8 - Kemajuan Kecil yang Berarti
Perasaan gugup mengiringi setiap langkah kaki. Berulang kali aku menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. Beberapa pasang mata menatapku bingung. Mungkin mereka aneh melihat seorang gadis yang tampak sangat gugup, padahal hari ini tidak ada kuis ataupun ujian.
Kala berhasil mengenyahkan semua rasa takut, aku kembali berjalan. Kali ini dengan penuh percaya diri. Aku menghampiri ketiga sahabat yang sedang asyik mengobrol. Lewat tatapan mata mereka saja, aku tahu kalau sesi menghakimi akan segera dimulai. Namun, aku sudah mempersiapkan diri sejak kemarin malam. Berjaga-jaga kalau sindiran mereka terlalu menyudutkan.
"Meh, sumpah! Lo kesambet apaan pake rok begini?" serang Nadia begitu aku duduk di sebelahnya.
Tuh kan, belum apa-apa sudah dibilang kesambet. Sedih kali aku ini.
"Cieeee ... udah memantapkan hati, nih?" sambung Ay Ay masuk ke dalam obrolan. Sementara aku masih berusaha duduk manis. Tidak terpancing omongan kedua sahabatku yang pagi ini lumayan menguji kesabaran.
"Keputusan tepat, Meh. Lo cantik, kok. Gue jamin pasti Kak Faris bakal terpesona sama lo kali ini," sahut Nuri bijak, dengan mata berbinar. Aku tersenyum pada gadis berkaus ungu muda, sembari membalas Ay Ay dan Nadia dengan cubitan di perut mereka berdua.
"Aw! Aw! Sakit, Mehe. Becanda gue. Maaf," ujar Nadia dan Ay mengaduh kesakitan. Padahal aku mencubit tidak terlalu kencang, tapi reaksi mereka lebay banget.
Akibat merasa kasihan dan takut menyita perhatian teman sekelas yang lain, aku putuskan untuk mengampuni, lalu kembali duduk seperti semula.
"Gue mau mencoba mengganti style ngampus gue nih, Gengs," jelasku dengan suara pelan.
"Lo mau jadi feminin kayak Dita gitu?" hardik Ay Ay tampak kurang setuju.
Aku mengangguk takut takut. Sementara Nadia dan Nuri malah mengangguk puas. Beda banget sama ekspresi sahabatku satu lagi yang merengut.
"Habis kalau gue lihat. Kayaknya Kak Faris suka cewek yang kayak begitu, Ay. Makanya gue mau coba. Kan selama ini gue kalau ke kampus selalu pakai jeans melulu. Atasan sweter kegedean atau kemeja bunga-bunga. Sneakers. Ya ... sesekali juga pakai wedges atau flat shoes, sih. Tapi, tetap nggak kelihatan sefeminin itu, kan?" Dengan susah payah aku mencoba menjelaskan alasan pada ketiga sahabat.
"Lo jadi nggak be yourself dong, kalau gitu ceritanya," protes Ay.
"Terus mau gimana lagi? Kayak yang lo bilang juga. At least, gue udah usaha. Even, harus berubah sedikit. Kalian tahu, kan? Kalau gue suka banget sama doi."
"Ya, udah. Ya, udah... Ay, mendingan kita dukung dulu Si Mehe. Biar usaha dulu, sebelum Kak Faris diembat yang lain," kata Nadia berpihak padaku. Sedangkan Ay masih tampak setengah hati. Padahal jelas-jelas dia mendukungku untuk berusaha mendapatkan Faris.
Mungkin, cara ini salah? Tapi, bagaimana kita tahu cara ini tepat atau tidak, kalau belum pernah dicoba?
"Semangat, Meh! Gue dukung terus, kok," imbuh Nuri.
"Oke, deh. Tapi jangan berlebihan, Meh. Kalau bisa, lo cari cowok yang suka lo apa adanya," jawab Ay melembut. Akhirnya dia juga mendukung langkahku ini.
"Thank you, Guys. Cinta, deh." Aku menatap ketiga sahabat, kemudian memberikan kedipan maut yang membuat mereka langsung pura-pura mau muntah.
"Udah, udah. Dosennya datang, tuh," tegur Nuri yang seketika membuat kami kompak menutup mulut.
*
"Kak, maaf telat," desahku sambil berusaha mengatur napas. Aku habis berlari terburu-buru dari gerbang depan ke selasar gedung CC Barat. Ini semua gara-gara si Nadia memaksaku ikut makan cantik di kafe yang baru buka dekat kebun binatang. Jadi saja telat.
"Iya, Ra. Santai aja. Nanti gue samperin lagi, ya. Ngajarin Ega dulu."
Aku mengangguk, lalu Faris pergi berlalu.
Dia mengajari sesuai urutan kedatangan, dan aku harus bersabar karena berada di urutan terakhir. Aku memanfaatkan waktu luang untuk menenangkan jantung yang masih berdetak cepat, akibat berlari terlalu bersemangat.
Saat napasku sudah teratur, mataku mulai berkeliling. Aku baru sadar kalau Dita tidak datang sore ini. Alhamdulillah, aku bisa melihat Faris tanpa ada Dita di satu frame yang sama. Sesekali aku melirik ke arah cowok favorit, yang sedang serius menggambar. Dia terlihat selalu sabar menjawab setiap pertanyaan.
"Ra, lagi mikirin apa? Kok ngelamun?" tanya Faris tiba-tiba. Ternyata dia sudah duduk manis di sampingku sambil menatap langsung dari posisi duduknya.
Aku menggeleng lalu garuk-garuk kepala. "Nggak, Kak. Biasalah. Hehe ...."
"Mau belajar apa hari ini? Udah latihan gambar manusia lagi belum?"
"Oh, iya. Bentar, Kak. Kemarin aku sempat gambar-gambar." Kukeluarkan beberapa lembar kertas dari drawing bag dan menyerahkannya pada Faris. Dia melihat dan menilai dengan mata, kemudian mengangguk.
"Udah better, sih. Nanti di rumah gambar-gambar lagi, ya. Masih kurang halus gambar otot-ototnya," ucapnya.
"Siap, Kak. Hari ini aku pengen belajar cat air."
Aku kembali sibuk membuka tas dan mengeluarkan satu kotak putih yang berbentuk seperti kemasan eyeshadow besar, berisi dua puluh empat warna cat air yang baru saja aku beli hari Sabtu kemarin. Lalu, beberapa kuas juga wadah kecil untuk diisi air.
Faris mengambil salah satu kuas, lalu mulai mengulas warna-warna terang ke sketsa yang aku bawa, sebelum mengambil kuas yang lebih kecil untuk memberikan detail-detail pada gambarnya.
"Wah ... keren, Kak!" seruku takjub. Faris melirik sekilas, dan senyum tipis terulas di wajahnya. "Aku tuh, selalu kagum sama orang yang jago pakai cat air. Soalnya aku kesulitan terus tiap pakai cat ini," kataku lagi sambil melirik sedih ke arah palet cat beraneka warna. Namun, saat mengintip ke samping. Ternyata aku berhasil membuat senyum Faris semakin melebar dengan pengakuanku.
"Besok pulang kuliah mau gue ajarin, nggak?" sahut Faris tanpa melihatku. Dengan secepat kilat aku menganggukkan kepala.
"Mau banget, Kak!"
"Oke, besok jam 4, ya. Tempatnya ntar gue kabarin," katanya lagi.
"Oke, Kak!"
Senyuman super lebar segera terpatri di wajahku. Apa mungkin ini jalan untukku meraih bahagia? Semoga saja, iya.
*
"Ay! Nad! Nur!" teriakku begitu sampai di kelas pagi ini.
Dengan wajah berseri, aku berjalan tak sabar menghampiri ketiga sahabatku yang sudah sampai lebih dulu. Mereka kompak melemparkan pandangan heran. Pasti bingung ada apa sama mood-ku yang tiba-tiba berbahagia, setelah sempat galau belakangan ini.
Aku memang sengaja tidak memberi tahu mereka lewat group chat, karena ingin mengabarkan secara langsung. Semalaman aku gelisah sampai tidak bisa tidur. Membayangkan kalau sore ini akan bertemu Faris berdua saja untuk pertama kalinya.
Setelah duduk di kursi, ketiga sahabatku segera mendekat. Nuri yang duduk paling jauh dariku, sengaja membawa kursinya supaya bisa ikut berkumpul.
"Guess what?" tanyaku bersemangat.
"Apaan, Meh? Buruan bilang aja. Kepo gue," sahut Ay tidak sabar.
"Kak Faris kemarin nawarin gue tutor private sore ini. Hanya gue dan dia. Berdua doang! Hahaha ...."
"What?! Selamat ya, Mehe... I'm happy for you!" seru Nadia langsung memelukku.
"Mehe ... congrats, ya! Finally!" Nuri juga ikut menyelamatiku. Sedangkan Ay malah menggoyang-goyangkan pundakku. Kami berempat mengawali pagi dengan kehebohan yang membahagiakan.
"Gile, gile, gile. Ajaib banget, Meh! Progress lo kok, tiba-tiba lancar gini? Kemaren gimana emang? Cerita, cerita!" seru Ay, sambil masih mendorong-dorong pundakku.
Aku berdeham sebelum mulai bercerita. "Jadi, kemarin Dita nggak datang pas tutor. Terus pas Kak Faris lagi ngajarin pake cat air, gue bilang ke dia. Kalau gue kagum sama orang yang jago pake cat air. Eh, Kak Faris nyeletuk gitu, nawarin mau diajarin nggak sore ini pulang kuliah. Ya gue langsung mau nggak pake pikir panjang. Kemarin gue terharu banget, sampai mau nangis. Hahaha ...," ceritaku panjang lebar tanpa berhenti tertawa.
"Dasar lo! Kemaren aja galau-galau, sekarang cengar-cengir," cibir Nadia.
"Ini mungkin pertanda kalau doa-doa gue mulai dijabah sama Allah," sambungku bijaksana. Mereka bertiga mengangguk setuju.
"Alhamdulillah ya, Meh. Gue takjub banget. Nggak nyangka, ternyata Kak Faris bisa gitu juga. Spontan ngajak lo ketemu. Ya, walaupun pake embel-embel tutor gambar sih, tapi tetap kemajuan pesat. Soalnya yang inisiatif duluan Kak Faris." Nuri terlihat semakin semangat.
Aku jadi tersipu malu, dan semakin tidak sabar. Ini memang kemajuan kecil, tapi sangat berarti buatku.
Bismillah... Semoga nanti sore lancar...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro