Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2

Satu pesan dari saya.

Bila mau baca cerita saya, harap pertajam imajinasi. Mari berpetualang di dunia imajinasi saya.

Bila tak mau? Tanggung sendiri akibatnya.

Sudah siap?
Starto! 🔥🔥

****

"Kamu nemu buku ini di mana, Nana?" tanya si pemuda berkaos hitam, mengambil buku tebal dengan sedikit debu di sela ukiran sampul buku. Sambil menunggu Nana membuat minuman hangat, ia membolak-balikan buku untuk sekadar memeriksa segi fisik buku ini.

"Hee, Reaki pernah lihat buku ini waktu jalan-jalan sama Mbah," kata Reaki terpana akan buku tersebut, lalu mengerling ke arah temannya. "Memangnya Zapo pernah lihat?"

"Entahlah." Zapo mengangkat bahunya sekali. "Mungkin pernah, seingatku."

"Coba sini, Reaki lihat tulisannya dulu." Zapo menuruti perkataan Reaki, menyerahkan buku tebal itu begitu saja. Begitu benda balok itu ada di genggaman Reaki, bisa diprediksi berat bukunya sekitar setengah kilo. Makanya Reaki taruh di meja. Jemari kurus berhiaskan cincin perak di jari manis Reaki mulai membuka halaman buku, tepat saat Nana datang dan menaruh tiga cangkir cokelat panas.

Nana duduk di kursi dekat Reaki. Sambil bertopang dagu, minuman panas buatannya menimbulkan kepulan asap yang lembut, memberi sambutan bentangan kertas kuning untuk pandangan Nana. Iris emas Nana menciut, berbinar-binar dengan isi halaman tersebut.

"Tulisan apa sih ini?" Zapo mendekatkan diri pada buku di hadapan Reaki. Tak heran pria bersurai cepak ini mengernyit, ia tak paham dengan tulisan di sana.

Memang tulisannya tergolong aksara, tetapi aksara ini Zapo tak tahu sama sekali. Lebih ke aksara Jawa, sayangnya itu bukan bahasa Jawa saat Zapo mencoba mengartikan tulisannya. Aksara Thailand? Tidak juga, justru arti dari tulisannya malah buat Zapo tertawa terpingkal-pingkal.

"He-hei, aku serius." Zapo masih terkekeh renyah sambil menyeka air asin di sudut mata dengan jari telunjuknya. "Ini aksara dari negara mana, hah? Baru kali ini aku nemu aksara serumit ini."

"Entahlah, Zapo," jawab Reaki terteleng. Alisnya terangkat dari atas ke bawah, pertanda ia putus asa dengan ujian buku ini. "Reaki juga gak tau."

"Herbiopheia." Sekonyong-konyong Nana berkata demikian. Bukan apa-apa, perkataan gadis bersurai cokelat pendek ikal ini menarik perhatian dua adam di samping kirinya. Mata beloknya bergerak menatap dua orang di depannya—Nana duduk menyamping. "Apa? Aku baca judulnya tau."

Nih cewek sebenarnya paham aksara ini gak sih? Dua tamu dadakan ini membatin dengan wajah datar. Zapo menyesap minuman beraroma susu cokelat buatan Nana. "Kamu tau aksara buku ini dari mana dah?"

"Aksara?" Nana mengernyit bingung, nada bicaranya pun naik satu oktaf. "Kalian ini ngomong apa? Orang aku lihat tulisannya alfabet, bukan aksara."

"Ah, pantes." Reaki mengerling malas ke arah Zapo yang masih menyesap cokelat panas. "Keistimewaan iris kampret dari si Nyai."

"Coba kamu baca halaman berikutnya," ujar Zapo meletakkan cangkirnya di minuman milik Reaki. "Kita cuma bisa ngandelin kamu buat baca aksara di buku itu."

"Kalian ini," Nana mengambil alih kuasa buku tebal dengan sekali seretan, "masa kalian gak lihat tulisannya alfabet? Gak guna kalian aku telepon ke sini."

Terserah kamu aja, Na! Kali ini, rutukan mereka ditambah dengan tatapan tajam. Saking kesalnya pada Nana mungkin, authornya sendiri tak tahu kenapa kelakuan mereka seperti itu.

"Ah, ada tulisan lagi," kata gadis beriris emas tersebut. "Tunggulah sebentar. Kamu harus mengikuti asal suara lonceng gereja setelah membaca halaman ini. Jangan lupa untuk selalu membawa buku ini."

"Haa?" Zapo membeo ria, lengkap dengan sudut bibir yang terangkat sebelah. Ia tertawa sumbang. "Emangnya di sini ada lonceng gereja gitu? Letak Perpustakaan Nasional Indonesia jauh dari bangunan penghuni agama kristen. Kau tau itu, Nana?"

"Memang jauh dari gereja sih nih gedung." Nana menggaruk pangkal kepala dengan kuku telunjuk. "Tapi, kita gak tau nih buku nipu kita atau gak."

Tepat saat Nana berhenti bicara, dentangan keras mengagetkan tiga insan. Bunyinya tidak sekali dua kali, namun berkali-kali dengan tempo yang teratur. Akan ada jeda sekitar tiga detik. Sungguh efek suara yang horor, mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Ditambah angin kuat yang entah dari mana asalnya, arus anginnya mengitari mereka bertiga dan menerbangkan ratusan kertas ke atas posisi mereka sekarang. Lampu yang sedari tadi menyala langsung mati.

"K-kenapa isi halaman tadi malah terjadi?" teriak pria berkaos hitam mencoba berdiri dan menahan tubuh dari tiupan angin kencang. Salah satu tangannya menumpu ke pundak Reaki yang duduk menahan posisinya.

Lain halnya dengan Nana yang duduk menahan buku dengan lengan bawahnya. Lonceng gereja masih berdentang hebat, sekalinya berbunyi memekakkan indera pendengaran mereka. Angin pun masih mencoba menerbangkan apa saja yang ada di sekitar sini, termasuk cangkir yang terguling dan jatuh pecah di lantai dan buku-buku yang selesai dibenah saking kuatnya.

Reaki mencoba melihat keberadaan gadis di depannya dengan sebelah mata. Seketika, ia membelalak kaget. Perlahan, buku yang ditindihi tangan Nana mulai bercahaya kehijauan dan terlepas dari tindihannya. Mereka bertiga serempak menatap buku kuno itu, yang melayang menyibak halaman dengan cepat.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Nana melindungi pandangannya dengan punggung tangan.

"Nana tau? Ini kayak di film-film fantasi yang Reaki tonton," kata Reaki memicing dan menunduk.

Cahaya hijau dari buku itu kian terang menyilaukan mata, semoga saja penduduk awam tak mengetahui kejadian di gudang buku ini. Bisa-bisa bunyi mengerikannya buat mereka mati! Mereka tak tahan lagi!

"Kalian peduli sekali."

Suara nyaring penyelamat! Suara itu menghentikan kiamat kecil yang menimpa ketiga insan. Kertas-kertas melayang turun dengan anggun, tampak seperti dedaunan kering di musim gugur. Bunyi gedebuk dari buku-buku tadi sempat mengagetkan Zapo. Mereka makin terkejut saat hujan kertas menyambut kedatangan sosok misterius di depan meja.

Mereka tak bisa melihat rupa ataupun pakaiannya. Hanya terlihat siluet seperti anak kecil dengan rambut pendek sebahu. Kepalanya terteleng, seolah-olah menatap mereka.

"Kalian mau membantuku?"

"N-n-nana, cepet nyalain lampunya!" titah Zapo mencengkeram tangan Reaki, tentu pria bersurai cokelat cerah ini langsung menepis kasar.

"Heleh, kamu takut, ya?" Nana menyeringai lebar sembari mengerling ke arah Zapo. Ia berjalan ke sakelar dekat rak kartu absensi karyawan, menekan tombol atas. Voila! Lampu kembali menyala, menampakkan wujud sebenar dari siluet tadi.

Lagi-lagi mereka kaget dengan rupanya. Memang terlihat seorang anak kecil dengan tinggi setara anak SD kelas 3. Namun, kulitnya berwarna hijau teh dan bercahaya—terlihat dari wajahnya. Dia mengenakan jubah berbahan katun lusuh menjuntai menutupi seluruh badan dan kaki. Bagian yang paling Nana sukai dari dia adalah rambut ikal berhiaskan mahkota bunga dan telinga panjang layaknya para peri.

"B-bagaimana mungkin kau ... ada di sini?" Nana berjalan waspada menuju anak itu. Bukan takut, ia hanya ingin memastikan apakah sosok yang ia lihat nyata atau tidak. Nyali Nana tercekam oleh tatapan datar dari iris peraknya.

"Aku butuh bantuan kalian," jawabnya langsung ke inti.

"Bantuan?" Salah satu alis Nana mengernyit, lekas berhenti melangkah dan kaget dengan genangan cairan merah di sekitar kaki anak kecil. "T-tunggu!"

Gadis berkulit putih ini berlari kecil, menyetarakan tingginya untuk meraba tubuh anak perempuan itu. "Kamu gak kenapa-kenapa, kan? Ada yang luka gak?"

Anak bersurai putih ikal itu tak menjawab pertanyaan Nana. Dia masih menatap Nana, wajahnya pun tanpa ekspresi. Ah, sungguh Nana dibuat kesal olehnya! Mau tak mau, Nana meminta Reaki untuk mengambil lap bersih di kolong meja pustakawan, lalu menyuruh Zapo mengambil kotak P3K di kamar mandi. Tugas Nana saat ini adalah memeriksa keadaan dia dengan cara melepas jubah dari tubuhnya.

Alangkah terkejutnya Nana setelah jubah ada di tangannya. Kaki anak itu lebih ke kaki kambing. Lalu, Nana kira ada luka ada apanya. Justru dia baik-baik saja, tak ada kulit atau pakaian yang kotor akan darah kecuali telapak kaki. Ngomong-ngomong, Nana suka pakaiannya. Dia mengenakan gaun selutut berwarna putih, dengan lengan baju model lonceng dan rok gaun yang berjenis rempel.

Ya ampun, penampilan anak ini nyaris membuat Nana lupa sesuatu.
Kalau tubuh dia tak ada luka, lantas dari mana genangan darah ini keluar?

"Ah, j-jangan nangis, Dek." Buru-buru Nana mengelap air mata yang mengalir di pipi dia. Padahal mukanya tak menunjukkan ekspresi apapun, kenapa dia bisa menangis? "M-memangnya kamu ada masalah apa?"

Kini, mata anak itu menyipit. "Ibu dan Nenekku ... dalam masalah. Aku butuh bantuan kalian untuk menyelamatkan mereka. Aku tak punya cukup kekuatan. Aku sangat berharap pada kalian."

"Masalah apa?" Reaki mulai angkat bicara sambil mengelap cairan bau amis. Tenang saja, ada sabun cair di wastafel dekat meja pustakawan.

"Ada orang yang menculik mereka," jawab dia mencengkeram pakaiannya sendiri. "Selama bertahun-tahun, aku ada di sini untuk menjaga buku itu. Ibuku bilang padaku, barangsiapa yang membaca buku Herbiopheia secara lisan, maka aku akan muncul di hadapannya untuk mengabulkan satu permintaan. Nana sudah membaca bukunya, kebetulan saat itu aku mendapat kabar bahwa aku harus kembali untuk segera menyelamatkan Ibu. Tapi, kalian membacanya. Jadi, aku hadir untuk menawarkan satu permintaan, juga untuk meminta bantuan pada kalian."

"Bertahun-tahun? K-kok kamu tau namaku?" Bodohnya Nana bertanya tentang masa dia menjaga buku. Ia jongkok memerhatikan pria berkaos hitam yang datang membawa sebuah kotak.

"Whaa, kamu makhluk apa sebenarnya?" Zapo menaruh kotak putih di meja, membukanya, dan mengambil bahan-bahan pengobatan pertama pada luka. "Coba rasakan, di bagian mana yang sakit?"

Anak bertelinga panjang itu menggeleng. "Aku tak merasakan sakit. Bisa dibilang aku termasuk golongan goblin, tapi kakiku kambing. Makhluk berkaki kambing sepertiku masuk ke golongan satir. Sedangkan Ibuku adalah manusia tulen."

"Jadi, kalian mau membantuku?" sambungnya menatap tiga manusia satu per satu. Ia melihat ketiga insan di depannya saling memandang satu sama lain. Kejadian ini memakan waktu cukup lama, karena sebenarnya mereka tengah mendiskusikan keputusan untuk jawaban anak kecil ini.

"Oke, kita bantu kamu nyelamatin Ibu sama Nenek kamu," kata Nana. "Tapi, jangan salahkan kami bila kehadiran kami tak menambah cukup kekuatan. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan."

Akhirnya, dia mulai memasang topeng senang. Bibirnya mengembang senyum manis, matanya pun membulat dan berbinar-binar. "Benarkah? Terima kasih, aku senang bisa dibantu oleh kalian!"

Tanpa aba-aba dari makhluk aneh ini, pintu terbuka lebar dengan keras. Semilir angin ribut mengibarkan pakaian mereka dan kertas-kertas tadi. Hawa sejuk menerpa kulit mereka, bahkan membuat mata pedih. Cahaya terang berasal dari luar sana, meminta ketiga insan untuk bergidik ngeri dengan pemandangan tak biasa ini.

Tanah tandus, pepohonan tanpa daun, juga bangunan-bangunan tua yang hancur dan berwarna hitam karena serangan bahan peledak. Langit pun hitam seperti tinta encer yang diusapkan ke kertas. Para penghuni di sana? Jangan ditanya. Pemandangannya saja seperti habis perang dunia ke-3, banyak korban meninggal dunia dengan mengenaskan, meski mereka adalah makhluk dunia fantasi.

Dengan tubuh terpisah-pisah misalnya.

"Sepertinya mereka gagal melindungi Ibu dan Nenekku." []

Maaf bila agak kurang terbayang di otak kalian. Efek terlalu banyak rebahan.

Apakah kalian puas dengan ceritanya?
Klik bintang bila suka.
Komentar bila merasa tidak puas.
Share bila cerita ini layak direkomendasikan.

Temui saya di IG: revina_174

Saranghae, yorobun ♡

Didedikasikan untuk FantasiIndonesia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro