Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 || Kedatangan Tamu

"Nah, apa yang kau bawa?" kata Charles memecah lamunanku.

Aku langsung mengikuti arah pandang Charles lalu menjawab, "Dimsum, untuk Ran. Dia di mana? Tidak tidur, 'kan?"

"Ada di ruang kerja."

Aku mengangguk-anggukkan kepala dengan perasaan gamang. Selain karena ragu ingin menghampiri Ran, pikiranku juga masih berputar mengenai takdir yang dibicarakan Charles. Aku tahu skenario Semesta sangat abstrak dan sulit didefinisikan. Charles dan Ran ada di frekuensi ini saja sangat-sangat tidak bisa dijelaskan dengan akal rasional. Namun, apakah benar ini takdir kami? Jika takdir membawa kami sampai sejauh ini, lalu selanjutnya ingin dibawa ke mana?

"Ada yang mengganggumu?" tanya Charles lagi, dengan tatapan menyelidik.

Maka aku segera mengubah ekspresi wajah dari bingung menjadi senyum yang dipaksakan. "Tidak masalah. Aku mau mengantar dimsum ini ke Ran," ujarku cepat-cepat supaya Charles tidak menyadari perubahannya. "Jason, tadi Olivia memberi salam."

Jason hanya bergumam lalu menjawab singkat, "Salam balik."

Cih, sok angkuh!

"Aku mau dimsum!"

Aku sedikit tersentak dengan teriakan spontan itu.

Ah, rupanya permainan mereka sudah selesai, itu sebabnya Chris bisa tiba-tiba nimbrung pembicaraan. "Jane, kau membelikan dimsum untukku juga, 'kan?"

Aku memutar bola mata malas, tetap aku merasa kesal. Ke mana saja ia sejak tadi? Kenapa bicara dimsum ia langsung menganggapku ada?

"Tidak! Aku membeli sedikit saja untuk Ran. Kalian pulang sana!" usirku geram dengan anak-anak ini.

Chris mencebikkan bibir lalu menurunkan pundak dengan lesu. Astaga, anak ini akan memulai aksinya.

"Tapi aku mau dimsum. Charles, aku mau dimsum," kata Chris memohon kepada Charles sambil menunjuk tas tenteng yang kubawa. Ya ampun kau harus melihat matanya sekarang, seolah-olah aku telah membuatnya menderita hanya karena tidak membagi dimsum separuhnya.

Nah, yang tidak kusuka dari Charles adalah ia terlalu baik dan polos. Benar-benar tipe seorang bapak yang tidak tegas jika memiliki anak kecil di sekitarnya (meskipun Chris bukan lagi anak kecil). Jadi melihat Chris memohon dengan manis begitu, hati lembutnya pasti mendorong ia untuk langsung mengeluarkan dompet dari saku dan mengulurkan beberapa lembar uang demi Chris. "Beli dimsum dengan Jason, nih!" katanya membuat Chris merasa menang dan kegirangan.

Astaga, terserahlah.

Tidak ingin membuang lebih banyak waktu, aku meninggalkan mereka untuk pergi ke lantai dua; ruang kerja Ran dan Charles.

***

Butuh tiga kali ketukan pintu sampai Ran bersuara dan mengizinkanku untuk masuk. Aku mendorong daun pintu kayu itu lantas mendapati hawa dingin AC menyeruak beserta aroma buku-buku dari dalam ruangan.

"Aku mengganggu?" tanyaku masih di depan, khawatir kehadiranku hanya akan mengusiknya dan membuat ia semakin merasa buruk. Entah buruk kenapa.

Ran terbangun dari kursi belajarnya lalu berjalan ke arahku untuk membuka pintu lebih lebar. "Tidak, tidak sama sekali," katanya dengan suara lemah seraya tersenyum sayu.

Laki-laki itu tepat di hadapanku. Kalau disadari kembali, tinggi badanku hanya mencapai dadanya. Jadi dalam posisi ini, aku harus sedikit menengadahkan kepala untuk melihat ekspresi Ran lebih jelas lagi.

Wajah laki-laki itu lesu dan pucat. Aku tahu ia juga kekurangan tidur demi mengerjakan tesisnya belakangan ini. Ditambah Ran juga masuk jurusan Sosiologi di tengah-tengah semester, pasti lebih sulit untuknya beradaptasi dengan materi-materi di kampus karena ia mengejar magister, bukan hanya sarjana sepertiku. Selain itu, rambutnya berantakan dan tubuhnya kelihatan lebih kurus dari terakhir aku bertemu dengannya di kampus (baca: seminggu yang lalu ketika hubungan kami baik-baik saja).

Aku mengangkat tas tenteng di tangan, mengisyaratkan bahwa aku telah membawa sesuatu.

Jadi Ran segera menepikan tubuhnya agar aku masuk. Maka, aku masuk.

Ran langsung bergerak mengambilkan kursi kerjanya yang lain supaya aku bisa ikut duduk di sini. Sementara itu, langkah kakiku bergerak maju pelan-pelan, seakan jika aku menapakkan kaki terlalu keras, lantai di sini akan roboh dan aku hanya akan membuat banyak kekacauan. Oke, pikiranku mulai berlebihan.

Namun yang pasti, ruangan ini jauh lebih dingin daripada suhu yang dihasilkan AC. Canggung? Takut? Semua benar. Mungkinkah karena jarak di antara kami sudah terasa jauh? Aku tidak tahu.

Aku meletakkan tasku di meja lantas mengeluarkan isinya. Ada satu boks dimsum beserta alat makan, jadi aku tidak perlu repot-repot keluar lagi untuk mengambil sendok dan garpu di dapur. Lalu Ran sudah kembali dengan kursi yang ia dorong. Laki-laki itu meletakkan kursi tepat di seberang posisinya sehingga kami bisa duduk berhadapan.

Aku segera duduk, begitu juga dengan Ran. Selanjutnya aku menyodorkan boks dimsum itu supaya ia segera makan.

"Semoga dimsum bisa menjernihkan pikiran," kataku sambil sedikit tertawa, berusaha mencairkan suasana.

Namun atmosfer di sini sudah terlanjur mencekam. Ran tidak membalas tawaku sedikit pun atau sekadar tersenyum simpul. Ia hanya mengambil boks yang kuserahkan dan mulai memakannya dalam diam. Dalam situasi seperti ini, apa yang bisa kulakukan? Posisiku serba salah.

Jadi aku berusaha bersikap hati-hati dan mulai bicara ke intinya. "Ran ... ada masalah?"

Laki-laki itu diam. Malah terlihat fokus memakan dimsumnya.

"Kamu bisa bicarakan padaku, apa pun itu masalahnya," lanjutku lagi, masih berusaha agar Ran bisa terbuka.

Ran terdiam sebentar, gerakannya berhenti dan ini membuat ritme jantungku berdegup sedikit lebih cepat.

"Tidak. Tidak ada masalah," jawab Ran sekilas, kemudian menyambung aktivitas makannya yang tertunda. "Terima kasih dimsumnya."

Aku menghela napas. Entah sudah berapa banyak hari ini aku menghela napas, aku tidak menghitungnya. Sikap tertutup Ran membuatku frustasi. Jika tidak ada masalah, kenapa ia bersikap aneh seperti ini? Jika tidak ada apa-apa, kenapa ia mendiamiku berhari-hari? Seperti kebanyakan perempuan di dunia, aku juga butuh penjelasan; aku juga butuh kepastian. Seandainya ia tidak siap untuk mengatakan apa masalahnya, cukup jujur tentang kondisinya saat ini bahwa ia sedang bermasalah, membutuhkan waktu sendiri, atau apalah. Yang jelas, tidak membiarkanku penuh tanda tanya dan menyalahkan diri sendiri. Atau, apakah aku seseorang yang tidak bisa dipercaya? Sehingga Ran tidak ingin terbuka kepadaku lagi? Apakah aku mengecewakannya?

Ponsel Ran berdering. Ada telepon masuk dari Charles. Aku mengernyitkan dahi membaca notif itu, kenapa satu rumah saja saling menelepon? Apa susahnya datang ke sini?

Maka Ran segera mengangkat telepon dan mengaktifkan pengeras suara supaya aku bisa mendengar (ini kebiasaan Ran dalam mengangkat telepon jika ia sedang bersamaku).

"Ran, kita kedatangan tamu," kata Charles dari sambungan telepon.

"Siapa?" tanya Ran, masih mengunyah dimsum.

"Entahlah, ia menyebut-nyebut namamu dan Jane," lanjut Charles dengan nada acuh tak acuh.

Namun, tubuh Ran menegang dan rahangnya mengeras. Dari gestur tubuhnya, ia seperti tahu siapa yang telah datang. Aku juga sedikit kaget mendengar namaku disebut-sebut oleh tamu tersebut. Padahal, aku jarang sekali menerima tamu selain teman dekatku, Olivia. Itu pun Olivia akan mengabariku beberapa waktu sebelumnya jika ingin main ke rumah.

Jadi Ran segera menelan dimsum di mulutnya, menegak habis segelas air di meja, lalu buru-buru bangkit untuk keluar ruangan. Aku pun bertanya-tanya dan refleks mengekorinya dari belakang.

Tamu? Siapa?

Tamu dari mana yang membuat Ran bertingkah tidak biasa seperti ini? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro