Rimbana: Heroine's Enemy
|| Rimbana || 1725 Kata ||
Nira menenggak air minum dari botol labunya. Dia sudah tidak seterkejut tadi dan wajahnya sudah tidak memucat. Aku menyuruhnya untuk duduk dan bersandar ke salah satu pohon, namun dia menolak dan malah mendekati mayat Jero yang kini sudah tergeletak di tanah. Nira sebenarnya bukan penakut. Namun, ya, siapa yang tidak akan terkejut ketika melihat mayat dengan keadaan mengenaskan bahkan nyaris tak berbentuk?
Paman Sergi tampak menghela napas berat dengan tatapan sendu. "Dia bilang pergi berburu dua hari lalu, namun belum kembali-kembali. Aku baru berencana melaporkannya pada Tetua besok jika Jero tak kunjung pulang. Apalagi Nurma istrinya sudah mulai cemas karena dia tidak pernah pergi berburu sendiri selama itu. Aku tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya dalam keadaan begini. Seharusnya aku melapor lebih awal."
Paman Ham mengusap pundak Paman Sergi. "Bukan salahmu, Sergi," ucapnya.
Campa dan rombongannya sudah datang dari lima menit lalu. Mereka tampak tak kalah terkejutnya dari kami.
"Cari kayu, rotan, dan kulit kayu. Kita harus membuat tandu dan membawa jasad Jero ke desa agar bisa dimakamkan dengan layak," ucap Paman Ham kemudian.
Aku hanya diam berdiri dari tepi. Mengamati bagaimana jasad Jero bisa terlihat semengenaskan itu. Dan lagi ... manusia biadab mana yang tega melakukan hal sekeji ini?
Hanya pertanyaan itu yang terus berputar di kepalaku sejak tadi. Sampai akhirnya seseorang menepuk bahuku.
"Aku pergi dulu, ya," ucap Campa sembari mengedipkan sebelah matanya.
Aku mendesis kecil, namun tidak mengatakan apa-apa. Lalu untunglah Paman Dri segera memanggilnya dan membuat pria genit itu meninggalkanku.
"Kau lihat matanya yang membelalak?" bisik Nira tiba-tiba yang entah sejak kapan berdiri di sampingku. "Menurutmu mereka melibas tubuhnya dengan pedang hidup-hidup atau ketika sudah meninggal?"
Aku terpicu dan ikut-ikutan memikirkan pertanyaan Nira. "Menurutku mereka melakukannya ketika dia masih hidup. Lihat saja tubuhnya mengejang kaku seperti menahan sakit. Lalu ditambah lagi sorot matanya yang ...."
"Augh." Nira memasang tampang ngeri kemudian memeluk kedua bahunya sendiri sambil diusap-usap. "Aku yang kena gores ranting saja sudah sakit setengah mati."
Melupakan fakta bahwa kami sedang menggosipi mayat yang letaknya persis di dekat kami, aku mencibir. "Katanya cuma luka kecil."
"Ya memang luka kecil, tapi sakitnya itu besar. Lagian aku cuma menyebutkan ukuran lukanya tadi, bukan kadar rasa sakitnya."
Aku nyaris tertawa kalau saja tidak mengingat keadaan. Membuat Nira terpancing adalah hal menyenangkan ketiga setelah berlatih pedang dan menjahili para anak gadis ibu.
Tak lama Kelana datang membawa tiga buah kayu berdiameter 10 cm dengan panjang 2 m. Disusul Campa dan Paman Dri yang membawa rotan dan segulung kulit kayu. Tidak menunggu, yang lainnya segera membantu untuk membuat tandu untuk membawa Jero ke desa.
15 menit kemudian tandunya siap. Aku yang sedang duduk di bawah pohon mahoni bersama Nira sambil membahas ukuran semangka di kebun Meri---yang kemarin kuminta---segera berdiri dan mendekat.
Kelana membantu mengangkat tubuh Jero yang sudah mulai membiru nyaris abu-abu itu di bagian atas dengan satu orang lainnya, sementara Paman Sergi dan Paman Ham di bagian kakinya.
Aku menggigit bibir bawah sambil menatap gusar. Yang kukhawatirkan kalau tiba-tiba daging bagian bahu yang dipegang Kelana lepas bagaimana?
Namun, alih-alih lepas, ternyata mereka berhasil memindahkan mayatnya ke atas tandu dengan selamat. Aku orang pertama yang menghela napas lega.
"Kau kenapa, Aruni?"
"Ah, tidak. Itu ... aku tadi khawatir kalau-kalau dagingnya lepas ketika diangkat," bisikku. Nira terkesiap sambil menutup mulutnya.
"Benar," cicitnya, lalu menatap ke arah tandu gusar.
Sungguh kekhawatiran yang terlambat. Aku pun memutar mata, mengabaikan Nira dan tingkah dramatisnya. Lalu, tiba-tiba aku terfokus pada Kelana yang menegang di tempat, tak lama ia menatap Paman Ham nanar.
"Ini ... tanda Suku Hitam," ujarnya.
Aku membelalak, jantungku tiba-tiba berdebar. Dan tidak menunggu, aku segera mendekat. Menggeser seseorang yang berdiri di dekat Kelana agar aku bisa melihatnya dengan jelas.
Paman Ham berjongkok di samping Kelana, menatap ke arah bahu kiri Jero. Di sana ada sayatan berbentuk garis silang dengan panah melintang di tengahnya. Sontak hal itu membuat rahang Paman Ham mengeras. "Ini ... peringatan," ujarnya. Mereka pasti merencanakan sesuatu yang lebih gila lagi."
Ada sesuatu yang menggelegak di tubuhku ketika mendengarnya. Dalam sekejap, perasaan yang sejak dulu kutahan-tahan terasa naik ke permukaan. Perasaan benci dan marah yang teramat dalam. Tak sadar, tanganku mengepal dan rahangku mengeras. "Si biadab ini," geramku berapi-api tidak peduli dengan keadaan lagi.
Siapa bilang aku sudah melupakan kejadian 8 tahun silam? Meski pun aku tidak pernah menunjukkannya secara langsung bahkan seolah-olah sudah lupa dengan tidak pernah membahasnya, aku masih mengingat semua detailnya. Bagaimana rumah-rumah kami dihancurkan. Bagaimana wanita-wanita dan anak-anak berteriak dan menangis. Bagaimana rumah-rumah ambruk kemudian menimpa siapa saja lalu membakarnya sampai jadi debu. Dan bagaimana aku menyaksikan tombak yang menancap dan menyobek perut ayahku, panah menembus dadanya, dan darah yang mengaliri tubuhnya. Aku ingat semuanya. Dan ketika aku mengingat hal itu, amarah selalu saja menghantui, membuatku semakin terpicu untuk terus berlatih beladiri menggunakan tombak dan pedang.
8 tahun bukan waktu yang cukup untuk menghapus ingatan dan rasa sakitku. Kukira aku tidak akan bertemu si penyebab masalah dalam waktu 8 tahun, namun ternyata mereka muncul sekarang dengan ciri khas mereka yaitu kekejian. Bagiku, mereka adalah monster sesungguhnya dibanding Maweh penghuni Hutan Hitam.
"Kita pulang sekarang." Paman Ham berdiri kemudian tanpa menunggu dia memerintahkan kami untuk pulang. Perburuan dihentikan sekarang.
***
"Ini ancaman, Gora," ujar Paman Ham memulai pembicaraan, sementara Tetua—Gora—belum kedengaran suaranya. Entah apa yang sedang dilakukan pria itu.
"Geser dong," bisikku pada Nira untuk mundur ke belakang. Yap, kami sedang menguping di semak-semak rimbun yang gelap. Tentu saja kami tidak akan diperbolehkan untuk ikut pembicaraan penting ini. Hanya ada Gora, Paman Ham, Campa, dan Kelana di sana sebagai wakil Campa si ketua Pasukan Rimbana.
"Aku tidak bisa dengar," keluh Nira balas berbisik.
"Ya tapi nanti kita bisa ketahuan kalau kau ngintip-ngintip."
"Tapi aku penasaran."
Aku mendengus. "Ya sudah dengar yang bisa didengar sajalah."
Awalnya memang aku yang memprakarsai aksi menguping ini dan membujuk Nira untuk bergabung. Namun siapa sangka dia lebih antusias dari aku sendiri?
"Apa pun itu, kejadian 8 tahun silam bisa saja terulang." Campa berbicara. Dari nadanya dia tak kalah serius.
"Aku sepemikiran dengan Campa. Bahkan bisa jadi kali ini lebih buruk," tambah Paman Ham.
"Ya. Maka dari itu kita harus mempersiapkan diri dari sekarang."
"Apa rencana kalian?" Gora akhirnya berbicara. Suara berat dan dalam itu terdengar begitu mengintimidasi.
Paman Ham dan Campa terdiam. Tampaknya mereka sedang memikirkan rencana apa yang akan mereka lakukan untuk persiapan menghadapi Suku Hitam.
"Itu sudah 8 tahun lalu. Dan kita tidak pernah tahu ada berapa orang yang sudah bergabung dengan mereka dan berapa banyak anggota yang mereka miliki. Kalian pasti tahu mereka semua adalah orang-orang yang menolak sistem kemanusiaan dan menganggap yang kuat yang berkuasa." Aku duga Gora sedang menegapkan duduknya dan menatap dalam pada ketiga orang itu sampai mereka mengeluarkan suara.
"Kalau begitu kita harus memperkuat lagi pertahanan Rimbana dengan meningkatkan kemampuan Pasukan Rimbana." Itu kelana. Aku tahu suara tenang itu Kelana.
"Apa menurutmu Pasukan Rimbana yang beranggota 100 orang itu mampu melindungi seluruh penduduk Rimbana?" tanya Gora. Dia tidak butuh intonasi sinis, bahkan dengan bertanya datar seperti itu saja sudah cukup membuat kita berpikir berulang kali sebelum mengeluarkan kalimat. Yeah, tidak salah kenapa ia bisa menjadi Tetua dengan aura seberat itu.
"Sebenernya aku ragu," jawab Kelana kemudian agak pelan. "Tapi kita bisa merekrut anggota baru lagi," tambahnya kemudian terdengar optimis. "Kita juga bisa mengajari para wanita dan anak-anak beberapa cara melindungi diri."
"Yeah, itu baru Kelana," gumamku sambil menyeringai tanpa sadar.
"Tidak. Tidak seharusnya para wanita dan anak-anak ikut bertarung. Mereka seharusnya dilindungi," bantah Campa kemudian.
Tanpa sadar aku mendengus kesal. Kenapa sih, orang dengan pikiran sempit seperti Campa harus ada?
"Diamlah Aruni. Kau bisa membuat mereka sadar kalau kita di sini. Dari tadi kau mendengus dan berdecak terus." Nira menyikutku dengan mata melotot. Membuatku mau tidak mau kembali diam sambil mencibir.
"Aku bilang ajari mereka cara melindungi diri, bukan menyuruh mereka bertarung. Bisa saja akan ada situasi darurat di mana tidak ada pria kuat atau Pasukan Rimbana yang bisa melindungi mereka." Kelana membalas sengit membela pendapatnya.
"Tidak!" Campa meninggikan suaranya kemudian menepuk meja.
"Sudah! Kita di sini untuk mencari jalan keluar, bukan bersitegang membenarkan pendapat sendiri." Gora tak membiarkan pertikaian mereka berlanjut. Campa langsung terdiam dan Kelana pun ikut bungkam.
"Tetapi usulan Kelana tentang melakukan perekrutan anggota Pasukan Rimbana itu benar. Kita harus meningkatkan pertahanan dan kewaspadaan kita dari sekarang," ucap Gora kemudian. "Kita tidak tahu kapan mereka akan bergerak lagi, jadi lakukan secepatnya."
"Kita tentu tidak bisa melakukannya besok. Ada pernikahan yang akan digelar," ucap Campa kemudian. Kali ini suaranya sudah seperti biasa.
"Bagaimana lusa?" kini Paman Ham yang berbicara. "Dan kurasa tidak ada salahnya mengajari wanita cara melindungi diri saat keadaan darurat."
"Paman." Campa lagi-lagi menyela.
"Ya, kurasa tidak ada salahnya. Kita tidak bisa melakukan diskriminasi membeda-bedakan manusia. Meski pun mereka wanita, kurasa tidak ada salahnya mempelajari beberapa gerakan bela diri atau menggunakan busur dan pedang."
Campa lagi-lagi bungkam mendengar penuturan Gora. Dia tidak akan berani membantah jika pria itu yang bicara.
"Huh, makan tuh ucapan Tetua," cibirku sambil bersorak pelan.
"Campa kau atur perekrutan Pasukan Rimbana dan Kelana, kau urus pelatihan para wanita."
"Baik, Tetua," jawab Kelana.
"Dan Ham, untuk kali ini bisa kau yang mengajari mereka menggunakan busur? Aku tahu kau selalu menolak setiap pemimpin-pemimpin Pasukan Rimbana ingin merekrutmu jadi pelatih. Dan untuk kali ini aku berharap kau bersedia, tidak ada pemanah terbaik di Rimbana yang bisa menyamai kemampuanmu, dan aku berharap banyak untuk itu."
Terdengar helaan berat. "Baiklah, karena ini untuk Rimbana, aku akan melakukannya."
Tak lama terdengar kursi ditarik, dan di titik itu aku tahu mereka sudah selesai berdiskusi.
"Ngomong-ngomong Aruni, apa kakimu menginjak air? Dan---oh, sejak kapan kakimu berlendir dan licin?" Nira tiba-tiba mencicit pelan dekat telingaku.
"Hah? Apa?"
"Hei, jangan menggelitiki kakiku!" deliknya kemudian sambil menyikutku.
"Apa sih? Siapa yang menggelitikimu?" tanyaku yang tak mengerti.
"Ck. Kakimu menggelitiki kakiku terus!"
"Kakiku dekat bokongmu bodoh!"
Lalu Nira menoleh ke arahku lagi. Meski pun di sini gelap tidak ada cahaya apa pun, aku bisa melihat wajah Nira yang kuning langsat dan sorot matanya meski pun tidak jelas.
"Kalu bukan kakimu, lalu yang menggeliti kakiku sekarang apa?" ucapnya balas bertanya. "Tapi---sejak kapan kakimu jadi lentur dan bisa bergerak melingkar? Kurasa kakimu lebih besar dari ini, deh."
Mendengar itu, sontak aku langsung mengambil jarak menjauh. "Nira ... itu ular, bodoh!" pekikku tertahan. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro