Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 - Running Away

"Kamu mau pindahan?"

Itu kalimat pertama yang terucap dari bibir tipis nan menyebalkan milik bosku tersayang, Takiga Ariyo. Aku yang baru bangun tidur, sama sekali tidak terpikirkan jawaban. Mau bilang iya, takut disangka anen-aneh. Kalau bilang bukan, rasanya tidak masuk akal. Sepertinya cuma aku seorang yang pernah membawa dua koper besar hanya untuk menginap selama tiga malam.

"Oh, aku kira mau kabur ke Bangkok. Bawaan kamu heboh banget," kata Takiga lagi begitu melihat gelengan kepalaku.

Dia duduk di sebelah, sengaja menyisakan jarak satu kursi dariku. Lalu, mengeluarkan iPad dari dalam clutch berwarna cokelat tua, yang aku yakin pasti terbuat dari kulit asli. Cara Takiga duduk sangat elegan dan tenang. Berbeda jauh denganku yang apa adanya. Menyandar penuh pada sandaran kursi tanpa repot-repot memikirkan bagaimana tampilanku sekarang.

"Udah sarapan?"

Aku menegakkan punggung, memperbaiki posisi duduk ketika bosku berbicara. "Belum, Mas. Tadi katanya mau sarapan bareng?" tagihku, lalu menguap lebar.

Aku memutar leher, bermaksud ingin meregangkan otot-otot yang kaku hingga suara retakan tercipta. Alis datar milik Takiga sempat naik sekejap, ketika aku mencuri pandang. Sumpah, ya. Seumur-umur, aku tidak pernah secuek ini pada lelaki. Begitu tidak peduli akan dianggap bagaimana, saking patah hatinya.

"Ya, udah ayo. Kamu mau makan di mana?" tanyanya lagi.

"Aku lagi nggak bisa mikir, Mas. Maaf, ya. Untuk hari ini, aku ngikut apa kata Mas Takiga aja."

Takiga memasukkan gawai canggihnya yang baru sebentar diutak-atik ke dalam clutch. Sekilas aku melihat barisan foto-foto produk yang diambil beberapa hari lalu. Mungkin dia lagi memilih hasil jepretan terbaik untuk diperlihatkan pada para investor nanti. Omong-omong, aku baru kepikiran. Kalau bertemu investor itu, harus bagaimana ya. Aku tidak sempat menyiapkan apa-apa. Gawat!

"Mas Takiga!" seruku lantang, sampai membuat lelaki berpenampilan necis ini hampir terlonjak dari kursi. Sadar sudah melakukan kesalahan, aku langsung menutup mulut rapat-rapat dan pura-pura sibuk memainkan ponsel. Takiga menyandarkan punggung bidangnya, kemudian memejamkan mata.

"Ada apa, Mehira?" Pertanyaan bernada rendah yang terdengar seperti sebuah geraman di telinga, sukses bikin aku tak berkutik. Alih-alih melanjutkan pertanyaan, aku malah beringsut menjauh dan merapikan barang-barang yang seharusnya berada di dalam tote bag-ku. Ya, semacam melarikan diri dari amukan atasan berdarah dingin.

Saat sedang memasukkan ponsel, bantal leher, hingga kardigan ke dalam tas, aku malah merasa keheranan dengan sesuatu. Ini kejadian ajaib dan luar biasa. Bisa-bisanya kehadiran Takiga membuatku sejenak lupa pada kenyataan pahit yang baru saja menimpa hidupku.

Tanpa sadar, kepalaku memutar perlahan menuju ke subjek lamunan. Lelaki yang hobi memerintahku ini, sedang fokus menatap layar ponsel. Jemari kurus dan panjang miliknya bergerak cepat menggulir layar. Entah apa yang sedang dia kerjakan. Selalu sibuk setiap saat.

"Kalau udah selesai, kita sarapan dulu," katanya tanpa menengok ke arahku.

"Hah? I, iya. Aku udah selesai, kok." Aku memastikan sisa waktu dengan melirik ke jam tangan magenta kesayangan, sebelum kembali berkata. "Masih ada 1,5 jam lagi sampai waktunya check-in, Mas."

Takiga mengangguk, dan bersiap untuk berdiri. Dia hanya membawa sebuah koper kecil dan clutch berukuran sedang yang mampu memuat semua barang-barang pentingnya. Mendadak aku jadi agak minder. Baru sekarang sadar kalau penampilanku benar-benar terlihat seperti bawahannya. Betulan bos dan asisten. Malah, seharusnya style asisten seorang desainer lebih bergaya daripada pakaian yang kupakai sekarang. Perpaduan sweter Mickey Mouse merah gelap dan celana jins biru tua.

"Kayaknya restoran di sekitar sini belum ada yang buka." Takiga berkata sembari mengedarkan pandangan ke sekitar kami. Sementara aku hanya manggut-manggut supaya terlihat paham.

"Kenapa diam aja?" imbuhnya lagi.

"Maksudnya gimana, Mas?"

"Coba cari tahu restoran mana yang udah buka sekarang, Mehira ...."

"Ya, ampun! Maaf, Mas. Sebentar, aku tanya petugas bandara dulu." Buru-buru kupacu langkah kaki menghampiri seorang petugas kebersihan berseragam yang berada paling dekat.

Wahai otak, tolong kerja samanya hari ini, ya!

Bersamaan dengan pergerakan kaki yang semakin cepat, benda di saku celanaku terasa bergetar. Aku memelankan langkah, bermaksud memeriksa sekilas sebelum kembali berlari. Nama Faris muncul di layar yang sekarang terang benderang. Dia baru menelepon sekarang. Mungkin dia baru sadar, kalau aku sudah menghilang.

***

"So, kamu udah tahu mau tinggal di mana setelah kita balik dari Bangkok?"

Aku yang sejak tadi serius melamun sambil menatap keluar jendela pesawat, terpaksa menolehkan kepala. Rupanya Takiga masih penasaran dengan kelanjutan ceritaku. Selama 1,5 jam dia menginterogasiku. Mempertanyakan apa alasan aku seperti kehilangan arah hari ini. Niatku yang ingin memanfaatkan waktu untuk belajar demi mempersiapkan pertemuan dengan investor, malah berubah jadi sesi curhat.

Aku juga tidak bisa menolak. Bosku kekeuh ingin memastikan kondisi mentalku sebelum menyerahkan bagian menjelaskan beberapa poin penting dari berkas proposal pada beberapa calon investor nanti. Dan hasilnya, aku tidak lolos ujian. Kata Takiga, berada di dekatnya juga sudah membantu. Malah dia berjanji akan memberiku nilai A+ jika pertemuan besok berjalan lancar.

"Hm... tergantung situasi nanti sih, Mas. Kalau Mas Takiga ngizinin, kayaknya aku mau numpang tidur di butik. Tapi, kalau nggak diizinin, palingan nanti aku cari penginapan murah sekitar butik. Biar irit ongkos."

Ideku barusan membuat kening Takiga berlipat ganda. Dia juga menggaruk-garuk dagu lancipnya yang mulus. Permintaan yang aku ucapkan barusan memang agak merepotkan, sih. Namun, kalau sedang tidak dalam keadaan terdesak, aku juga tidak akan meminta bantuan orang lain. Masalahnya, ini kan di Singapura. Tidak ada satu pun saudara atau kenalanku yang tinggal di sini. Jadi mau meminta bantuan siapa lagi coba?

"Masalah itu ... tapi kamu mau tidur di mananya?"

"Bebas, Mas. Di gudang juga boleh. Asal bisa rebahan sama mandi aja."

"Gudang? Terakhir kali aku cek, barang-barang di sana lagi agak penuh, lho. Mana sebelahan sama toilet. Emang kamu bakal bisa tidur di tempat seperti itu?" jawab Takiga balik bertanya. Kedua alisnya hampir bertautan, menatapku kebingungan. Aku juga sempat tidak yakin, tapi ya sudah. Tidak ada pilihan lain.

Setelah mengembuskan napas pasrah, aku membalas tatapan bosku yang sejak beberapa hari ini tiba-tiba berubah perhatian. "Iya. Yakin, Mas. Ruangan yang nggak dipakai cuma itu aja soalnya. Sebenernya di ruang kerja Mas Takiga masih muat sih, kalau aku bikin partisi gitu. Tapi ya, takutnya nanti jadi ganggu. Mas Takiga kan, kadang suka lembur di kantor. Di gudang nggak apa-apa, kok. Asal gratisan, mah."

Kini aku tersenyum. Memamerkan barisan gigi yang sudah rapi karena memakai kawat gigi bertahun-tahun.

"Okay. Kamu bisa taruh koper-kopermu di gudang, terus tidur di ruang kerjaku. Aku bisa bawa kerjaan ke apartemen, misalnya memang harus lembur. Kamu tenang aja," sahutnya setuju.

"Thank you, Mas. Akhirnya ... aku bisa lega juga," ucapku sungguh-sungguh.

"You're welcome, Ra. Hm ... kalau dipikir-pikir, kisah cintamu ribet juga, ya? Tapi jujur, baru kali ini aku ketemu perempuan kayak kamu."

Perlahan Takiga mencondongkan wajahnya. Membuat pundaknya menempel pada pundakku. Lalu, tangan kanannya mendarat di sandaran tangan yang menjadi pemisah di antara kami. Dahiku mengernyit, tanpa berusaha menjauh.

Lama-lama bosku jadi hobi sekali menebar pesona. Padahal, aku yakin tidak akan mempan padaku. Perasaan tiga tahun tidak mungkin digantikan secepat ini. Malah baru beberapa jam saja sejak Faris mengungkapkan isi hatinya. Entah kapan aku bisa lupa. Atau bisa jadi, tidak akan pernah bisa lupa.

Setelah menyadari situasi juga gelagat mencurigakan Takiga, akhirnya aku memalingkan wajah. Takut terbawa suasana yang berujung khilaf. Takiga pun mengikuti arah pandangku. Kini posisi kami sudah kembali seperti semula. Menghadap ke arah yang seharusnya.

"Perempuan kayak aku itu, maksudnya gimana, Mas?" tanyaku datar, tidak tertarik.

"Yang bisa sebucin itu sama laki-laki, walaupun cintanya bertepuk sebelah tangan. Kok, kamu bisa sih, Ra? Jujur, aku kagum sama kamu," lanjutnya dengan sorot mata berbinar. Seolah aku baru saja menyelamatkan dunia.

Sebentar, ini betulan pujian, kan? Kok, terdengar meragukan, ya?

"Selama aku berinteraksi dengan yang namanya perempuan, belum pernah satu kali pun aku ketemu dengan yang sebegitu setia dan mau memperjuangkan perasaannya sampai segigih ini. Kamu doang, Ra!" serunya makin heboh.

Kepalaku mengangguk beberapa kali untuk merespons setiap kalimat yang diucapkan Takiga. Masalahnya, hanya dia seorang yang memuji kegigihanku. Ay Ay, Nadia dan Nuri, malah jadi menghujat keputusanku juga kebodohan Faris yang katanya sudah menyia-nyiakanku, setelah selesai mengasihani.

"Memangnya Mas Takiga belum pernah pacaran?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Pernah, kok." Takiga menjawab sembari menghitung dalam hati dengar kelima jari tangannya. "Lima kali. Tapi, rata-rata putus sebelum satu tahun."

Jawabannya kali ini membuatku tertarik. Apalagi kalau bukan untuk menghujat. Hahaha...

"Pasti karena Mas Takiga playboy, kan?" tebakku tanpa pikir panjang. Senyum menyeringai tercipta, setelah melihat perubahan raut wajah lawan bicara. Bukannya jadi gelagapan, dia malah kelihatan sedih. Waduh, jangan-jangan aku salah bicara.

"Dari mana kamu bisa menyimpulkan kalau aku playboy, Ra?" balas Takiga tanpa mengalihkan pandangannya.

Aku jadi menelan ludah. Lumayan panik. "Hm ... soalnya ... kenapa, ya? Mungkin, karena belakangan ini aku ngerasanya Mas Takiga agak suka tebar pesona gitu, sih. Waktu pemotretan minggu lalu aja, Mas Takiga kayak kelihatan akrab banget sama modelnya. Siapa tuh, namanya? Claire atau Clara, ya. Terus, bahasa tubuh Mas Takiga itu beda. Kayak udah biasa menyentuh perempuan. Contoh terbarunya, beberapa saat lalu. Mas tiba-tiba begini ke aku," kataku sembari mereka ulang yang dilakukan Takiga barusan. Mencondongkan wajah hingga hanya tersisa sejengkal jarak di antara kami berdua.

Dengan lancar aku menyampaikan pendapat. Walaupun status Takiga itu atasanku, tapi anehnya, saat aku bercerita mengenai Faris, dia selalu meresponsnya dengan sangat baik.

"Kamu cemburu?" tanyanya asal, saat aku hendak meneguk minuman dari dalam botol plastik. Tenggorokanku sampai nyeri karena tersedak. Dasar bos menyebalkan!

"Aku? Cemburu?" tanyaku seraya memutar bola mata. "Atas dasar apa Mas bilang begitu? Please deh, Mas. Aku tuh, baru patah hati sama lelaki yang udah aku suka pakai banget selama tiga tahun lamanya. Kalau semudah itu aku move on, ngapain aku sampai kerja praktek ke sini? Nggak mungkin aku udah suka sama laki-laki lain hanya dalam hitungan jam setelah ditolak. Memangnya aku apaan?" balasku berapi-api.

Takiga yang awalnya mau membalas perkataanku, langsung mengurungkan niat. Lelaki yang masih saja wangi ini meminta maaf lewat gestur kedua tangan, lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Namun, tatapan matanya tidak juga beralih. Seakan menunggu hingga emosiku mereda, baru kembali berbicara.

Akan tetapi, karena aku terlalu lama diam Takiga jadi ikut membisu. Hampir sepuluh menit kami tidak saling berbicara. Pikiranku sedang dibuat kalut oleh adegan demi adegan yang terjadi kemarin. Entah kalau Takiga. Mungkin dia juga lagi memikirkan para mantan pacarnya.

"They cheated on me," kata Takiga pelan.

"Hah? Seriusan, Mas?"

Aku menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa lelaki penuh percaya diri dan suka memerintah ini sampai tertipu? Bahkan selama aku mengenalnya, Takiga itu tipe orang yang sangat mendetail. Dia bisa tahu kalau ada yang tidak beres pada pekerjaanku.

Tiba-tiba, aku jadi merasa prihatin. Ditambah dengan ekspresi wajahnya yang sekarang terlihat begitu menyedihkan. Seakan sedang terbayang masa lalu yang kelam dan penuh air mata. Aku tahu betul rasanya. Dikecewakan, diberi harapan palsu. Bahkan, lelaki yang sangat aku suka akan menikah dengan kakak sepupuku sendiri. Hah! What a day.

"Jadi, seorang Takiga Ariyo juga bisa ditipu sama perempuan, ya? Aku kira Mas Takiga punya radar khusus. Soalnya, setiap kali aku ngelakuin kesalahan, pasti Mas Takiga langsung tahu," celetukku sungguh-sungguh.

Mendengar ucapanku barusan, Takiga jadi menoleh ke arahku.

"Kamu itu ... special case, Ra."

"Hah? Jangan bercanda terus deh, Mas," sahutku sambil menepuk kencang lengannya. Namun, Takiga tidak menjawab. Dia masih menatapku, sebelum akhirnya memalingkan wajah.

Barusan Takiga terlihat serius banget. Wah, jangan-jangan tanpa sadar aku sudah bikin dia jatuh hati, pula. Gawat!

"Kena deh, kamu! Hahaha ...." Suara tawa Takiga segera mematahkan pikiranku. Sampai lama-lama tawa Takiga makin mengeras. Menggelegar ke seluruh area economy class tempat aku dan dia duduk sekarang.

DASAR TAKIGA SIALAN!!! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro