5 || Harinya Tiba
Kilas balik setahun sebelumnya ... yakni pada tiga hari setelah kami (maksudku aku sendiri, Jason, dan Chris) pulang ke frekuensi asal.
Hari ini sangat cerah karena Minnesota sedang musim panas. Selain itu, syukurnya kami semua tengah liburan semester. Yang mana kami tidak perlu pusing-pusing memikirkan ketertinggalan mata kuliah dan sebagainya. Yah, maksudku YANG BENAR SAJA? Kami baru pulang, menghadapi berbagai rintangan sulit sepanjang hidup dengan konflik mirip film-film produksi Marvel, berada di ambang kematian setiap hari, lalu Semesta memulangkan kami di kondisi tidak liburan semester? Wah, lebih baik mati saja kalau begitu.
Tapi untungnya, Semesta kita sangat adil dan kami semua tidak jadi mati. Paling-paling kami akan mengalami krisis eksistensi ketika liburan semester berakhir, tapi biarlah itu menjadi urusan kami nanti. Intinya, kali ini kami ingin mengistirahatkan pikiran, tidak mau membebani otak dengan banyak spekulasi seperti waktu itu. Kalau boleh jujur, aku sudah muak! Sungguh! (Tapi tentu saja aku masih mencintai Fisika. Yah, perkara cinta memang sulit didefinisi.)
Nah, karena hari ini cerah dan tidak banyak masalah, jadi ini waktu yang tepat untuk bermain ke rumah tetangga sebelah!
Omong-omong, sangat menyenangkan memiliki tetangga yang kita kenal baik dan tidak banyak tingkah seperti dalam film-film. Jadi jika aku bosan membaca buku di rumah, aku bisa langsung main ke sebelah dan menghabiskan beberapa bab buku di sana. Padahal buku yang dibaca sama, tapi entah mengapa rasanya berbeda jika pergi ke tempat yang kita senangi.
"Aku paling sayang Ibu sejagad raya, muah." Aku mencium pipi kanan Ibu, berterimakasih karena sudah mau membantuku bertempur di dapur untuk membuat camilan kue kering. "Aku pergi ke sebelah ya, dadah Ibu."
Kue-kue itu sudah dimasukkan ke dalam toples. Jadi aku tinggal membawanya menggunakan keranjang piknik yang baru sekali kupakai seumur hidup karena kapok berpiknik di bawah terik matahari bersama Chris dan Ibu dulu.
"Sampaikan salam Ibu ke Tuan Charles," kata Ibu sedikit berteriak karena aku segera melesat dari dapur.
"Iya nanti kusampaikan!"
***
Sudah tiga hari ini Jason dan Chris langganan juga main ke rumah sebelah, jadi aku tidak terkejut ketika melihat mereka berdua sudah asyik menonton film Marvel (mengejar film-film yang terlewat katanya) sambil tiduran dengan nyaman seakan ini rumah mereka sendiri. Benar-benar tidak tahu diri.
Ketika aku sampai di rumah Charles, kulihat ia sedang sibuk mengutak-atik isi ponselnya. Pria paruh baya itu berusaha mempelajari teknologi di sini sebisa mungkin. Sementara Ran, yah, ia habis menjemputku dari pintu dengan canggung.
"Apa lagi hari ini, Charles?" tanyaku sambil meletakkan keranjang kue di meja sebelahnya. Aku mengikuti arah pandang Charles ke ponsel. "Linkedln?"
Pria itu ternyata berusaha "menaklukkan" aplikasi yang berfokus pada jaringan internasional sedunia, atau katakan saja resume terbuka di mana bukan hanya HRD saja yang mampu melihatnya, tapi orang sepertiku yang bukan siapa-siapa juga bisa melihat pengalaman dan pendidikan orang-orang hebat.
Kemarin Charles berusaha mempelajari cara kerja Instagram, dan kemarinnya lagi aplikasi TikTok. Aku khawatir ia akan bernasib sama seperti generasi Z belakangan ini, yakni kecanduan media sosial sehingga tidak mampu mengatur waktu dan mengetahui skala prioritas. Kurasa nanti aku harus membagikan pendidikan digital supaya Charles tidak begitu larut dengan media sosialnya.
"Tadi Ibu menitip salam," kataku.
Dan Charles hanya menganggukkan kepala singkat sambil menggumam.
Lihat, 'kan? Ia SUDAH kecanduan!
"Trims kuenya Jane," ujar Ran seraya mengambil isi keranjang dengan santai. "Enak, seperti biasanya," lanjut Ran setelah tuntas mengunyah satu kue kering.
Maka pandanganku refleks berubah ke arah Ran. Apa tadi katanya? Kueku enak? Seperti biasanya?
Kendati Ibu ikut ambil bagian sebanyak delapan puluh persen dalam pembuatan kue-kue keringku, tapi mari menganggap pujian manis ini hanya tertuju padaku.
Ran terlihat kalem-kalem saja, ekspresinya sejuk seperti berada di bawah pohon saat matahari terik (seandainya penggambaran ini benar-benar ada). Ran pasti tidak tahu bagaimana respon detak jantungku mendengar kalimat sederhana itu. Sangat-sangat sederhana, tapi berhasil membuat sekujur tubuhku mendapat serangan hormon dopamin mendadak. Aku harus menahan diri supaya tidak berteriak dan loncat kegirangan di depannya.
Astaga, siapa ini? Jane? Benarkah Jane bisa seperti ini?
Aku menggelengkan kepala untuk menghapus dorongan loncat-loncat konyol di depan Ran—memalukan dan sangat bukan Jane. Jadi lebih daripada itu, aku justru meyakinkan diri, bahwa ini harinya.
Harinya sudah tiba. Ran harus mengetahui isi kepalaku. []
***
a/n:
GAIS TEBAK JANE MAU NGAPAIN?
kalau jawabannya benar, akan kuberi voucher keberuntungan yang bisa dipakai dalam masa-masa sial kalian. muah. WKWKWK.
#btwbabiniflashbackyamohondimengertiterimakasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro