Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rimbana: Heroine's Middle Junggle

|| Rimbana || 1383 Kata ||

Seperti ucapan Kelana kemarin, hari ini akan ada perburuan di hutan Rimbana untuk keperluan acara pernikahan Kak Rui. Aku sudah bersiap dari pagi-pagi sekali. Ibu bahkan sampai geleng-geleng kepala menatapku yang tiba-tiba bersemangat untuk bangun pagi tanpa harus diguncang-guncang dulu.

Aku menyandang tempat anak panahku yang sudah diisi penuh ke punggung, kemudian menyelipkan belati kecil ke sisi pinggang dan meraih tombakku. Semalaman aku menyiapkannya.

Selesai dengan semua perlengkapan, kemudian aku menghampiri Ibu yang tampak menjahit baju di dekat jendela samping pintu.

"Bu, aku pergi dulu ya," kataku dengan semangat kemudian langsung melompat ke bawah tanpa menuruni tangga.

Ibu berdecak menatap aksiku barusan. "Coba kau sesemangat itu saat belajar menenun dan menganyam."

"Ehehehe. Aku lebih berbakat jadi Pasukan, Bu," cengirku.

Ibu semakin kesal mendengar jawabanku. "Pasukan-pasukan, kau mau tidak dapat jatah makan, ya?"

Waduh. Kalau ancamannya tidak dapat jatah makan, aku sih tidak berani membantah. Jadi, aku cuma cengengesan dan langsung melambai pada Ibu. "Aku pergiii."

Sebelum berangkat, semua orang yang terlibat perburuan harus berkumpul di Rumah Besar, rumah yang digunakan untuk musyawarah sekaligus rumah Tetua---kepala suku Rimbana.

Kami berkumpul di sana, total ada 11 orang. Aku, Kelana, tidak tinggal Nira, Paman Ham ayahnya Nira yang merupakan pemburu sepuh, dan enam orang lainnya adalah penduduk Rimbana biasa yang juga mengajukan diri. Oh, aku lupa menyebutkan jika ada satu lagi yang ikut, Campa, si anak Tetua yang usianya sudah 25 tahun.

Kalau boleh jujur, aku sedikit tidak suka dengan Campa. Lihatlah pemuda itu, yang dari tadi terus memepet-mepet ke arahku. Setiap aku bergeser, dia ikut bergeser. Sudah kupelototi pun, dia tetap mendekat dan mengabaikan. Memasang cengiran aneh dan sesekali mencoba memegang tanganku---yang tentu saja langsung kutepis.

"Orang ini sepertinya akan terus mengganggumu," bisik Nira di sampingku pelan sembari melirik Campa di sisiku yang lain.

Aku mendengkus. "Dia seperti magnet saja, berusaha menempeliku terus. Mengganggu sekali," balasku berbisik.

Selesai Paman Ham memberi arahan di depan, kami bergegas pergi.

"Tanganmu buta arah ya? Kenapa menyasar tanganku terus. Mengganggu saja," delikku tidak tahan pada Campa. Peduli amat dia anak siapa. Sikapnya ini benar-benar mengganggu.

Campa tersenyum kecil. "Kenapa sih? Coba sekali saja ramah padaku," katanya.

"Haram."

Kemudian aku berlalu, berlari kecil mengejar Kelana yang sudah jalan duluan diikuti Nira.

Hutan Rimbana di pagi hari cukup lembab, dan biasanya hewan-hewan baru hendak keluar dari sarang mencari makan.

Aku menyiagakan satu busur di tangan, begitu pula Kelana dan Nira di belakangku. Kami berpencar membagi jadi dua kelompok. Aku, Nira, Kelana, Paman Ham, dan Paman Sergi menyusuri ke arah Barat. Sementara satu kelompok lainnya yang dipimpin Campa bergerak ke arah Timur.

Awalnya Campa ingin bergabung dengan kami, tapi apalah daya dia sudah ditunjuk jadi pemimpin regu satunya. Baguslah, aku tidak perlu melihat wajah memuakkannya terlalu lama.

"Di sana."

Nira berbisik pelan sembari mengarahkan dagunya ke depan. Kemudian berjalan perlahan mengendap-endap. Benar saja, di sana ada seekor rusa berukuran sedang.

Nira kemudian mengambil posisi ke sebalik pohon yang tertutupi rerimbunan. Aku pun mengikuti dengan bersembunyi ke balik pohon lainnya.

Nira memasang anak panahnya, menajamkan tatapan ke depan dan berusaha fokus. Ketika sedang menghitung-hitung waktu yang tepat untuk melesatkan anak panah, ada ranting yang berderak.

Dan rusa yang memakan rumput itu mengangkat kepalanya, menoleh-noleh dan berakhir berlari.

"Sial!" umpat Nira kemudian berlari mengikuti arah perginya rusa.

Aku pun ikut berlari. Menyiagakan tombak di tanganku kalau-kalau ada hewan lain yang tidak sengaja kutemui, babi misalnya.

"Ark!"

Ada erangan kuat yang terdengar, itu berasal dari arah Nira pergi. Aku pun berlari mengikuti arah suara.

Di belakangku ternyata Kelana datang, sepertinya dia juga mendengar.

"Siapa?" tanyanya.

"Sepertinya Nira," jawabku kemudian berlari semakin cepat.

Benar saja, di depan sana Nira tampak sedikit terhuyung dengan tangan kiri memegang bahu kanan. Dari sela-sela jarinya ada cairan biru pekat yang mengalir.

"Nira! Kau kenapa?!" pekikku kemudian mendekati gadis itu diikuti Kelana dengan napas terengah.

"Aku hendak membidik rusa itu tadi, tapi tiba-tiba ada ranting jatuh dari atas dan mengenai lenganku. Dan beginilah jadinya," jelas Nira kemudian melepas jarinya yang menutupi bahu. "Cuma luka kecil," imbuhnya santai.

Aku berdecak menatap Nira kesal. Luka kecil katanya? Jelas-jelas bahunya tersayat dalam sampai-sampai dagingnya menganga lebar dan darah masih mengalir banyak.

"Ya, aku tahu luka besar versimu kalau tanganmu sampai potong, baru deh luka besar." Aku menarik tangan Nira, mengajaknya menepi ke arah pohon beringin besar. "Biar aku tutupi luka kecilmu ini agar darahnya tidak habis."

"Eum, sebenarnya kita hanya buang-buang waktu. Ini bukan apa-apa," ucap Nira lagi. Gadis itu benar-benar keras kepala.

Aku mengabaikannya, malas menanggapi. Kemudian mulai mencopot lumut-lumut berwarna kekuningan yang batangnya kecoklatan dari tunggul-tunggul. Setelah terkumpul segenggaman tangan, aku kembali menghampiri Nira yang menghembuskan napas.

"Meskipun ini luka kecil buatmu, kalau dibiarkan bisa menyebabkan infeksi," ujarku dan mulai menyusun lumut itu ke luka Nira.

Lumut mempunyai banyak jenis, yang kugunakan saat ini adalah lumut yang sering dipakai sebagai antibiotik untuk membunuh kuman. Lumut memiliki antiseptik yang berperan sebagai yodium alami untuk menyeterilkan luka. Jadi ini sangat membantu jika terluka dan butuh penanganan segera.

Setelah memastikan lumutnya terpasang rata, aku mencopot ikat kepala yang membelit keningku, mengikatkannya ke sana.

"Selesai."

"Yeah, terima kasih," ujar Nira kemudian mengangguk-angguk.

"Pokoknya jatah dagingmu besok jadi punyaku separuh."

Nira mengerutkan keningnya sementara bibirnya mengeluarkan desisan. "Enak saja."

Aku berdiri, mengambil lagi tongkatku. "Memang enak," jawabku. "Ngomong-ngomong Kelana mana?"

Nira menggelengkan kepalanya ke samping, menunjukkan keberadaan pria itu. "Tuh, entah sedang mengintip apa."

Kelana tampak membungkuk sambil memegang sesuatu dan tatapannya serius ke depan sambil berjalan pelan-pelan.

Aku yang melihatnya berinisiatif mendekati. Nira pun mengikut. "Ada apa?" tanyaku pelan sesampainya di samping pria itu. Ikut-ikutan menatap serius ke depan seolah-olah sedang menelisik.

"Ini." Kelana mengangkat ranting di tangannya ke arahku.

"Oh. Itu ranting yang mengenai bahuku tadi!" seru Nira antusias menatap rantingnya.

Kelana tampak serius ketika menatap ranting itu lagi. "Ini bukan jatuh sengaja, tapi memang ada yang menjatuhkannya," jelas pemuda itu.

"Maksudmu?"

"Lihat ini." Kelana menunjuk sisi ranting yang yang ada cairan birunya---bekas darah Nira. "Ujungnya dipotong runcing. Bukan karena patahan, tapi bekas dipancung."

Aku dan Nira langsung memerhatikan ujung rantingnya. "Benar!" teriakku dengan mata membelalak.

"Kenapa orang itu melakukannya? Seingatku aku tidak sempat membuat sengketa dengan orang lain yang menyebabkan orang itu dendam berat padaku. Yeah, kecuali menjahili para gadis-gadis ibu. Tetapi---hei, itu tidak masuk hitungan."

Aku mengangguki ucapan Nira.

"Entahlah," jawab Kelana kemudian kembali berjalan mengendap-endap ke depan. "Dedaunan di sini seperti baru diinjak," ucapnya kemudian setelah mengutip satu daun.

Nira kemudian berjongkok, menyapu jarinya ke atas tumpukan daun kering, mengangkat daunnya seraupan tangan dan menghidunya. "Benar," ujarnya.

Kemudian Kelana berjalan terus, menyibak akar tumbuhan merambat dan tumbuhan tinggi. Ada yang tidak beres di sini.

Aku dan Nira mengikuti. Nira memasang panah siaga di tangannya, sementara aku membenarkan pegangan pada tombakku. Yeah, aku lebih ahli menggunakan tombak atau pedang daripada panah.

Kami berjalan berjejer dengan Kelana paling depan, kemudian aku, dan disusul Nira di paling belakang.

Saat aku dan Nira sibuk menoleh kiri kanan waspada, Kelana mengangkat tangan kirinya ke atas, yang mengisyaratkan untuk berhenti.

Pemuda itu mematung menatap ke atas. Aku dan Nira mengikuti arah pandangnya, yang kemudian langsung membelalak dan menutup mulut.

Di depan sana, tepatnya di atas ketinggian tiga meter, ada tubuh digantung terbalik. Tampaknya seorang pria paruh baya. Tubuhnya sudah membiru nyaris ungu, ditambah pula cairan biru kering yang nyaris menutup seluruh tubuhnya. Tubuh itu sudah menjadi mayat---tentu saja. Luka-luka sayat memenuhi tubuhnya. Kulit kepalanya terkelokak seperti dihantam benda besar dan berat---yang untungnya tidak sampai hancur---dan darah mengering yang dihinggapi lalat-lalat. Tangannya, kakinya, dan beberapa bagian punggung dan dadanya seperti habis dilibas-libas pedang berulang kali.

"Itu---apa?" ujar Nira yang masih setengah menganga tidak percaya.

"Cepat beri tanda pada yang lain," ucap Kelana tanpa mengalihkan tatapan.

Aku yang sudah lebih dulu mengendalikan diri dari Nira lekas mengangguk dan mencari pohon besar terdekat.

Mengambil kayu dan mulai memukulnya sebanyak tiga kali. Suaranya menggema, memenuhi belantara. Itu adalah tanda darurat yang sudah kami sepakati.

Tak lama Paman Ham dan Paman Sergi muncul dari balik rerimbunan.

"Ada apa?" tanya Paman Ham khawatir dengan napas memburu ke arahku. "Ada yang diseruduk babi?"

"Itu---ada mayat digantung," jawabku kemudian menunjuk ke arah mayat itu berada.

Paman Ham dan Paman Sergi sontak mengikuti arah jariku menunjuk.

"Yaampun! Bukankah itu Jero?!" pekik Paman Sergi kemudian. [ ]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro