27 - Love Letter
Faris sedang duduk di kursi makan ketika aku melangkah masuk ke dalam apartemen. Meski hanya diterangi cahaya bulan yang menembus dari jendela, aku bisa melihat pergerakan kepalanya yang langsung menoleh ke arahku. Faris bangkit, lalu menyalakan lampu dan terus berjalan hingga tatapan kami bertemu.
Bukannya kabur, aku malah diam mematung. Seolah menyambut kehadirannya yang ternyata masih kuinginkan. Padahal aku sudah sengaja mengulur waktu hingga baru pulang hampir tengah malam. Berharap dia sudah tidur ketika aku datang, tetapi nyatanya Faris masih menunggu.
Perlahan dia kembali melangkah. Niatnya yang hendak meraih lenganku, segera terhenti setelah melihatku menggeleng cepat dan mundur selangkah untuk memperlebar jarak yang sempat terkikis.
Faris mendesah lemah. "Ra, sekali lagi aku minta maaf, karena udah buat kamu salah paham selama ini. Maaf banget, Ra. Aku nggak bermaksud seperti itu," ucapnya pelan, hampir berbisik.
Aku hanya mampu menjawab dengan sebuah anggukan lesu. Napasku seperti tersangkut di tenggorokan. Mengatakan satu kata saja, tampaknya bisa meruntuhkan pertahanan yang sedang kupertahankan sekuat tenaga.
"Aku tidur dulu, Kak," pamitku akhirnya.
Ayunan langkah yang sedikit gontai membawaku perlahan. Melewati sosok lelaki yang tengah menatapku sedih, hingga akhirnya tiba di depan pintu kamar. Tempat teraman bagiku di sini. Tempat di mana aku bisa melepaskan emosi sesuka hati, tanpa takut dilihat orang lain.
Hari Sabtu yang semula aku harap akan bisa menjadi awal dari kisah bahagia, kini berakhir sudah. Embusan napas panjang mengalir bersamaan dengan kembali menetesnya cairan bening yang seharian ini aku keluarkan. Ya, aku menangis lagi. Untuk pertama kalinya, di Minggu dini hari.
Cukup lama aku terisak tanpa suara, dalam keadaan terduduk di lantai sembari memeluk dan menenggelamkan wajah di antara kedua lutut. Pundakku masih bergetar hebat saat lelah mulai menerpa. Semalaman berada di luar ruangan, ditambah kondisi hati yang sedang patah, berhasil memperburuk kondisiku.
Sembari berusaha menahan laju isakan, aku putuskan untuk mengambil selembar kertas dari dalam laci meja belajar. Entah berapa menit yang kuhabiskan demi merangkai kata. Hingga pulpen yang kupegang mulai bergerak pelan. Menuliskan setiap jengkal isi hati yang selama ini aku rasakan.
Bisa dibilang, ini adalah surat cinta sekaligus ucapan perpisahanku pada kisah cinta dalam diam yang terjadi sejak tiga tahun lalu. Ya, setidaknya aku ingin mencurahkan seluruh perasaan yang mengendap. Dengan harapan mampu meringankan rasa kecewa dan sakit yang tengah menyiksa.
Sesaat setelah selesai mengemasi semua barang-barang, alarm waktu salat subuh di ponsel berbunyi. Keputusanku sudah bulat. Aku harus pergi dari sini. Jika terus berada di dekat Faris, sama saja aku membunuh diriku sendiri walau secara perlahan.
Setidaknya aku punya waktu tiga hari untuk memikirkan langkah selanjutnya. Yang paling utama tentu mencari tempat yang bisa kutinggali setelah kembali dari Bangkok. Mungkin aku bisa menumpang tidur di butik, atau di ruang kerja Takiga. Tidur di ruang penyimpanan pun, aku tidak keberatan. Selama bisa mandi dua kali sehari. Semoga saja bosku mengizinkan. Kalau tidak, baru kita pikirkan lagi jalan keluar yang lain.
Dua buah koper besar sudah berhasil aku pindahkan ke depan pintu apartemen tanpa menimbulkan banyak suara. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan semuanya, mataku beredar lambat ke sekeliling ruangan. Kenangan-kenangan selama tinggal di sini segera menari-nari di dalam kepala. Rasanya hangat sekaligus menyesakkan di saat bersamaan.
Sesungguhnya aku masih tidak rela. Namun, aku tidak punya pilihan lain. Mulai saat ini, aku harus melindungi diriku sendiri. Sudah cukup. Kini saatnya aku menata hati dan mengusir nama Faris dari dalamnya.
Well, selama tinggal, Faris...
Sampai bertemu lagi, mungkin di hari pernikahanmu nanti.
**
Dear Faris Mahesa ...
Saat pertama kali kamu muncul melewati pintu kelas, aku langsung jatuh hati.
Sejak hari itu, duniaku menjadi penuh warna.
Kamu adalah alasanku tersenyum, ketika hariku sedang buruk.
Memikirkanmu bisa membuatku tertawa, di saat tidak ada yang lucu.
Kehadiranmu memang membuat hari-hariku di tahun pertama kuliah tidak selalu indah, tetapi setidaknya aku melewatinya dengan penuh semangat.
Kamu membuatku menyukai hari Selasa.
Kamu membuatku selalu mengingat sore itu, setiap kali melihat cat air.
Kamu juga membuatku merasakan perasaan asing yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Rindu yang teramat sangat serta keraguan yang begitu menyiksa.
Namun, aku tetap ingin mengucapkan terima kasih banyak karena telah hadir ke dalam hidupku tiga tahun yang lalu.
Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk merasakan perasaan yang begitu indah.
Terima kasih karena telah menjadikanku wanita pemberani dan selalu optimis.
Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk melihat senyuman manis itu lagi, sebelum mengakhiri perasaan ini untuk selamanya.
Melupakanmu pastilah sulit, tapi aku percaya pasti aku bisa melewati semuanya.
Tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja.
Sekali lagi, terima kasih banyak, Kak Faris...
Mehira
**
Taksi yang kutumpangi berhenti di area Terminal 1 Bandara Changi. Lebih tepatnya di depan pintu 1 keberangkatan yang masih sepi. Hanya segelintir orang yang terlihat. Maklum, sih. Sekarang masih pukul 5 pagi. Aku sengaja pergi sebelum Faris dan Farhan bangun. Mereka pasti curiga kalau melihatku pergi dengan membawa kedua koper, padahal hanya pergi tiga malam.
Petugas yang berjaga di depan pintu tampak sedikit mengantuk. Saat memerika tiket pesawatku tadi, matanya berkedip beberapa kali. Persis denganku yang sudah mengerjap tanpa henti demi mempertahankan kesadaran. Untungnya, kakiku masih bisa bergerak tenang seperti tidak ada beban. Menyeret dua buah koper di kiri dan kanan tanpa kelimpungan.
Tanpa kesulitan berarti, aku sudah berhasil menemukan tempat yang cocok untuk memejamkan mata. Sebetulnya di bandara ada area khusus untuk beristirahat sebentar. Namun, karena sudah tidak kuat, kakiku berhenti sendiri di sisi sebuah kursi panjang dekat barisan restoran cepat saji.
Kesadaranku tinggal beberapa persen. Kalau sampai tidak segera duduk dan memejamkan mata, bisa-bisa aku pingsan lagi seperti waktu pertama kali menginjakkan kaki di depan apartemen Faris.
Hah ... Mengapa rasanya sakit sekali membicarakan dia?
Setelah mengatur letak koper dan mengeluarkan bantal leher berwarna cokelat muda dari dalam tas, aku merebahkan tubuh sepenuhnya. Baru beberapa detik mengistirahatkan mata, aku langsung teringat belum mengabarkan Takiga kalau sudah tiba lebih dulu di bandara. Bisa gawat jika dia nekat menjemputku ke apartemen.
Buru-buru kuketik pesan singkat berisi di mana posisiku sekarang, tanpa embel-embel selamat pagi atau apalah itu. Mood-ku sedang tidak bisa direpotkan dengan hal yang tidak perlu.
Kemudian, belum sampai semenit keluar dari aplikasi pengirim pesan, ponselku sudah berdering nyaring.
Takiga is calling.
Sebenarnya aku sedang sangat malas berbicara, tetapi aku tidak punya pilihan selain mengangkat telepon dari bosku. Sembari menutup mata dan meletakkan sebelah tangan di atasnya, kutarik napas panjang sebelum memulai pembicaraan.
"Kamu udah di bandara jam segini?" tanya Takiga. Selalu tanpa bilang salam. Tipikal bos hobi semena-mena.
"Iya, Mas. Aku mau tidur dulu. Ngantuk parah." Aku menguap lebar satu kali. Keadaan mataku juga sudah berair seperti sedang menangis.
"Okay. Kalau gitu, aku berangkat sebentar lagi."
"Eh, jangan, Mas. Pesawat kita masih jam 10, kok. Santai aja. Berangkat jam 7 juga kayaknya masih aman," anjurku, bermaksud menghasut. Membayangkan harus bertemu Takiga lebih cepat, langsung membuat rasa kantukku hilang.
Jangan ke sini dulu, dong. Gimana mau tidur tenang kalau dia ada di sebelah?
"Kita bisa sarapan bareng dulu, Ra. It's okay. I'm all ready. Tinggal naik taksi. See you soon. Bye."
Takiga kali ini menjadi pihak yang lebih dulu memutuskan panggilan. Dan, yang membuatku semakin ngeri adalah nada bicara bosku yang mendadak jadi lembut sebelum menutup telepon. Sangat berbeda dari biasanya. Prasangka buruk segera memenuhi kepala. Namun, yang bisa kulakukan sekarang hanya berdoa dan pasrah pada kehendak Yang Di Atas.
Semoga saja hari ini bosku yang bernama Takiga Ariyo, tidak merepotkan dan banyak maunya, Ya Allah. Amin...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro