Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 - Faris is The Best!

Beberapa hari terakhir, Takiga selalu menahanku di butik dengan banyak alasan. Mulai dari tiba-tiba memberi tugas untuk mengambil alih bagian mendesain model pakaian, sampai memilih kain dari berlembar-lembar sampel yang dikirim khusus dari Jakarta.

Mataku juga sempat jereng karena terus menatap layar laptop demi mencari tahu model pakaian dan warna-warna yang akan trend tahun depan. Mana hasil gambaranku pas-pasan. Alhasil, Takiga menyuruhku revisi dan terus revisi. Bahkan, sebelum pulang tadi dia memintaku membawakan lima belas sketsa lain yang harus ada di mejanya besok siang!

Hah. Memikirkannya saja bikin aku ingin terbahak keras. Bukan karena bahagia, tapi karena frustrasi. Dia kira aku Bandung Bondowoso apa? Bikin satu dalam waktu tiga puluh menit saja sudah alhamdulillah. Ini dia meminta belasan. Sama saja memintaku tidak tidur semalaman kalau begitu caranya.

Dia sih, enak. Tinggal jalan beberapa langkah, sudah sampai di tempat tidur. Orang tempat tinggalnya di gedung sebelah. Kalau aku? Kudu gonta-ganti MRT sama jalan kaki lima ratus meter baru sampai apartemen. Kadang juga naik taksi kalau sudah kemalaman, seperti barusan. Namun, yang begini ujung-ujungnya jadi menyita jatah uang jajan. Padahal aku sudah berencana mau hidup irit. Jadi terancam gagal, deh.

Takiga memang sedang gencar merancang koleksi terbaru untuk diperlihatkan kepada para investor bulan depan. Sebelumnya aku sudah tahu, kalau menjadi seorang desainer tanpa nama besar sangatlah tidak mudah. Namun, baru kali ini aku melihat perjuangan itu secara langsung. Terlebih, tindakan Takiga itu bisa dibilang nekat. Dia baru debut dua tahun, tapi sudah berani merambah kancah internasional. Meskipun Singapura hanya negara kecil, tapi persaingan antar desainernya tetap tidak main-main. Sisi ambisiusnya itu terkadang membuat aku kagum sekaligus tidak habis pikir.

Pukul setengah dua belas malam, aku baru menginjakkan kaki di apartemen. Suasana sudah sepi dan gelap. Sepertinya Faris dan Farhan sudah terlelap. Rencana mengakrabkan diri dengan Faris sembari jalan-jalan cantik, sirna sudah. Yang kulakukan hanya kerja, kerja dan kerja! Bahkan, sepertinya sudah dua hari ini aku bertemu Faris ketika sarapan saja.

Tubuh berkeringat dan bau masam akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di sofa abu gelap dengan tiga buah bantal di atasnya. Sebetulnya aku merasa tidak enak rebahan di sofa sebelum mandi, tapi tenagaku benar-benar ludes. Aku sangat kelelahan. Untuk berjalan ke kamar saja sepertinya aku tidak mampu. Sembari menutup kedua mata dengan lengan kanan yang aku letakkan di atas kening, tarikan napas berangsur teratur. Kesadaranku perlahan menurun. Letih memang selalu sukses membuatku terlelap.

"Ra, jangan tidur di situ. Pindah ke kamar, gih."

Aku tersentak, ketika suara Faris tiba-tiba terdengar. Bayangan samarnya yang tengah menatapku adalah hal pertama yang memenuhi pandangan. Meski kepala terasa sakit sekali, aku mencoba membuka mata, lalu bangun untuk duduk di sampingnya.

"Baru pulang?" tanyanya seraya melirik ke arah jam dinding. Aku mengangguk lemah. Berusaha tersenyum.

"Capek, Ra?"

"Banget."

"Ada yang bisa kubantu? Kebetulan aku lagi nggak banyak project sekarang."

Tawaran Faris terdengar sangat menggiurkan. Dia memang jagonya menggambar manusia. Apa aku memintanya menggambar beberapa sketsa, ya?

"Hm ... beneran, Kak?"

Dia mengangguk yakin. "Kan aku udah bilang. Kalau butuh bantuan apa-apa, bilang aja, Ra."

Setelah mengamatinya sungguh-sungguh, aku memutuskan untuk mengikuti kata hati. Ini kesempatan bagus untuk pendekatan. Membayangkan bakal begadang berdua Faris membuat jantungku deg-degan. Kedua sudut bibirku terangkat tipis. Berbarengan dengan beterbangannya kupu-kupu di perut yang mendadak terasa penuh.

Aku meraih tas yang tergeletak di lantai. Beberapa lembar kertas concorde ukuran A4, berpindah tempat jadi di pangkuan. Faris mengambil lembar teratas dan mengamati hasil gambaranku. Dia sampai membetulkan kacamata. Antara kaget melihat kemampuanku yang sudah meningkat atau malah belum ada kemajuan sama sekali.

Duh, jadi takut.

"Gambar kamu udah mendingan. Better than two years ago." Hah, syukurlah. "Nggak kerasa, ya. Waktu cepat banget berlalu," kata Faris pelan. Raut wajahnya berubah sendu. Kemudian, kelopaknya melebar. Dia menoleh cepat. Membuatku hampir terlonjak, karena ulahnya yang secara instan mengikis jarak di antara kami berdua.

Pikiranku langsung ternoda. Kukira Faris mau itu, eh, tahunya dia malah mengomel tanpa henti. Bersungut-sungut, sembari melipat kedua lengannya.

"Ra, ngomong-ngomong si Takiga tega banget, sih. Lama-lama aku kesel, lho. Dia lupa apa, kalau kamu itu masih mahasiswa yang baru mulai magang? Bukan asisten profesional yang dibayar mahal buat jadi babunya?" celoteh Faris serius dan ketus. Matanya memang tidak lagi menatapku, tapi aku bisa tahu dia benar-benar kesal dengan keadaan.

"Ya ... habis mau gimana lagi, Kak. Asistennya cuti melahirkan. Tadinya Mande yang bakal ngegantiin, tapi karena dia batal ke sini, jadi tinggal aku satu-satunya kandidat. Takiga lagi sibuk banget, Kak. Beberapa hari ini, kerjanya nego sama investor di telepon terus. Dahinya tuh, sampai berkerut-kerut kalau lagi ngomong serius. Kalau pagi, pasti matanya merah kayak kurang tidur. Dia juga suka lupa waktu, sampai nggak ingat makan. Kalau nggak aku ingetin makan sama minum, mungkin dia bisa puasa tiap hari. Kasihan banget pokoknya," curhatku panjang lebar.

Entah aku salah lihat atau tidak, tapi Faris sempat mendengkus sebelum memalingkan wajahnya. Wah, ada apa ini? Jangan-jangan, dia cemburu lagi. Hehehe...

"Oh... Kamu mau minta bantuan apa jadinya? Gambar sketsa kayak begini? Atau apa?" tanyanya tanpa merespons curhatan.

"Eh, hm. Iya, Kak. Sketsa perempuan pose bebas. Polos aja tanpa pakaian. Nanti aku yang gambar model bajunya. Nggak usah diarsir. Rambutnya digaris kasar aja."

Faris mengangguk singkat. "Oke. Nanti aku gambarin. Sekarang mendingan kamu mandi dulu aja, terus istirahat. Besok subuh baru gambarin bajunya. Kamu butuh sketsa berapa banyak? Lima?"

"Bukan, Kak," jawabku seraya menggeleng pelan. Faris mengangkat alisnya. "Lima belas."

"APA?" Faris memekik, lalu bengong. Saking kagetnya, dia sampai kesulitan menelan ludah. Apa permintaanku keterlaluan, ya?

Buru-buru kuralat permintaan. "Lima aja deh, Kak. Sisanya biar aku kerjain habis mandi."

"No, no," tolaknya keras. "Kamu meragukan kemampuanku?"

Aku menggeleng. "Bukan gitu. Aku takut ngerepotin banget. Sekarang udah tengah malam, Kak. Masa aku enak-enak tidur, Kak Faris malah begadang ngerjain pekerjaanku?"

"Kalau gitu, kita begadang bareng aja. Cepetan mandi, gih. Kamu asem, Ra."

Sontak aku mengendus cepat kerudung juga ketiak.

Ya, ampun! Ternyata aroma kecutnya menguar betulan. Kukira cuma perasaan saja.

Aku langsung berdiri. Menggeser posisi supaya agak berjauhan dari Faris. Sementara lelaki berwajah ceria itu sedang berusaha keras menahan tawanya. Sial!

"Aku mandi dulu, Kak. Itu, kertas sama pensilnya ada di tas. Ambil aja, ya. Permisi," pamitku sebelum berlari ke kamar untuk mengambil baju ganti lalu berjalan cepat ke arah kamar mandi.

Faris masih duduk di sofa. Namun, tangannya sudah bergerak aktif sembari menggenggam pensilku. Aku sempat mengintip sekilas ketika melewatinya. Gambar Faris mah, memang tidak diragukan lagi kualitasnya.

Pasti besok Takiga terkaget-kaget melihat hasil gambaranku. Hahaha...

"Ra," panggil Faris.

Langkahku terhenti seketika. Aku berbalik. Tidak jadi masuk ke kamar mandi yang jaraknya tinggal selangkah lagi.

"Ya, Kak?"

"Hari Minggu kamu libur, kan?"

"Harusnya sih, iya. Kenapa gitu?"

"Farhan ngajak jalan-jalan. Kamu mau ikut, nggak?"

"Mau, dong."

"Oke, deh."

Tanpa sadar aku tersenyum. Betapa beruntungnya aku. Setelah lelah bekerja seharian, masih bisa melihat wajah pujaan hati dan mengobrol dengannya. Malah dibantu mengerjakan kerjaan juga.

Sungguh, nikmat mana lagi yang mau aku dustakan?

"Mandi, Ra. Jangan melamun."

Astagfirullah! Dasar manusia bucin!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro