Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rimbana: Heroine's Boyfriend

|| Rimbana | 1563 Kata ||

Aku menarik tali busur kuat, merapatkan ke sudut mataku, dan memusatkan pandangan pada orang-orangan jerami. Beberapa detik berlalu, setelah aku mengunci sasaran dan memastikannya tepat, kulepas anak panahnya. Dan ... swiing! Busurnya meleset dan menancap ke tanah.

"Argh!" Aku mengerang keras sambil berdecak kemudian menghentak-hentakan kaki. Ini sudah kesekian kalinya aku mencoba, dan hasilnya selalu sama; me-le-set.

"Kenapa sih tidak pernah tepat?" rengutku.

Kelana tertawa di sampingku, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau harus lebih fokus, Aruni."

"Aku sudah fokus kok," bantahku.

Kelana menggeleng sambil mengulum bibirnya. "Kau terlalu bersemangat menyasar objeknya, tapi kau tak memperhatikan titik mana yang harus kau tuju. Lagi pula, sebelum memanah, coba buat ikatan dengan busurmu."

"Ikatan seperti aku mengikat busurnya ke leherku maksudmu?"

"Bukan, hei." Lagi-lagi Kelana terkekeh. "Maksudku, coba rasakan eksistensi busur di genggamanmu. Rasakan seolah-olah kau dan busurnya adalah satu kesatuan. Kemudian baru sasar objekmu."

Aku memutar mata. "Menyusahkan."

"Tsk. Coba dulu."

Kelana mendekatiku. Mengangkat tanganku yang memegang busur. Memosisikannya ke pose memanah lagi. Kelana berdiri di belakangku. Sebelah tangannya meraih tangan kananku, meletakkannya ke tali busur bersama dengan satu anak panah. Sementara tangan kirinya melingkari bahuku dan ikut memegang busurnya, menahan anak panahnya di sana bersama tangan kiriku.

"Pejamkan matamu. Tarik nafas, kemudian rasakan eksistensi busur ini. Rasakan jiwanya. Anggap bahwa busur ini adalah bagian dari dirimu, dan kendalikan." Kelana mulai berbicara sembari tangan kanannya yang berada di atas tangan kananku membimbing tanganku untuk menarik tali busurnya.

Masalahnya (sebenarnya aku tidak tahu ini masalah atau bukan), kepala Kelana tepat berada sejajar dengan kepalaku dan suaranya dekat sekali dengan telinga karena dia sedikit merunduk. Apalagi saat dia berbicara, ada angin panas menerpa kulit leherku. Membuat sesuatu yang entah apa itu menggeliat di perutku. Sialan. Perasaan macam apa itu, hah?!

Aku berdehem untuk kembali fokus, dan mulai mendengarkan instruksi Kelana. Menatap lurus ke depan sana, ke arah sasaranku yang tidak kena-kena.

Kelana berhenti sebentar---entah memperhatikan tanah di wajahku atau apa---sebelum kemudian kembali berbicara.

"Kemudian bayangkan letak sasaranmu. Bayangkan semua titik-titik yang ingin kau tuju."

Aku memejamkan mata, melakukan semua yang dikatakan Kelana---mengabaikan pegangan kedua tangannya pada tanganku---dan memfokuskan pikiran.

Hanya 15 meter ke depan. Aku mulai merasakannya. Letak sasaranku. Rasa busurku yang entah kenapa tiba-tiba berasa jadi tanganku. Dan tepat ketika kelana berkata, "Kemudian lepaskan dan tuju dengan tepat," aku segera melepaskan anak panahnya.

"Uwah!" teriakku tepat ketika membuka mata. Anak panahnya tepat menancap pada kepala orang-orang jerami. "Aku berhasil! Akhirnya aku berhasil!"

Aku nyaris melompat kalau saja dadaku tidak tiba-tiba berdebar dan merasa gugup ketika Kelana tertawa di samping telingaku, dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. Dan ... dan ... dan suaranya membuatku tiba-tiba kehilangan kewarasan. Kalau saja Paman Siak di sini dan melihat aku yang biasanya bar-bar tiba-tiba linglung seperti orang bingung, pria tua itu pasti sudah meledekku dan merendahkanku dengan mulut bau dan gigi kuningnya lagi.

Aku ikut memaksakan tawa untuk menutupi sesuatu yang bertalu-talu di balik dadaku.

"Apa kubilang, kau sih, tidak mau dengar," ujar Kelana.

"Aku dengar kok, kalau tidak, tidak mungkin kucoba, kan?"

Kelana mencibir, "Katanya menyusahkan."

Aku memutar mata kemudian berdecak. "Iya-iya. Is."

Kelana lagi-lagi tertawa.

"Eum---tapi, apa kita tidak bisa berjarak sekarang?" gumamku akhirnya. Rasanya aneh juga dalam posisi ini untuk waktu yang lama.

"Eh?" Kelana tampak berpikir dan melirik letak posisi kami, kemudian memasang cengiran gugup, lalu melepaskan rengkuhannya dari tubuhku dan bergeser ke sampingku.

Aku menghela napas lega. Rasanya seperti habis keluar dari dalam air setelah 10 menit mencelam. "Fiuuh."

"Mmm." Kelana menggaruk kepalanya. Aku tidak mengerti maksud ekspresinya. Matanya menatap arah lain dengan menggigit bibir bawahnya. Seperti orang kebingungan, atau---entahlah.

"Aruni. Mmm---itu---" Kelana masih menatap ke arah lain, seperti aku yang kebingungan mencari alasan ketika Ibu memergoki memakan lentimun Paman Siak.

"Mau ke tebing tidak?" tanyaku akhirnya. Lama sekali menunggu Kelana berbicara dengan 'mmm'nya itu.

Kelana akhirnya menoleh padaku. "Ayo!" soraknya kemudian dan langsung menggamit tanganku, menariknya pergi meninggalkan tempat pelatihan Pasukan Rimbana ini. Seolah-olah ingin cepat menghindari suasana barusan.

Tempat ini adalah tempat yang digunakan Pasukan Rimbana berlatih, baik itu memanah atau melatih kemampuan berpedang. Aku sering ke sini dibawa Kelana (sebenarnya karena aku memaksa ikut dan merengek, sih). Aku suka sekali tempat ini. Di sini aku bisa belajar memanah dan menggunakan pedang. Sayang sekali aku tidak bisa ikut bergabung dengan pasukan karena Ibu melarang keras dengan dalih 'aku anak perempuan', tetapi aku bisa ke sini sesukaku kalau itu bersama Kelana. Jadi aku memanfaatkan Kelana semaksimal mungkin untuk mempelajari hal-hal yang ingin kupelajari. Hahaha.

Jangan heran. Kalian pikir, kenapa aku dan Nira bisa akrab sementara dengan anak-anak perempuan lain tidak? Karena kami sejalan. Kami sama-sama menyukai hal-hal menantang seperti berkelahi menggunakan pedang atau memanah alih-alih mempelajari cara menenun dan memintal sutra. Aku tidak suka hal-hal membosankan seperti itu, hal yang membuatku mengantuk hanya dengan 30 menit pertama mengerjakannya. Eh, tetapi Nira tetap saja lebih bandel dariku. Setidaknya aku hanya mencuri lentimun Paman Siak, berkelahi dengan anak lelaki yang nakal, dan sesekali menyelinap ke Hutan Hitam (yang ini rahasia).

***

Kami pergi ke tebing tepi laut tempat yang biasa kami datangi. Sebelum ke sini, kami melewati kebun semangka yang sangat luas. Karena aku adalah anak yang baik dan cerdas, setelah Kelana berjalan duluan, sementara yang punya kebun tidak ada di sana, aku berinisiatif memungut satu yang sebesar kepala Kelana di dekat kakiku. Aku tidak mencuri, aku sudah minta izin pada akar semangkanya dan katanya boleh---lewat perantara suara tiruanku.

Kelana berdecak menatapku yang memeluk semangka besar di depan perut. "Kapan kau mencurinya?"

Aku mengerutkan kening, kemudian menatap semangka di perutku. "Ini?" aku mengangkatnya, "aku tidak curi kok. Aku sudah minta sama ibunya."

Ctak.

Aku meringis ketika Kelana menyentil keningku. "Berhenti membual. Dan berhenti mencuri juga. Kenapa kau tidak minta saja pada pemiliknya?"

Aku mengusap-usap keningku sambil merengut. "Sudah kubilang aku tidak mencuri. Aku sudah minta pada ibunya semangka. Ibu semangka, minta anakmu ya. Ya, ambil saja." Aku kembali mengulangi kata-kata yang tadi kuucapkan di ladang semangka.

Kelana memutar matanya. "Itu sih bisa-bisanya kau saja."

"Yang penting aku sudah minta."

"Dengan menyetujui sendiri permintaanmu?"

"Ya, terserahlah." Aku mengibas-ngibaskan tangan. Kemudian mengambil golok yang terselip di pinggang Kelana, dan berjalan ke bawah pohon rambutan.

Mengabaikan erangan kesal Kelana, aku membelah semangkanya jadi dua, menampilkan daging buahnya yang merah seperti bunga wawar dan berair seperti jambu air. Kemudian membelah setengahnya lagi jadi setengah, dan mulai memakannya sebelum air liurku benar-benar menetes dan tumpah ruah.

"Hei, bagi dong!" teriak Kelana dari sana dan berjalan menghampiriku.

Aku lekas-lekas memindahkan semangkanya ke samping kananku. "Tidak usah. Ini semangka curian, nanti perutmu buncit."

Kelana berdecak kesal. "Kan katanya kau sudah minta, jadi itu tidak mencuri."

Aku mencibir. "Tetap saja, aku menyetujui sendiri permintaanku."

"Wah." Kelana mendengus sambil menatapku tanpa berkedip. "Aku lupa kalau kau pendendam yang tidak mau mengalah."

Aku hanya mengendikkan bahu, kemudian melempar seperempat kulit semangka yang sudah kubersihkan dagingnya ke depan. Lanjut mengambil seperempat lagi dan menggigitnya, mengunyahnya perlahan, mengabaikan pipiku yang basah dan memerah terkena noda semangka.

"Jangan gitu dong. Katanya kita teman, jadi harus berbagi."

Aku mengabaikan dan masih terus menggigit dan mengunyah.

Kelana mendekat dan duduk di sampingku. Dia menatap lurus ke depan, ke arah ombak yang berkejaran menyisakan buih putih setelah menabrak karang. "Besok, akan ada perburuan ke dalam hutan." Kelana mulai berbicara seolah-olah bermonolog sendiri tanpa menganggapku ada di sampingnya.

"Kali ini akan jauh ke tengah-tengahnya. Katanya, di sana banyak hal-hal menarik yang hanya bisa ditemui di sana. Lumpur yang bisa menyedot apa saja .... Api yang menyala tidak pernah padam. Dan katanya juga, di sana banyak buah-buahan dan hewan-hewan unik." Dia mengambil sejumput kerikil kemudian melemparnya ke tengah laut.

Sementara aku mulai memperlambat kunyahanku, mencuri dengar ucapan Kelana. Pikiranku berganti dengan tengah-tengah hutan yang berisi banyak hal menarik. Perburuannya. Dan ... buah-buahannya.

"Aku berniat mengajak seseorang. Tetapi ...." Kelana menghela napas seolah-olah itu adalah hal berat. "Yah---"

"Ini ambil saja. Kau mau semuanya? Ambil saja. Aku sudah kenyang. Rasanya benar-benar manis dan lezat tahu." Aku segera menyodorkan sebelah semangkaku yang tersisa pada Kelana. Mendorongnya tepat ke depan wajah pemuda itu dengan raut serius.

Kelana menoleh, kemudian menaikkan alisnya.

"Serius, ambil saja." Aku kembali meyakinkan.

"Benar untukku?"

Aku mengangguk cepat-cepat dengan senyum antusias. Membiarkan Kelana mengambil semangkanya, "Untukmu. Semuanya. Tetapi ... sebagai gantinya ...." Aku menggantung kalimatku, "Ajak aku ya? Ya? Ya?" dan memasang tampang memelas.

Kelana tertawa seketika. Padahal tidak ada yang lucu. Apa ucapanku barusan benar selucu itu?

Ctak!

Kelana kembali menyentil dahiku. Is. Benar-benar.

"Dasar Arunika! Kalau ada maunya saja rela mengalah. Huu," serunya.

Aku merengut dan mengusap-usap keningku lagi. "Biar saja. Tapi kau sudah mengambil semangkanya. Jadi, kau harus membawaku."

Kelana mengendikkan bahu, kemudian membagi separoh semangkanya jadi dua dan mulai menggigitnya.

"Is. Yang benar dong! Pokoknya harus bawa aku, ya! Ya? Jawab, "Iya, Aruni," dong."

Bukannya menjawab, Kelana malah memalingkkan wajahnya dariku dan kembali menatap ke depan sambil memakan semangka.

"Yaaaaaa. Ayo jawab iyaaaa. Lanaaa," rengekku kembali memasang suara memelas.

Kelana balas mengabaikanku. Kemudian, pemuda itu mencibirkan bibirnya dan menelengkan kepalanya ke kiri ke kanan sekali, "Yah, bakal kupertimbangkan," ujarnya.

Dan dengan itu, aku bersorak kegirangan dan segera berjingkrak-jingkrak. Kalau Kelana sudah begitu, berarti jawabannya iya. Lagian, siapa sih yang berani bilang tidak pada Livia Arunika?

Aku menghirup udara dalam-dalam, kemudian melepasnya perlahan sambil memejamkan mata. Membayangkan akan indahnya petualangan yang akan kulakukan---setidaknya dalam pikiranku begitu. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro