Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rimbana: Heroine's Lost

|| Rimbana || 1395 Kata ||


Aku duduk di pinggir lapangan sambil menggenggam tombakku, menatap ke arah anak perempuan dan ibu-ibu yang mulai berkumpul ke tengahnya.

Seperti hasil diskusi yang mereka lakukan dua hari lalu, Pasukan Rimbana mulai bergerak melakukan rencananya. Dan seperti yang seharusnya, aku dan Nira tentu tidak akan ketinggalan untuk bergabung dengan pasukan. Pernikahan Kak Rui yang seharusnya besar-besaran, dilakukan dengan sederhana sekaligus bentuk duka cita atas meninggalnya Paman Jero.

Memang Tetua tidak memberi tahu bahwa itu perbuatan Suku Hitam, dan orang-orang yang ikut berburu, termasuk aku diminta untuk tutup mulut dan mengatakan jika Paman Jero meninggal karena di serang Maweh. Dia pergi terlalu jauh hingga sampai ke Hutan Hitam, dan mayatnya akhirnya ditemukan di Hutan Rimbana karena dikembalikan oleh makhluk-makhluk buas itu. Semua itu agar penduduk tidak panik dan ketakutan, tapi yah, namanya juga manusia, pasti ada beberapa yang menemukan kejanggalan dengan cerita karangan yang disebarkan tersebut. Hanya saja mereka tidak berani bertanya secara langsung karena Tetua sendiri yang mengumumkannya. Beberapa menyimpan pertanyaannya sendiri, dan beberapanya lagi mendesak dan menempeli orang yang bersangkutan sampai menemukan jawabannya. Salah satunya anak laki-laki yang sekarang terus memepet ke arahku.

"Aruni, ayolah. Kau tidak boleh begitu tahu." Namanya Dio, dan dia seusia denganku. "Aku tahu ada yang aneh. Menurutmu saja kenapa pula Maweh mengembalikan tubuhnya alih-alih memakannya? Sejak kapan makhluk buas itu punya rasa kasihan? Maksudku, aneh saja pemakan daging membuang daging. Itu sama sekali tidak mungkin. Sama seperti kau yang tidak mungkin bilang, Aku kan Aruni, jadi tidak suka makan ikan."

Aku menoleh ke samping, menatap Dio malas. "Coba saja sendiri sana lemparkan tubuhmu pada makhluk buas itu. Pasti nanti juga bakal dikembalikan ke Hutan Rimbana lagi, kok. Soalnya dagingmu alot dan pahit."

Dio mendengkus. "Ah, tidak asik. Tahu begini aku bakalan pilih ikut berburu waktu itu," katanya sambil mengambil kerikil dan melemparkannya asal dengan tampang kecewa.

Ya, bagus, menyerahlah bodoh.

Aku mengabaikannya di saat itu juga dan kembali menatap ke tengah lapangan yang mulai ramai. Setelah pengumuman merekrut pasukan baru, aku dan Nira segera mendaftarkan diri. Nira langsung kebagian tugas bersama ayahnya melatih memanah, sementara aku kebagian tugas bersama Kelana untuk melatih ibu-ibu dan anak perempuan.

"Aruni."

Dan, yang sungguh tidak kuduga adalah manusia yang sekarang memegang bahu kiriku dengan kedua tangannya, menatapku dengan tatapan memelas itu juga ikut bergabung dengan pasukan. Bagian menyusahkannya dia terus mengikutiku dan merengek minta diceritakan dongeng insiden tengah hutan. Hah!

"Apalagi Dio! Kau mau kupukul, hah?!" Aku menarik tanganku kuat dan menatap laki-laki itu tajam.

"Oh, iya! Kau tidak ingat kau pernah memukul kepalaku pakai batu dulu waktu kita kecil? Kau bahkan sampai berlari ke rumah Mak Ri untuk memintanya segera mengobatiku. Kau ... pasti merasa bersalah ya?" Dio mengangguk-ngangguk kecil. "Kau pasti ingin menebus kesalahanmu, kan? Kalau begitu ... ceritakan yang terjadi di hutan!"

Aku berdiri, mengambil batu sebesar kepalan tangan, kemudian mengacungkannya pada Dio. "Aku lebih baik memukul kepalamu lagi, ya. Agar kepalamu yang keras itu jadi lunak."

Kenapa, sih, ada orang sekeras kepala Dio?

"Kenapa kau tidak pergi latihan sekarang? Kudengar Nira ikut melatih."

"Kau serius?!" Dio berdiri, menatapku terkejut sekaligus berbinar.

Aku mengangguk takzim.

"Kenapa tidak bilang, Bodoh!" katanya kemudian.

"Katakan sekali lagi dan kau akan kehilangan bibirmu."

Dio memasang cengiran lebar, kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. "Jangan dong. Aku belum berhasil melamar Nira."

Aku mendengkus. Yap, tepat sekali aku membahas Nira pada bocah budak cinta satu ini. Sudah ditolak berulang kali, diteriaki, bahkan diancam oleh Nira si bar-bar tapi tetap saja dia tidak menyerah. Memang keras kepala.

"Sudah, ah. Kau tidak asik. Buang-buang waktuku saja, mending aku buang-buang waktu untuk Nira. Dia kan juga ikut berburu."

Aku menatap Dio yang mulai berjalan pergi itu dengan wajah lempeng. Sebanarnya siapa yang membuang waktu siapa?

Aku berjalan ke tengah lapangan. Sepertinya sudah nyaris semua orang berkumpul di sana. Kelana juga sudah terlihat maju ke arah depan.

"Baiklah, saya tidak akan buang-buang waktu. Seperti yang sudah diumumkan, kita di sini untuk melatih dan mengajarkan cara bertahan dan melindungi diri seandainya dalam bahaya. Ini bukan hal baru lagi, tentu saja. Dan Tetua menetapkan sekarang saat yang tepat untuk melatih kembali cara mempertahankan diri dari binatang buas atau hal berbahaya lainnya. Karena kita tidak tahu kapan saja bahaya itu akan datang. Benar, kan?"

Lalu semua orang bersorak mengiyakan dengan keras, terutama sekumpulan anak gadis yang menambah sorakannya dengan sedikit pekikan histeris seperti, "Aaa! Ark! Ya ampun Kelana tampan sekali! Augh! Yaa! Errk!" dan teriakan seperti dikejar monster lainnya.

"Saya akan membagi dua kelompok. Satu akan dibimbing saya sendiri, dan satu lagi akan dibimbing Aruni."

"Aku yang akan membagi kelompoknya," bisikku pada Kelana, yang kemudian diangguki oleh laki-laki itu.

Karena ini hanya melatih cara bertahan dasar, maka cuma dua orang yang ditunjuk. Aku dan Kelana. Pasukan yang lainnya belajar memanah, ada juga yang mengajarkan bela diri, berpedang, dan semacamnya yang nyaris semuanya dilakukan oleh anak laki-laki karena ... yah, untuk apa anak perempuan mempelajari hal berat macam itu di tengah kehidupan yang damai dan tentram? Lebih baik dilatih oleh Kelana yang lebih tampan dan menjanjikan saja.

Hwek.

Aku seperti bisa memikirkan isi kepala nyaris semua anak perempuan yang datang kemari saja.

Aku berdiri tegap, menatap lurus ke depan. "Kelompok ibu-ibu yang berusia di atas tiga puluh akan diajari oleh kelana, sementara anak perempuan dan wanita yang berusia dua puluhan akan dilatih olehku."

Ada desahan kecewa dan tidak terima yang terdengar samar-samar. Tetapi peduli amat.

Setelah pembagian kelompok, dan sedikit arahan, akhirnya kami mulai latihan.

Aku mengajari beberapa taktik dan gerakan untuk mempertahankan diri yang sederhana tapi berguna. Namun, yah, meski aku bilang sederhana, tentu saja tidak semudah itu mengajari anak perempuan, apalagi yang suka menjerit ketika terjatuh sedikit.

"Jika kalian terdesak, jangan panik. Panik akan membuatmu kacau dan berakhir kehilangan nyawa. Jadi cobalah untuk tidak panik. Perhatikan hal-hal yang berada didekatku dengan cepat dan cermat. Jika ada batu, ambil, jika ada kayu, ambil, apa pun itu yang bisa digunakan sebagai senjata, bahkan duri sekali pun. Nah, masalahnya jika kalian tertangkap atau kedua tangan kalian ditahan. Sebisa mungkin, buat perhatian mereka teralih, dengan mengecoh, atau apa pun dan selama perhatian mereka tidak pada kalian, pergunakan waktu itu untuk menarik salah satu tangan kemudian tusuk matanya dengan kuat. Mengerti?"

Semua orang tampak mengernyit, tapi akhirnya menjawab mengerti sebelum seseorang mengangkat tangan.

"Ya?" kataku menyuruhnya untuk mengajukan pertanyaan.

"Kelana bilang kita akan belajar bertahan dari binatang buas, tetapi kenapa ini lebih seperti mempertahankan diri dari manusia? Juga jika memang ini untuk bertahan dari binatang, bagaimana cara mengecohnya? Kami kan bukan binatang, jadi tidak bisa berbahasa binatang."

Aku memasang senyuman kecil dengan sedikit menggigit bibir. Aku tidak kepiran tentang yang ini. "Sepertinya kau meninggalkan satu hal. Kelana tidak hanya bilang "binatang buas" tetapi juga "hal berbahaya lainnya". Manusia bisa berubah jadi makhluk jahat dan sama buasnya dengan binatang jika kau lupa."

"Juga-"

"Aruni!"

Aku tidak jadi melanjutkan ucapanku ketika Nira tiba-tiba menghampiriku dengan wajah panik dan napas memburu.

"Ada apa?" tanyaku pelan.

"Dio!"

"Kenapa dengan Dio?"

"Dio———hilang!"

Aku mengerutkan kening, lalu menarik Nira menjauh dari kerumunan yang mulai menatap penasaran ke arah kami. "Coba kau bicara lebih jelas. Yang kedengeran cuma suara napasmu saja."

"Dio menghilang! Bocah itu hilang!"

"Kenapa bisa?"

Aku belum pernah melihat Nira sepanik ini. Jadi aku ikut khawatir sekarang.

"Dia terus mengikutiku dan menanyakan tentang insiden di hutan waktu itu. Aku kesal, jadi kubilang cari saja sendiri sana jawabannya ke hutan kalau kau penasaran. Lalu, dia pergi. Kukira ... kukira dia menyerah bertanya dan pulang atau ke mana, tetapi siapa sangka dia benar-benar ke hutan!"

Aku mengerutkan kening. "Mungkin dia benar-benar pulang dan pergi memancing. Dia kan suka ikan."

"Tidak! Dia suka aku!"

Nira terdiam sebentar. "Maksudku, dia tidak mungkin pergi memancing. Setelah satu jam dia pergi, aku mencarinya dan bertanya pada beberapa teman. Mereka semua mengatakan serentak melihat Dio masuk hutan. Ya ampun, bagaimana ini?"

Aku menutup mulut rapat-rapat. Lalu menepuk-nepuk punggung Nira pelan. "Sudah bilang pada Paman Ham?"

Nira menggeleng pelan.

"Kau sudah bilang pada siapa saja?"

"Baru padamu. Aku ... aku panik jadi yang terlintas cuma berlari padamu."

Aku menghela napas pelan. "Kau tahu kan seserius apa keadaannya sekarang? Kita harus melaporkan ini segera."

"Melaporkan apa?"

Kami berdua sontak mengangkat kepala dan aku berbalik. Kelana berdiri di sana menatap ke arah kami kemudian berjalan mendekat.

Aku tahu masalahnya jadi akan semakin serius ketika kening Kelana berubah berkerut panik. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro