Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rimbana: Heroine's Sorry

|| Rimbana | 1783 Kata ||

"Ngomong-ngomong, aku masih penasaran dengan tanah seberang."

Aku menyandarkan tubuh ke pohon rambutan besar sambil menatap ke seberang. Kelana di sampingku tidak menyaut, namun aku dapat mendengar dengan jelas helaan napasnya.

"Kenapa kau ingin sekali ke sana?"

"Karena ... aku ingin saja."

"Jika tidak ada alasan spesifik, mending kau urungkan saja niatmu. Kau pikir, di seberang sana yang sudah jelas bahayanya bisa lebih aman dari Rimbana?"

"Tidak. Aku tahu di sana pasti banyak bahayanya. Tapi ... aku hanya ingin melihat dunia lain dan mempelajarinya."

"Mempelajari maut maksudmu?"

Aku berdecak. Kemudian mencabuti rumput di dekat kakiku. "Tentu tidak. Aku hanya ingin melihat monster seberang. Apakah mereka lebih seram dan buas dari para Maweh, atau hanya ular-ular kecil."

"Caramu bicara itu---tsk." Kelana menyentil keningku lagi. Untuk ke sekian kalinya.

"Apa sih." Aku memelototinya sambil balas mengayunkan tangan untuk menoyornya juga.

Tapi Kelana itu jago menghindar tahu, jadi aku hanya berhasil menyepai udara kosong.

"Jangankan Maweh, satu orang Suku Hitam saja sudah berbahaya. Jadi jangan bebicara asal lagi." Kali ini Kelana menatapku serius. Ditatapi seserius itu cukup membuatku menciut. Jadi, aku hanya berdehem dan memalingkan wajah.

Ngomong-ngomong, Maweh itu adalah monster yang menghuni Hutan Hitam---sisi lain dari Rimbana. Mereka bertubuh besar-besar dengan tinggi nyaris 3 meter dan berwarna kelabu. Rahangnya lebar dengan deretan gigi-gigi runcing yang memenuhi mulutnya, dan air liur menyerupai lendir-lendir kuning terus menetes. Tatapan matanya seperti harimau dan di kepalanya hanya ditumbuhi beberapa rambut jarang-jarang. Kakinya panjang dan lebar, dan kukunya juga tajam-tajam. Mereka tidak punya perasaan, yang mereka tahu hanyalah membunuh, mencabik-cabik tubuhmu dengan kuku tajamnya, dan mengeluarkan semua organ dalammu sebelum akhirnya mereka makan mentah-mentah. Insting mereka begitu liar dan buas. Tetapi tenang saja, mereka tidak akan mengusik penduduk Rimbana, kecuali penduduk itu sendiri yang memasuki Hutan Hitam---wilayah mereka.

Dan jujur, aku pernah sekali masuk ke sana, waktu itu, aku masih 4 tahun. Dulu aku dan Paman Siak tidak seperti tikus dan kucing seperti sekarang. Dulu, ketika beliau masih waras, aku sering ikut dengannya sementara Ayah dan Ibu berkebun di ladang. Dia sering keluar-masuk hutan, dan hari itu aku mengikut. Aku waktu itu tidak tahu di mana namun di sana banyak pohon besar-besar dengan lumut tebal menutupi. Paman Siak bilang, di sana banyak hewannya, apalagi kelinci, jadi aku antusias, namun, kami harus sembunyi-sembunyi dari sesuatu (dulu aku tidak tahu itu Hutan Hitam). Tapi benar, di sana banyak hewannya, ada banyak kelinci, tupai, rusa, kijang, dan aku melihat seekor beruang besar (saat pertama kali dalam hidupku melihat beruang). Setelah menangkap seekor rusa dan dua ekor kelinci imut, aku dan Paman Siak pulang. Dan aku tidak pernah ke sana lagi sesudah itu. Setelah beranjak besar, barulah aku mengerti, bahwa tempat itu Hutan Hitam. Tapi di sana tidak hitam, malahan bagus walau banyak bebatuan dan pohon lumutan, serta bau apek dan pengap, tetap saja di sana indah.

(Hutan Hitam)

"Sudah ah, aku pulang saja. Kau tidak asik." Kemudian aku berdiri dan mengibas-ngibas bagian belakang celana seratku. Sebenarnya, selain alasan Kelana yang tidak asik dan tidak mau diajak bicara tentang tanah seberang, aku juga ingin membantu Ibu menyiapkan pernikahan anak tetangga kami. Harusnya aku sudah di sana dari pagi dengan ibu-ibu dan anak perempuan lain, tapi aku malas dan---yah, aku kabur. Hehehe.

***

Sesuai dugaan, sekarang desa sedang ramai dan sibuk. Semua orang turut serta membantu persiapan pernikahan Kak Rui lusa. Acara pernikahan merupakan acara sakral dan suci untuk seluruh penduduk Rimbana. Mereka semua bergembira dan merayakannya bersama untuk menyambut bergabungnya keluarga baru Rimbana. Nah, perburuan besok yang diceritakan Kelana itu, mungkin perburuan yang dilakukan untuk persiapan acara pernikahan ini. Kalau dipikir-pikir lagi, yang menikah satu orang, kenapa yang sibuk satu kampung?

"Ya!" Aku menghampiri Nira yang sedang duduk di bawah tangga, menyuap onde-onde yang harusnya dihidangkan untuk rapat para kepala keluarga Rimbana malam nanti dengan santai sambil menatap lurus ke depan tanpa berpaling.

Aku mengikuti arah pandangannya.

Di sana, di atas dipan di bawah pohon mangga, beberapa anak gadis sedang berjingkat-jingkat dan menjerit-jerit ketakutan nyaris menangis. Bahkan kurasa salah satunya sudah mengompol.

"Aaaaaa. Singkirkan itu! Singkirkan!" salah satunya mendorong yang lain, namun yang didorong juga takut. Mereka berakhir saling dorong.

"Ibuuuu! Tolooong! Ya---jangan mendekat! Hey, singkirkan itu. CEPAT!"

"Kau saja yang singkirkan. Ibuuu. Tolooong. Huaaaa." Yang kubilang mengompol mulai menangis sambil melonjak-lonjak ketakutan dan histeris.

"Kenapa tuh?" Aku menyikut Nira, kemudian ikut-ikutan mencomot onde-ondenya.

Nira menoleh sebentar, kemudian terbahak. "Lihat para anak gadis ibu itu. Mereka seperti akan mati karena ada anak tikus yang masih merah di dalam gulungan daun rumbai keringnya."

"Serius? Hahahah." Aku ikut terbahak. Bisa-bisanya mereka takut pada anak tikus yang masih merah. "Padahal anak-anak tikus itu tidak bisa berlari. Tapi mereka bertingkah seolah-olah akan mati dimakan monster saja."

Nira mengangguk. "Makanya jangan hanya bersolek," kemudian mencomot onde-ondenya lagi. "Eh?" lalu menoleh padaku.

Aku menghentikan kunyahan ketika tatapan mata Nira berubah menajam dan mengancam. "KE MANA SAJA KAU, PEMALAS?! KENAPA BARU DATANG, HAH?!"

Aku langsung menutup telinga. Serius, seharusnya mereka lebih takut pada Nira yang berteriak-teriak begini daripada pada anak bayi tikus. Aku perlahan bergeser, menjauhi Nira. "Aku ... ke tempat latihan. Hehehe," dan memasang cengiran.

"Bisa-bisanya kau---"

"Ssstt!" Aku meletakkan telunjukku ke bibir, untungnya Nira langsung mematuhiku.

Aku mengggelengkan kepala ke arah para gadis yang masih histeris dengan tatapan dan senyuman yang langsung dipahami oleh Nira. Sontak, Nira melupakan kemarahannya, dan pikiran kami sekarang sama. Dengan seringaian penuh makna, kami berjalan mendekati gadis-gadis itu, ikut menaiki dipannya dan menengok ke arah gulungan rumbai kering yang rencananya bakal dianyam jadi bakul itu. Aku dan Nira cekikikan.

"Ekhem," dehemku kemudian. Saling menatap dengan Nira. Aku mengacungkan jari telunjuk, tanda berhitung, kemudian diikuti jari tengah dan jari manis. Melihat instruksiku, Nira segera dengan cepat mengayunkan tangannya, beitupula aku.

Masing-masing kami memegang masing-masing satu ekor anak tikus di masing-masing tangan. Lalu kami berdiri dan melihat anak-anak gadis itu yang semakin histeris melihat kami memegang tikusnya.

"Haa!" Aku mengayunkan tikusnya. Mereka menjerit, kemudian lari tunggang-langgang melompati dipan sambil menangis.

"Jauhkan hewan menjijikkan itu dariku, Aruni!" teriak salah satunya dan ikut berlari.

"Hahahaha. Ini cuma tikus hei, kenapa kalian takut?!" sorakku sambil terbahak.

Yang tadi megompol tidak sanggup lagi berlari, jadi dia hanya berteriak histeris dan semakin menangis. Nira si kurang ajar tidak tinggal diam. Dia meletakkan tikusnya di kepala bocah itu, tentu saja dia semakin meraung-raung dan menggila, sementara Nira sudah hampir mati karena terbahak.

"Ibuuuu---tolooong----aaaaakh."

"Hei, kau mau membunuhnya ya?" sentakku pada Nira yang tidak peduli. Kemudian kuambil tikus dari kepala anak malang yang sudah menangis histeris itu dan membuangnya ke bawah sebelum dia mengencingi dirinya sendiri lagi dan pingsan.

"Ekspresinya lucu tahu, Aruni," ucap Nira dengan tidak pedulinya ketika dia nyaris membunuh anak orang dengan bayi tikus.

"Apa kau gila---"

"Kalian yang gila! ANAK-ANAK NAKAL INI!"

"Aaaaa. Ibu, ampun, Bu. Ampun!"

"Bi, ampun, Bi. Tolong lepaskan telinga Nira, Bi."

Aku dan Nira menjerit dan memohon-mohon. Adalah Ibuku, wanita super yang menjewer telingaku dan Nira tanpa kasihan. Jangan lupakan tatapan tajamnya.

"Ampun, Bu. Nira tuh yang menaruh tikusnya---aaa."

"Kalian ini kenapa jahat sekali sih?!" bentak Ibu. "Dan kau, Aruni. Kemana saja kau dari pagi, hah?! Kenapa baru muncul sekarang."

"Aruni pergi latihan memanah, Bi. Aduduh. Aduuuh. Ampun Bi. Dia tuh yang nakal. Orang sibuk  bekerja dia malah main-main, kan. Aaaa---"

"Sudah-sudah. Sekarang bantu Ibu menumbuk beras."

Dan berakhirlah telingaku. Ibu menyeretnya sampai ke belakang rumah tempat ibu-ibu lain juga bekerja.

Dan Nira, gadis itu juga diseret Ibu tentu saja. Ibu tidak akan pilih-pilih dalam menunjukkan kekejamannya. Dan di sinilah kami berakhir. Bersama sebuah lesung dan sebuah alu; menumbuk beras, pekerjaan paling merepotkan dan melelahkan.

"Kau sih," gerutuku pada Nira di samping.

"Apa? Kenapa aku, kan idemu bermain dengan anak tikus itu," deliknya masih tidak mau kalah.

"Is." Aku menumbuk asal-asalan. Kenapa aku tidak tinggal saja di atas pohon rambutan tadi? Bisa sambil tiduran dan mencamil buahnya. Sekarang aku menyesal sudah membuat keputusan untuk membantu.

Ibuku di sebelah kami hanya diam, serius sekali dengan lesungnya. Kemudian setelah berasnya hancur dan jadi tepung, Ibu memasukkannya ke pengayak dan mengayak tepung berasnya. Aku pun ikut melakukan hal sama pada lesungku.

***

Lesung dan berasnya telah selesai. Sekarang aku dan Ibu sedang duduk di atas dipan tadi, merajut bunga-bunga untuk upacara pernikahan lusa.

Aku mengambil bunga berwarna putih, menusukkan jarum yang sudah dipasangi benang ke sana, dan menyambungnya dangan bunga lain.

"Bu, menurut Ibu, di seberang laut sana seperti apa?" celetukku asal-asalan.

Ibu menghentikan kegiatannya, kemudian menatapku sebentar, lalu melanjutkan mengatur bunganya lagi. "Ya menurutmu apa? Pasti hanya tanah kosong tanpa penghuni. Atau tidak hewan-hewan."

Aku mengangguk-angguk tanpa menoleh. "Tapi, Bu, menurutku di sana ada tempat mengagumkan. Ibu lihat tidak, bayang-bayang tinggi di seberang sana? Kemungkinan itu menara besar. Bagaimana mereka bisa membangunnya ya, Bu?" Aku mulai antusias menceritakan ketertarikanku pada Ibu.

Ibu menghela napas, kemudian menatapku penuh selidik. "Kau mau mengatakan apa sebenarnya? Jangan berpikir macam-macam Aruni."

Aku langsung berdecak dan merengut. Kenapa sih, Ibu itu cepat sekali mengerti pikiranku? "Aku kan cuma penasaran, Bu."

"Sekarang penasaran, lalu besok apa? Kau akan menyeberang juga, hah?!"

"Eh? Boleh?" Aku menatap Ibu berbinar-binar penuh harap, berharap Ibu akan tersenyum dan mengangguki. Namun, hayalanku tak seindah kenyataan.

"Tidak," kata Ibu tegas. "Tidak ada menyeberang. Dan tidak ada cerita tentang tanah seberang lagi."

Aku langsung berubah masam. "Tapi, Bu, aku hanya ingin menyeberang sebentar, kemudian kembali---"

"Kau ingin meninggalkan ibumu ini sebatangkara? Kau pikir setelah ke sana kau bisa kembali lagi? Ke sana sama saja menyerahkan nyawa. Apa kau ingin melihatku lebih menderita lagi, Aruni? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi---" Ibu tercekat. Amarahnya tiba-tiba meluah dan matanya berkaca-kaca. Aku pun jadi ikut merasa terseret emosi Ibu. "Ibu cuma punya kau, Aruni. Dan Ibu tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya lagi. Kehilangan Ayahmu sudah cukup menyakitkan, jangan menambahnya lagi jika kau tidak ingin melihat ibumu menderita."

Aku menunduk, menggigit bibir bawahku. Ibu tidak pernah seemosional ini sebelumnya. Dan kali ini, aku dapat melihat raut kesedihan itu lagi di matanya yang biasanya kuat dan tegar. Ternyata Ibu belum benar-benar melupakan dan merelakan Ayah. Aku jadi semakin bersalah melihat Ibu kembali terlihat menyedihkan begini.

"Maaf. Aku tidak bermaksud," cicitku pelan.

Ibu menghela napas berat, kulihat dari sudut mata Ibu memalingkan wajah dan mengusap sudut matanya.

"Baiklah. Tapi jangan pernah berniat untuk menyeberang lagi."

Aku hanya diam sambil menunduk tanpa berani menatap atau menjawab Ibu.

"Sudah, kau selesaikan saja, Ibu mau bantu ibu-ibu lain membuat sajian untuk rapat malam nanti," kemudian Ibu berlalu dan pergi memunggungiku. Bahunya bergetar, dan aku tahu Ibu akan pergi ke mana. Makam Ayah. Tempatnya berkeluh kesah. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro