Rimbana: Heroine's Tricked
|| Rimbana || 1155 Kata ||
Aku dan Nira terus bersembunyi di antara rerimbunan pohon di antara pekatnya malam. Bergerak di sisi samping di mana cahaya obor tidak dapat menyentuh kami.
Orang-orang tampak berjalan dengan was-was dan waspada, menyenter dengan obor bersama busur, pedang, atau tombak yang siaga di tangan.
Katanya, Tetua dan pasukan khusus sudah mengirimkan mata-mata terlatih yang terbiasa menjelajah hutan rimbana dan dapat bergerak diam-diam. Dan mereka telah berhasil melacak di mana markas Suku Hitam itu berada. Dari informasi yang dibeberkan Nira setelah menguping pembicaraan ayahnya, dia tidak tahu di mana tepatnya tempat itu berada. Jadi, yang kami lakukan adalah mengikuti pergerakan anggota pasukan diam-diam sampai akhirnya mereka sampai ke markas Suku Hitam baru kami akan keluar dari persembunyian dan ikut bertarung secara terang-terangan.
Namun, setelah sekitar satu jam kami berjalan di dalam hutan, Paman Ham yang berdiri di barisan paling depan bersama Kelana dan Campa serentak berhenti dan memberikan instruksi agar yang lain ikut-ikutan berhenti juga. Aku tidak dapat melihat jelas apa yang mereka lakukan di depan sana atau ekspresi apa yang mereka buat, tetapi aku tahu dari gesturnya bahwa mereka semua sedang terdiam, memfokuskan pendengaran dalam keheningan.
Aku mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah Nira di sampingku yang juga tampak kebingungan. "Ada apa dengan mereka?" bisikku pada gadis itu.
Respon yang Nira berikan hanya berupa gelengan kepala. "Mana kutahu," jawabnya masih terus mengamati ke depan sana.
Namun, belum sempat aku bicara, Paman Ham berjalan cepat ke arah jalan pulang alih-alih melanjutkan perjalanan untuk mencari markas Suku Hitam. "Kita kembali ke Rimbana! Desa dalam bahaya!" serunya memberi perintah sambil berlari, diikuti oleh pasukan-pasukan lainnya yang juga tampak panik.
Aku dan Nira saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Apa maksudnya? Kenapa kita pulang lagi—"
Belum selesai aku bicara, Nira melompat keluar dari persembunyian kami dan mengabaikan ucapanku. Dia berlari cepat, mengejar ayahnya sebelum akhirnya mencapai Paman Ham dan mencekal lengannya.
"Nira?!" seru Paman Ham tampak terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini, Bocah Nakal?!" teriaknya tampak begitu marah bercampur panik.
"Apa———apa yang sedang terjadi, Ayah? Kenapa kalian kembali pulang?" Nira sama sekali tidak memperdulikan seruan ayahnya.
"Hey—" Aku berdiri dengan terengah di samping Nira, lalu meneguk saliva ketika Paman Ham menatap garang secara bergantian ke arah kami berdua.
"Kalian—" Paman Ham tampak berusaha keras mengendalikan diri. "Sudah kubilang ini berbahaya?!" bentaknya akhirnya.
"Jawab dulu pertanyaan Nira, Ayah! Apa yang terjadi?!"
"Desa dalam bahaya! Kalian lihat itu?!" Paman Ham menunjuk ke arah langit yang menerbangkan debu-debu dengan asap membubung tinggi ke langit beserta cahaya oranye.
Melihat itu, otakku langsung bekerja cepat. Hanya satu hal yang terlintas di benakku saat ini; Ibu. Apa yang akan terjadi pada ibuku?!
Tidak membuang waktu, aku ikut berlari secepat yang kubisa mengikuti pasukan yang lain, meninggalkan Nira di belakang sana bersama ayahnya yang tampak juga ikutan berlari.
"Kumohon ... tolong lindungi ibuku. Tolong selamatkan ibuku." Aku terus merapalkan kalimat itu berulang-ulang, sama sekali sudah tidak peduli apapun.
Jika sesuatu terjadi pada ibuku, aku tidak tahu harus menyalahkan siapa lagi kali ini. Aku juga tidak tahu akan ke mana aku pergi. Cuma Ibu satu-satunya hal berharga yang kuhargai lebih dari nyawaku sendiri saat ini. Kumohon ... selamatkan ibuku.
Kami berlari cepat, jadi waktu yang digunakan untuk kembali tidak selama waktu kami pergi ke dalam hutan. Namun, secepat apapun kami berlari, tetap saja kami terlambat datang. Keadaan desa sudah benar-benar kacau dengan api menyala besar melahap apa saja termasuk rumah-rumah warga. Tubuh-tubuh tidak bernyawa dengan darah bersimbah menyerak di mana-mana.
Untuk sesaat, aku seolah-olah ditarik pada keadaan delapan tahun silam. Semuanya terasa kembali terulang. Teriakan yang menyesakkan, erangan yang memilukan, dan tangisan-tangisan menyayat.
Aku mengepalkan tangan erat, menatap kekacauan di depan sana. Makhluk-makhluk besar dengan gigi taring dipenuhi liur dan darah itu berlari kesetanan, mengejar-ngejar penduduk dan menggigitnya, menyeretnya, sebelum akhirnya si korban tewas.
Tombak yang kubawa sudah kulempar entah ke mana. Yang tersisa hanya busur dan anak panah di punggungku. Jadi, dengan amarah yang membara, kutarik busurku, kuarahkan kepada salah satu maweh yang berlarian dengan buas.
Anak panah itu melesat, tepat menancapi dada makhluk ganas itu sebelum akhirnya dia tumbang dan jatuh. Pasukan-pasukan lain juga tampak mulai bergerak, menyerang makhluk-makhluk itu dan menghabisinya tanpa ampun.
Nyaris semua pasukan terlatih ikut ke dalam hutan untuk melakukan penyergapan. Jadi, meski beberapa maweh berhasil dikalahkan, tetap banyak korban berjatuhan karena jumlah pasukan tidak seberapa dibanding jumlah makhluk buas yang datang.
Kutarik pedangku keluar dari sarangnya, dan mulai berlari ke depan, menerobos kekacauan. Mengayunkan pedangku mengiris lengan salah satu maweh, lalu sebelum dia menghadap ke arahku dan mengayunkan tangan, kutusukkan pedang ke jantungnya.
Rasa takutku seolah-olah lenyap entah ke mana dan yang tersisa hanya rasa khawatir untuk ibuku. Bagaimanapun caranya aku harus segera pulang ke rumah dan memastikan ibuku baik-baik saja.
Aku terpental ketika kuku-kuku tajam salah satu maweh menyambar bahuku. Tidak, bukan satu. Ada dua di sana dan kabar buruknya adalah mereka datang bergerak ke arahku dengan dengusan napas berat dan asap-asap mengepul keluar dari hidungnya.
Aku beringsut mundur, mengenggam pedangku erat-erat dengan napas memburu. Aku berdiri dan memasang kuda-kuda, bersiap mempertahankan diri ketika dua maweh itu bergerak cepat hendak menerkamku.
Namun, beberapa langkah dari tempatku berdiri, maweh-maweh itu tiba-tiba tumbang dengan panah menancapi punggung mereka.
Kelana berdiri tidak jauh dari tempatku dengan busur dan panah di tangan. "Aruni apa yang kau lakukan?! Cepat pergi dari sana?!" teriaknya panik, menyuruhku untuk cepat-cepat berlari.
Aku mengangguk, namun aku tidak punya waktu untuk mengucapkan terima kasih. Ibuku lebih penting dari apapun. Jadi, aku berlari pulang secepat yang kubisa. Namun, agaknya semua tidak berjalan sesuai keinginanku. Pemukiman tempat rumahku berada sama kacaunya dengan tempat lain. Api berkobar besar melahap apa saja dengan korban bergelimpangan.
Aku masih belum putus asa, jadi dengan berusaha berpikir positif aku berjalan cepat ke arah rumahku untuk memastikan kondisi Ibu. Tidak peduli api atau apapun itu, akan kupastikan ibuku baik-baik saja.
Jadi, ketika aku sampai di halaman depan dengan api yang membakar atap rumah, aku berhenti melangkah. Tangan dan tungkaiku seketika kehilangan daya dan bibirku bergetar dengan air mata yang tidak menunggu lama untuk berkumpul di pelupuk.
Ibuku bersimbah darah di ujung pedang seseorang yang menembus perutnya. Sebelum darah menyembur semakin banyak dari mulutnya Ibu sempat melihatku, memasang senyuman kecil lalu tersedak. Aku mengepalkan tangan ketika orang itu dengan tanpa rasa bersalah menarik pedangnya, membiarkan tubuh lemah Ibu terjatuh di bibir tangga dengan darah terus mengalir dari luka dan mulutnya.
Orang itu menoleh ke arahku, memasang seringai menjijikkan sebelum akhirnya berlari ke arah belakang rumah, menembus kobaran api dan menghilang di sana. Untuk sesaat, aku berharap dia terpanggang api dan musnah saja dari dunia bersama ibuku yang malang.
Namun, tubuh pucat Ibu yang disinari panasnya api membuat tangisku pecah seketika dan segera berlari menghampirinya.
Aku ... tidak akan pernah melupakan wajah itu sebelum kupastikan nyawanya berakhir di tanganku. Aku bersumpah atas nama Ibu. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro