32 - Kesempatan Untuk Takiga
Keputusan untuk menolak Takiga, agaknya sangat mempengaruhi caranya memperlakukanku. Terhitung sejak hari itu, tatapan datar minim ekspresi Takiga berubah semakin parah. Dia benar-benar berusaha keras tidak mengacuhkanku. Bahkan ketika aku bertanya mengenai apa langkah selanjutnya setelah menemui Mr. Pon—investor yang kami temui kemarin, dia hanya menjawab dengan sebuah dehaman singkat yang sama sekali tidak menjawab apa-apa.
Padahal, Mr. Pon meminta Takiga mengirimkan sampel koleksi yang akan diluncurkan bulan depan, juga surat kontrak perjanjian kerja sama secepatnya. Kedua hal itu sangat penting bukan? Akan tetapi, Takiga tampak tidak peduli. Baru kali ini aku melihat sosoknya yang begitu cuek pada pekerjaan. Tidak ada aura semangat di sorot matanya. Hal ini membuatku berpikir, sepenting itukah artiku buatnya?
"Mas," panggilku ketika kami sudah duduk bersebelahan di ruang tunggu keberangkatan internasional Bandara Suvarnabhumi, selama sepuluh menit penuh tanpa mengatakan apa-apa. Jadwal naik pesawatnya masih setengah jam lagi, dan entah mengapa, aku malas memainkan ponsel. Aku takut khilaf dan membuka blokir nomornya Faris. Jadi, lebih baik aku menjauh sementara dari benda itu.
"Hm."
Mendapati kedua mata Takiga yang masih terpaku pada majalah fashion bersampul Miley Cyrus dengan rambut mohawk, aku mengambil inisiatif untuk mengambil alih bacaannya. Takiga menoleh cepat. Menatapku dengan mata membeliak dan mulut yang mengatup rapat. Aku tahu, aku sudah cari masalah dengan bertindak tidak sopan pada atasan sendiri. Namun, kami tidak bisa begini terus.
Dari obrolan kemarin, aku baru tahu kalau Mr. Pon adalah satu-satunya investor yang tertarik untuk menanam modal pada proyek-proyek Takiga selanjutnya. Bagaimana kalau sampai Mr. Pon membatalkan rencana? Bisa-bisa Takiga stres pula. Aku takut tidak akan tega meninggalkannya di saat seperti itu. Mana sisa waktu kerja praktekku juga tidak lama lagi.
"Mas, jujur ya. Ini pertama kalinya aku lihat Mas Takiga sangat nggak profesional dalam bekerja, bahkan lebih dari sebelumnya." Seperti: waktu kamu memaksa aku menemanimu makan, padahal itu satu-satunya kesempatanku untuk punya waktu bebas, atau ketika kamu hobi menelepon tapi tidak pernah menjawab salam, dan lain-lainnya.
".... Mas Takiga begini karena aku tolak kemarin?" lanjutku tanpa mengizinkannya melihat ke arah lain, selain kedua mataku yang menatapnya tajam penuh tuntutan.
Takiga tahu kalau aku sedang menunggu jawaban, maka dia mengangguk meski terlihat setengah hati. Aku agak terharu dengan kejujurannya. Seorang Takiga yang biasanya memiliki harga diri setinggi langit, bisa galau juga karena aku tolak. Kalau sampai para Ukhtis tahu cerita ini, pasti mereka bakal terbang menyusul ke Singapura dan menemui langsung Takiga, deh.
"Ya, ampun ...." Aku geleng-geleng kepala takjub. "Jangan gitu dong, Mas. Aku jadi nggak enak. Aku tuh, nggak se-wah itu juga sampai bisa bikin Mas Takiga galau begini. Mas Takiga itu lebih cocok sama perempuan-perempuan ramping nan seksi yang banyak kelihatan di acara-acara fashion. Bukan mahasiswi kerudungan kayak aku begini. Mana dandan aja nggak jagoan. Kerjaannya pake jins, sweter kegedean," imbuhku malah mengutarakan kekurangan diri sendiri. Aku sempat terdiam beberapa saat, ketika menyadari kalau omonganku mulai melantur ke mana-mana.
Lalu, tiba-tiba Takiga melebarkan kedua tangan dan dalam hitungan detik, aku sudah berada di dalam pelukannya. Saking kaget dan tidak menyangka, aku malah diam pasrah. Tanganku menempel pada sisi kiri dan kanan perut datarnya. Dia mendekapku begitu erat. Tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang mulai menaruh perhatian.
Aku berusaha berontak, tetapi tenaga Takiga sungguh luar biasa. Ternyata di dalam tubuh kurusnya dia menyimpan kekuatan seperti lelaki normal. Kukira tenaganya sebelas dua belas denganku.
"Mas, lepas," geramku di telinganya.
Bukannya menurut, Takiga malah mengeratkan tautan tangan. Jarak di antara kami pun semakin terkikis. Aku panik. Takut ada yang akan mengenaliku. Memang ruang tunggu ini sedang tidak ramai. Aku sengaja memilih penerbangan sepagi mungkin, supaya bisa istirahat dulu sebelum besoknya kembali kerja. Akan tetapi kan, tetap saja. Aku malu. Malah kelewat malu sampai membuatku akhirnya mengalah dan memejamkan mata.
"Aku bakal lepasin, asal kamu setuju untuk kasih aku kesempatan," jawabnya serius.
"Kesempatan apa sih, Mas? Bicarain baik-baik aja, yuk. Jangan gini, dong. Kita bukan muhrim, Mas. Aku dosa besar ini," aku berbisik dengan masih memejamkan mata.
Takiga buru-buru melepaskanku. Membuat udara sejuk segera menyapa tanpa penghalang. Dia bergeser terus. Memperlebar jarak tanpa ragu, hingga berhenti di dudukan terakhir. Sekitar berjarak tiga kursi dari posisiku.
Sementara aku baru bisa menarik napas panjang-panjang, setelah berkali-kali kesulitan mengatur kuantitas pasokan oksigen dan irama detak jantung. Seumur hidup, baru tadi aku dipeluk kelewat erat sama lawan jenis. Ah, iya. Faris pernah menggendongku, sih. Tetapi, waktu itu keadaannya lagi terdesak. Aku pingsan di depan gedung apartemen. Ya masa mau diseret sampai ke lantai apartemennya Faris?
".... Ra." Takiga kayaknya menggumamkan sesuatu.
Aku memajukan kepala. "Hah? Mas ngomong sesuatu?"
Takiga terlihat menghela napas. Dia duduk menyerong ke arahku, tetapi tidak bergerak mendekat sedikit pun.
"I say, I'm sorry!"
"Ah ...," kataku sambil mengangguk paham.
Lalu aku berdiri, menghampiri lelaki yang tengah menekuk wajahnya. Kini kami kembali duduk bersisian. Takiga menautkan kesepuluh jemari. Terkadang juga memainkan anak-anak rambutnya yang menghalangi pandangan. Dia tampak gelisah. Berbeda denganku yang justru bisa bersikap tenang.
"Let's say, I give you a chance. Tapi, mau berapa lama? Sebentar lagi masa KP-ku selesai, Mas. Apa itu cukup?" tawarku padanya. Lelaki yang sedang memakai kemeja Chanel pagi ini, mengangguk tanpa ragu.
"Dua minggu, tapi kita ketemu setiap hari. Bagaimana?" Alis Takiga terangkat sekilas.
"Hah? Itu gimana ceritanya? Hari Minggu juga? Terus aku nggak ada liburnya dong, Mas?"
"Kamu jadi bakal tinggal di butik, kan?"
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, setiap hari kita bakal ketemu. Aku tinggal loncat juga sudah sampai ke butik," imbuhnya.
Ah, iya juga. Hampir saja aku lupa, kalau mulai hari ini aku bakal tidur di ruang kerja Takiga.
"Ya, udah. Tapi, jangan asal peluk lagi kayak barusan, ya!" Bisa gawat kalau kami terlalu dekat, dalam artian sebenarnya. Aku memang tidak sesuci itu sih, tapi tidak sebebas itu juga. Pokoknya, sebisa mungkin jangan ada kontak fisik berlebihan, deh. Dosa itu kawan.
"Okay. Aku janji. Nggak akan melakukan yang melewati batas tanpa izin kamu. Soal yang tadi, aku minta maaf. Aku nggak kepikiran ke sana. Kebiasaan sulit dihilangkan." Takiga menyengir lebar. Sedangkan aku menyipitkan mata. Mengaku jujur juga akhirnya.
"Oke. Kita deal, ya."
"Thank's, Ra. I will do my best."
Aku tahu betapa menyakitkannya sebuah penolakan. Itulah mengapa, aku bersedia memberi Takiga kesempatan. Masa kerja praktekku tersisa sekitar dua minggu. Itu tidak lama sama sekali. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tiga tahunku yang terbuang percuma untuk satu lelaki yang ternyata tidak pernah menyukaiku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro