23 - Faris dan Takiga
Setelah salat subuh, aku tidak tidur lagi. Melainkan langsung membersihkan apartemen dengan penuh semangat. Faris dan Farhan tadi sempat bangun untuk mengambil air wudu, lalu kembali ke dalam kamar.
Oh, ada kejadian lucu yang terjadi barusan. Faris yang baru keluar dari kamar dengan mata yang masih tertutup setengah, sempat terkejut sampai melongo beberapa saat ketika melihatku sedang menyapu ruang keluarga saat hari masih gelap. Dia langsung menawarkan diri untuk mengambil bagian mengepel nantinya, tapi tentu saja aku tolak.
Tekadku sudah bulat. Hari ini aku akan memperlihatkan sisi wife material, yang belum sempat aku tunjukkan dengan serius sebelumnya. Untuk sekarang, mulai dari membersihkan rumah dan memasak makanan untuk sarapan. Akan aku buktikan pada Faris, kalau Mehira Andani adalah perempuan ideal!
Dengan ditemani oleh lagu-lagu yang aku putar lewat aplikasi Spotify, kegiatan pertamaku pun usai. Sekarang tinggal mengepel lantai, mandi, lalu masak nasi goreng ayam kesukaan Faris. Pukul tujuh pagi badanku sudah wangi. Dengan masih mengenakan pakaian rumah dan kerudung instan, aku memulai agenda memasak. Tidak lama, Faris keluar dari kamarnya. Seperti biasa, senyum manisku tentunya langsung mengembang.
"Morning, Ra! Kamu capek, nggak? Mau aku aja yang bikin sarapan?" tanya Faris sembari membuka kulkas untuk mengambil minuman paginya.
Faris suka banget minum susu putih dingin pakai gula. Katanya enak. Aku sempat mencoba sedikit, dan menurutku rasanya biasa saja. Bukan seleraku, sih. Kesukaanku itu minuman yang ada kafeinnya. Hehehe...
"Nggak usah, Kak. Aku belum sempet masak yang proper dari kemarin. Jadi pagi ini aku aja yang siapin semua. Kak Faris sama Farhan tinggal makan aja," tolakku penuh semangat.
"Ya, udah. Nanti panggil aja kalau udah beres. Aku mau lanjut ngerjain pekerjaanku dulu. Makasih sebelumnya, ya." Kemudian Faris berbalik arah dan mulai jalan menjauh. Aku pun kembali memotong-motong daging ayam tanpa tulang yang sudah aku keluarkan dari dalam kulkas tadi subuh.
"Eh ya, Ra," panggil Faris tiba-tiba.
Ternyata dia berputar arah. Kembali ke posisi semula. Berdiri di dekat kulkas dengan jarak dua langkah dariku. Karena panggilan serta raut wajahnya yang janggal, aku terpaksa menghentikan kegiatan memotong ayam. Sembari mencuci dan mengeringkan tangan, aku menunggu Faris kembali melanjutkan perkataannya. Palingan dia mau menawarkan bantuan lagi, sih. Dia pasti merasa tidak enak melihatku kerja bakti sendirian.
"Soal yang kemarin ... maksudku itu ...." Faris kembali terdiam.
Aku bisa melihat wajahnya diselimuti keraguan. Entah keraguan akan hal apa. Semoga saja, bukan alasan yang menjadi ketakutanku sejak kemarin. Dia mengambil napas panjang sebelum kembali mengeluarkan suara. Perilaku misteriusnya ini membuat keringat dingin mulai melapisi kedua telapak tanganku.
Jangan sekarang Faris. Jangan bilang sekarang. Please ...
"Teh Iraaa! Farhan laparrr! Udah selesai masaknya?"
Suara kencang yang bersumber dari dalam kamar, membuyarkan semuanya. Faris segera berbalik tanpa mengatakan apapun. Sedangkan aku, mengambil bawang merah yang banyak dan mengupasnya, agar lebih mudah untuk melampiaskan kesedihan.
*
Kejadian pagi itu, berujung pada aksi saling mendiamkan yang terjadi di antara aku dan Faris. Canggung serta rasa tidak enak, sudah menyelimuti hampir lima hari terakhir. Meski masih saling menyapa setiap pagi dan malam, atau setiap kita tidak sengaja berpapasan, tapi tetap saja. Semuanya telanjur berubah.
Seperti sekarang. Sejak kegiatan sarapan kami dimulai hingga sudah setengah jalan, Faris sama sekali tidak mengajakku berbicara. Berbanding terbalik dengan adiknya yang tidak berhenti bercerita tentang rencana pesta ulang tahunnya yang akan diadakan dua hari lagi. Padahal hanya diadakan di apartemen saja, tapi hebohnya minta ampun.
"Pokoknya Farhan minta kado ya, Teh! Jangan lupa, lho! Kalian berdua beli barengan aja. Farhan besok mau pergi ketemu temen yang lagi liburan ke sini juga," serunya penuh semangat.
Awalnya aku sempat malas saat mendengar dia meminta hadiah. Akan tetapi, ketika bocah ini mengutarakan idenya, wajahku langsung semringah. Ini kesempatanku untuk pergi berdua sama Faris yang selama ini belum juga kesampaian. Semoga saja Faris bisa.
"Teh Ira setuju aja, sih. Kak Faris gimana?" tanyaku hati-hati, tapi penuh harap.
Kepala Faris terangkat ketika aku selesai mengucapkan pertanyaan. "Boleh. Kebetulan besok aku nggak ada acara," balasnya sambil melihat lurus ke arahku. Ditatap saja sudah bisa bikin aku gugup. Memang dahsyat sekali pengaruh Faris terhadap hatiku yang rapuh ini.
"Kamu mau pergi ke mana, Han? Mau sekalian Aa anterin aja besok?" lanjut Faris, yang kini tengah menatap adik bungsunya.
"Itu, A. Temen baik Farhan di kelas, liburan ke sini juga. Dia ngajak ketemuan besok. Kita mau ke Sentosa," balasnya agak kikuk.
Kedua mataku jadi memandangi bocah itu dengan mata yang menyipit. Kelopak mata Farhan melebar. Dia memalingkan wajah ke arah samping dan menolak membalas tatapanku. Aku jadi curiga. Jangan-jangan, nih bocah mau disamper sama pacarnya, lagi. Kagok begitu mukanya.
Hahaha... Ketahuan dia.
Farhan mulai gelagapan. Kentara sekali ingin menghilang dari hadapanku.
"Udah, pokoknya besok Teh Ira sama A Faris pergi berdua aja. Cariin kado yang mewah buat Farhan yang ganteng ini, ya!"
Isi mulutku hampir menyembur keluar ketika Farhan selesai berbicara. Untung saja tinggal sedikit. Jadi bisa langsung aku telan dengan bantuan segelas air. Kalau masih banyak kan, gawat. Mau ditaruh di mana mukaku?
"Besok jam sepuluh pagi jalannya ya, Ra," sahut Faris padaku.
Entah dia benar-benar ikhlas atau tidak. Dari gelagat dan cara bicaranya, tidak ada yang mencurigakan. Mungkin benar kata para Ukhtis. Faris lagi kebingungan dengan masuknya aku ke dalam hidupnya.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Hatiku menghangat. Membayangkan kalau besok bakal berduaan sama pujaan hati dan bisa mengobrol sepuasnya. Ah, jadi tidak sabar. Mendingan aku pakai baju apa, ya?
*
"Maaf, Mas. File hasil pemotretan udah saya email, ya. Tinggal aku bikin katalognya setelah Mas Takiga pilih foto-foto yang mau dipakai," kataku agak pelan, takut mengganggu konsentrasinya. Kepala yang sejak pagi hanya terarah ke layar laptop, mulai terangkat ke arahku.
"Oke." Hm, pendek sekali jawaban bosku ini. Bahkan berterima kasih saja tidak.
"Kalau begitu, saya izin makan siang dulu ya, Mas. Permisi."
Setelah kepala Takiga mengangguk sekilas, aku berbalik dan hendak berjalan ke arah pintu. Di pikiranku sudah terbayang sepiring nasi goreng dari restoran dekat butik yang akan menjadi menu makan siangku hari ini. Entah Takiga mengenal pemilik restoran itu atau tidak, tapi kupon makan siang yang diberikan olehnya hanya bisa dipakai di satu restoran saja, yang kebetulan cuma berjarak sekitar seratus meter dari butik.
Meskipun menu makanannya jadi agak terbatas, tetapi untung saja rasa makanan yang dijual di sana enak semua. Jadi tidak membuatku bosan walaupun sudah makan di tempat yang sama beberapa minggu terakhir.
Dengan penuh semangat, kakiku melangkah menuruni setiap anak tangga. Sebelum keluar dari butik, aku menghampiri Siti lebih dulu. Gadis muda keturunan Melayu yang bekerja sebagai SPG butik. Bisa dibilang, hanya Siti teman mengobrolku selama bekerja. Ada sih, para pegawai yang bekerja di workshop lantai dua, tetapi aku belum sempat berkenalan lebih jauh. Hanya sekadar memperkenalkan nama dan asal saja waktu itu.
Begitu keluar, aku langsung disambut dengan udara yang cukup panas dan lembab. Hujan baru saja reda. Genangan air masih memenuhi jalanan aspal yang pas untuk dua mobil ini. Di bagian trotoar juga ada beberapa. Sesekali aku harus melompat, supaya sepatuku yang terbuat dari bahan kanvas, tidak basah terkena air.
Tidak sampai lima menit, aku sudah masuk ke area utama restoran. Barisan kursi kayu yang dicat warna putih dan kuning segera memenuhi pandangan. Suasana restorannya tidak begitu ramai, baru beberapa meja saja yang ditempati pelanggan.
Aku berjalan pasti ke arah Bu Mun, yang sudah melihat dan bersiap menyapaku dengan logat sundanya. Usut punya usut, ternyata Bu Mun ini asli Karawang. Beliau sudah bekerja di restoran ini selama lima tahun.
"Halo, Neng Ira. Mau makan apa siang inih?" sapa wanita paruh baya itu sambil tersenyum. Senyumnya itu hangat. Terkadang bikin aku teringat sama Mama.
"Halo juga, Bu Mun. Aku siang ini pesen nasi goreng spesial. Tanpa cabe, yah. Minumnya ... es teh manis aja, deh. Nuhun, Bu Mun."
"Oke, siaplah. Kertas voucher-nya ada?"
Aku baru teringat belum mengeluarkannya dari dalam dompet.
"Oh, iya. Ini, Bu. Nuhun, ya."
Setelah mendapat anggukan dari Bu Mun, aku berjalan menuju meja dekat jendela yang menghadap ke jalan raya. Di sekitar sini memang tidak terlalu ramai. Biasanya menuju sore hari, baru bermunculan para turis atau penduduk asli Singapura yang ingin mengakhiri hari dengan menongkrong di kafe-kafe yang tersebar hampir di seluruh area Holland Village. Tidak lama setelah duduk manis, aku mulai termenung sambil menopang dagu dengan sebelah tangan.
"Neng Ira." Panggilan Bu Mun segera membuatku menegakkan punggung.
"Iya, Bu?"
"Inih, barusan Mas Takiga telepon saya. Katanya nitip tolong dibawain makan siangnya, gitu. Inih, Neng," ucap Bu Mun sembari meletakkan plastiknya di atas meja.
"Oh, ya udah, Bu. Nanti saya bawain sekalian setelah beres makan," jawabku masih santai. Namun, wajah Bu Mun berubah kebingungan. Aku jadi penasaran apa penyebabnya.
"Kenapa, Bu? Kok, mukanya bingung begitu?"
"Ini, Neng. Mas Takiga pesen, dibawain sekarang juga, katanyah. Nasi goreng punya Neng Ira juga udah sayah bungkus sekalian." Bu Mun melirik ke arah plastik putih berukuran sedang yang sudah diam manis di hadapanku. Kali ini aku yang kebingungan. Pasti sekarang dahiku sedang berlipat-lipat.
Perasaan tadi Takiga tidak mengatakan apa-apa, deh. Aku curiga, sikap suka seenaknya muncul lagi hari ini. Padahal aku sudah sempat optimis, kalau dia lagi waras. Sebab sejak pagi kerjaannya hanya diam menatap laptop sembari sesekali bersenandung. Aku pikir dia lagi bahagia, makanya tidak menyusahkan. Eh, tahunya. Boro-boro.
Aku menarik napas, lalu berusaha tersenyum pasrah. "Ya udah, Bu. Saya langsung balik ke butik kalau gitu. Nuhun ya, Bu Mun."
"Sama-sama, Neng Ira. Hati-hati di jalan."
Dengan gerakan super malas, aku terpaksa kembali ke butik lebih cepat. Hah, bayangan makan siang sendiri tanpa gangguan, sirna sudah. Kalau sudah begini, biasanya Takiga suka meminta aku untuk makan di meja.
Setelah menjadi asistennya selama dua minggu, aku sudah tahu kalau bosku itu kadang agak tidak mandiri. Gayanya saja mau menembus kancah internasional, tapi kalau makan tidak suka sendirian. Aneh, bukan? Alasannya sih, butuh teman diskusi. Palingan, dia tidak mau rugi memperkerjakan aku. Huh.
"Lho? Mbak Ira, kok udah balik lagi? Perasaan baru lima belas menit yang lalu perginya?" tanya Siti keheranan. Aku hanya meringis sekilas, sambil mengangkat kedua bahu. Wajah masamku pasti sudah bisa membuat Siti paham. Bos kita kan, sama. Sedikit banyak Siti tahu karakter Takiga.
"Aku ke atas dulu, ya. Nganter makanan. Ntar balik lagi."
Setelah Siti mengangguk, aku melanjutkan perjalanan ke lantai tiga. Ke tempat lelaki bermata sipit yang menyebalkan itu berada. Posisi duduk Takiga belum berubah ketika aku masuk ke dalam ruangan. Yang berbeda hanya isi gelas kaca transparannya yang sudah habis. Juga alunan musik bertempo pelan, yang aku tidak tahu siapa penyanyinya.
"Ini makanannya, Mas. Permisi," kataku tanpa basa-basi.
"Thanks. Kamu mau makan di mana?" tanyanya.
"Makan di bawah, Mas. Sama Siti," jawabku pendek. "Aku permisi dulu, ya Mas. Nanti jam istirahatnya keburu habis." Kakiku sudah benar-benar mau melangkah untuk memutar, tapi panggilan Takiga membuatku berhenti bergerak.
"Ira, selesai makan, tolong cariin tiket pesawat ke Bangkok untuk hari Minggu pagi. Pulangnya hari Rabu sore. Barusan aku dapat undangan Fashion Show dari salah satu desainer kenalan. Sekalian aku mau ketemu orang juga di sana," perintah Takiga.
Seketika senyumku tercipta sangat lebar. Terbayang kalau dari hari Senin sampai Rabu aku bisa rebahan di kamar, atau minimal bisa masuk santai karena bosku tidak ada. Asyik!
"Kenapa senyum-senyum? Sana pergi. Dua puluh menit lagi jam istirahat kamu habis," imbuhnya ketus. Tanpa disuruh juga aku mau pergi, kali.
Dengan sedikit membungkuk penuh hormat, aku pamit lalu keluar dari ruangannya. Meski agak kesal, tapi hatiku berbunga-bunga sekarang. Tiga hari kerja bebas tanpa disuruh-suruh Takiga! Wow! Amazing!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro