebar supaya kami masuk ke area taman belakang. Lalu, pandanganku langsung berubah. Bola mataku membulat dan senyum terbentuk seketika, terasa lebih segar di saat melihat tanaman-tanaman hijau dan rumput asli di sana. Benar-benar cantik!
Ada kolam ikan yang diisi ikan koi berukuran sedang, ada batu-batu kerikil putih khas kolam ikan di luarnya, pun ada pancuran kecil di tengah kolam. Bunyi gemericik air yang konstan membuat perasaanku tenang.
Selain itu, aku menduga pancuran dan batu-batu kerikil putih itu pasti baru dibeli kemarin, karena terakhir ketika aku datang ke taman belakang, keduanya belum ada di sana.
"Pancurannya baru?" tanyaku dengan pandangan tak lepas dari pancuran unik itu.
Ran mengangguk, "Iya, supaya kelihatan lebih hidup."
Aku menarik senyum, lantas menatap Ran. "Sangat hidup," jawabku mengakui gagasannya.
Ran juga ikut menarik senyum. "Terima kasih."
Dan selama beberapa detik, kami saling bertatapan untuk melempar senyum. Rasanya waktu seperti berhenti. Tik tik tik. Aku tidak menyadari bahwa detik terus berjalan dan kami saling menukar pandangan seperti ini. Lewat cara lucu seperti ini!
Tapi tidak lama kemudian, Ran berdeham dan memutuskan kontak mata lebih dulu. Tidak tahu apakah aku salah melihat atau sebaliknya, tapi aku menyadari pipi Ran bersemu merah sepintas.
Ia segera mengalihkan pandangan ke arah kolam, selanjutnya mengambil posisi duduk di kursi taman.
Maka, aku pun juga demikian. Supaya tidak terlihat canggung-canggung amat, aku juga langsung duduk di kursi taman dengan gerakan kaku seperti robot linglung, lantas memberi sedikit lebih banyak waktu ke arah kolam ikan untuk mempersiapkan diri.
Apakah tadi aku salah lihat? Kenapa pipinya begitu? Ah, apa yang kupikirkan.
Kami diam. Mungkin saling merutuk di kepala masing-masing. Karena aku sendiri begitu, tapi tidak tahu dengan Ran.
Jika diibaratkan, gelembung keheningan kami makin lama makin membesar. Terus membesar sampai pecah ketika waktunya tiba.
Dan sekarang, waktunya tiba.
"Tadi aku..." kata Ran.
"Sebenarnya aku..." ucapku.
Perkataan kami sama-sama terpotong karena berbenturan. Tidak kami sangka akan memulai pembicaraan di waktu yang sama. Jadi, aku tertawa canggung berusaha mencairkan suasana.
"Ran dulu."
"Tidak, kamu dulu."
Aku tertawa renyah sambil melambaikan tangan tanda menolak. "Jangan, sebaiknya Ran dulu."
"Kenapa?"
"Karena kalau aku yang bicara pertama ... setelahnya aku pasti sudah tidak di sini," jawabku ragu-ragu.
Ran memiringkan kepalanya tanda tidak mengerti. Kemudian ia tertawa seraya bergeleng-geleng, entah apa yang lucu.
"Jane dulu, aku mengalah," katanya, masih kekeh.
Jadi, aku mengambil napas panjang dan membuangnya dengan berat. Karena Ran yang meminta begitu, maka mau tak mau aku harus bicara lebih dulu. Yang mana akan memalukan sekali kalau ... yah, tahulah.
"Sebenarnya aku mau memberikan ini," kataku secepat kereta lewat sambil menyerahkan sebuah amplop berisi surat.
"Apa ini?" Ran terheran-heran memandang amplop putih itu. Karena tidak melihat tulisan di punggung amplop, ia berniat untuk membukanya segera.
"JANGAN DIBUKA DULU!" bentakku, spontan.
Ran kaget. Badannya tersentak mundur.
"Maaf, maksudku..." aku menggantungkan kalimat.
Tahu apa yang kulakukan?
Aku lari.
Kabur.
Aku lari secepat mungkin sambil bergidik malu khawatir Ran akan jijik membacanya. Tapi masa bodoh, yang penting ia tidak membaca itu di depanku.
Charles, Jason, dan Chris yang sibuk pada urusannya masing-masing bahkan sempat melihat diriku berlari gonjang-ganjing tidak jelas melewati mereka.
"Kenapa anak itu?" tanya Chris, heran.
Jason hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Ayo, lanjut menonton lagi," kata Jason, lantas memulai episode selanjutnya dari series LOKI season pertama di televisi.
"Pubertas," ujar Charles sambil menahan senyum. []
***
a/n:
selamat kepada yantinur048 karena sudah menjawab tebak-tebakan berhadiah di bab terakhir dengan benar! voucher keberuntungan akan dikirim oleh kurir ekspres dari ekspedisi luar antariksa. Semoga sampai tepat waktu :]
dan omong-omong, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan! 💫
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro