18 - Kerja Praktek
Semua orang yang lalu lalang, berjalan dengan sangat cepat seperti sedang terdesak. Aku yang sebenarnya juga hampir telat, memilih untuk tetap menikmati perjalanan. Sejak tadi aku mengobrol dengan Faris juga Farhan. Membicarakan masa-masa kuliah, dan bagaimana work life sebenarnya. Faris banyak memberiku wejangan serta tips dan trik, agar kegiatan kerja praktekku bisa lancar. Kami bertiga mengobrol seperti teman lama yang baru bertemu setelah sekian lama. Semuanya mengalir begitu saja.
Begitu keluar dari stasiun MRT Holland Village melalui pintu Exit A, kami bertiga berjalan kaki menyusuri parkiran dan trotoar. Suasana masih sepi. Sepertinya pertokoan mulai beroperasi jam sepuluh pagi nanti. Ketika langkah kaki Faris tiba-tiba berhenti, aku dan Farhan ikut diam. Ternyata kami sudah sampai.
Jarak dari pintu keluar stasiun MRT ke butik Takiga terhitung sangat dekat sekali. Setelah berbelok ke kiri satu kali dan melewati barisan pertokoan bergaya modern yang menjual pakaian, makanan, hingga perabotan, aku sudah berdiri tepat di depan lokasi kerja praktekku sampai empat puluh lima hari ke depan.
Nama Takiga Ariyo tertulis jelas di kaca jendela super besar yang memamerkan beberapa koleksi busana kasual hasil karyanya. Pandanganku beredar, mengamati lingkungan sekitar. Rata-rata butik atau kafenya terletak di lantai satu gedung berlantai tiga, yang di atasnya dijadikan tempat tinggal atau kantor. Pasti kalau siang, area ini akan ramai. Sebab, Holland Village itu termasuk tempat wisata andalan Singapura.
Akhirnya aku berjalan mendahului Faris, lalu berbalik untuk berpamitan sambil tersenyum manis.
"Makasih banyak Kak Faris sama Farhan. Udah nganterin ke sini."
"Iyah, sama-sama, Ra. Pokoknya, kalau butuh bantuan, bilang aja ya," balas Faris ikut menyunggingkan senyum. Aku tidak menyangka, dia bisa sebaik ini.
"Siap, Kak! Aku masuk dulu, ya. Dah!"
Setelah memastikan Faris dan Farhan pergi, aku berjalan menuju butik dan membuka pintu dengan hati-hati. Langkahku pelan, disertai sedikit rasa takut dan gugup. Kini, aku benar-benar sendirian.
Ukuran butik ini tidak terlalu besar, tapi dinding yang dicat dengan warna terang memberi kesan lapang dan luas. Nuansa cokelat muda yang dipadu dengan ornamen kayu, menambah suasana hangat sekaligus santai pada butiknya. Aku suka atmosfer ini. Apalagi lantai hijau toska mudanya.
Busana hasil karya Takiga Ariyo, mengusung konsep ready-to-wear. Dia memadukan pola basic dengan kain-kain corak asli Indonesia. Perpaduan warnanya beragam, tapi tetap memiliki benang merah yang membuat setiap pakaian terlihat menyatu. Pemilihan materialnya pun bagus. Pantas saja, harga satu potong kemeja atau blusnya bisa sampai jutaan begini.
Saking serius mengamati hampir semua busana yang dipamerkan, aku sampai lupa kalau sebentar lagi sudah jam sembilan pagi. Beruntung, seseorang memanggil dari balik pundakku.
"Mehira, bukan?"
Begitu memutar arah, sosok yang kuduga Takiga, berdiri tidak jauh dariku. Dia memandang dengan tatapan aneh. Seakan tidak menyangka kalau akulah orang yang dia tunggu.
"Iya, Pak. Saya Mehira. Maaf tadi keasyikan lihat-lihat," jawabku seraya memperbaiki posisi berdiri jadi lebih sopan.
Takiga tidak langsung menjawab. Terlebih dulu dia menilaiku dari atas sampai bawah lewat mata sipitnya. Padahal aku yakin, tidak ada yang salah dari cara berpakaianku hari ini. Kecuali mungkin karena aku memakai celana jeans. Namun, sungguh tidak aneh, kok.
"Ya udah. Kita langsung ke kantorku, ya." Tanpa basa-basi, Takiga kembali menaiki tangga. Aku mengikuti dengan dada berdebar.
Eh, Aninda kok, tidak kelihatan, ya. Aku jadi waswas. Oh, mungkin dia telat. Eh, memangnya jalanan Singapura bisa macet, ya? Ah, entahlah.
Takiga terus berjalan tanpa sekalipun melihat ke belakang. Dari gaya berjalannya saja aku sudah bisa menebak kalau dia adalah tipe atasan yang suka memerintah dan mendominasi. Kakiku baru berhenti saat Takiga memasuki ruangan yang berada di lantai tiga. Semerbak harum aroma bunga lavender menyambut saat Takiga mempersilakan aku masuk. Tampaknya, iklan-iklan di internet itu benar adanya. Baru beberapa saat menghirup dan menikmati aroma bunganya, keteganganku sudah mulai mereda.
"Mulai hari ini, kamu bertugas menggantikan Aninda jadi asisten pribadiku. Aku bisa panggil kamu pakai nama apa yang lebih singkat?" ucap lelaki berkaus cokelat gelap tanpa gambar apa pun yang sudah duduk di kursi singgasananya.
Perkataan Takiga membuatku menelan ludah. Aninda sama sekali tidak pernah membahas hal ini sebelumnya. Aku kira akan ditempatkan di workshop seperti yang Mande bilang, ternyata bukan.
"Panggil Ira aja, Pak. Hm, maaf sebelumnya. Kalau Mbak Aninda, ke mana ya, Pak?" tanyaku hati-hati.
Bukannya menjawab, lelaki berhidung cukup mancung itu malah berdiri. Dia membawa tumpukan map yang semula berada di atas meja kerjanya.
"Ini kerjaan yang harus kamu urus mulai sekarang. Aninda tadi malam pecah ketuban, jadi harus melahirkan secepatnya. So, mulai sekarang kamu yang menggantikan semua tugasnya. Daftar pekerjaan kamu, sudah ada di dalam map warna merah. Sisanya, ada schedule meeting-ku sama para investor dan beberapa desain yang harus kamu periksa, sebelum dikasih ke aku. Sampai sini, ada yang mau ditanyakan?" jelasnya panjang kali lebar.
Seketika kepalaku berdenyut. Rasanya pengin pingsan saja seperti kemarin. Siapa tahu ini betulan mimpi. Sungguh. Mentalku tidak siap untuk jadi asisten seorang desainer. Aku kira bakal bergaul sama para pengrajin di balik layar.
"Gimana? Kamu paham, kan?" tanya Takiga tidak sabar.
Akhirnya aku terpaksa mengangguk. Tidak ingin memberi kesan kurang baik di hari pertama. "Paham, Pak," jawabku pelan. Namun, raut wajah Takiga terlihat tidak puas.
"Tolong panggil saja Mas atau Takiga sekalian. Jangan Pak. Aku belum tua, kok. Umurku masih 25 tahun. Umur kamu berapa?"
"20 tahun, Mas." Takiga mengangguk, lalu mengambil ponsel pintarnya dari dalam laci meja kerja.
"Tolong tulis nomor ponsel kamu," pintanya tegas.
Aku menurut, meraih ponsel yang dia sodorkan, lalu mengetikkan nomor ponsel yang belum sempat aku ganti ke nomor Singapura. Sepertinya, saat pulang nanti aku harus mampir ke kios minimarket untuk membeli sim card baru.
"Ini, Mas."
"Good. Sekarang tolong belikan latte di toko kopi sebelah, ya. Yang panas, tanpa gula."
"Baik, Mas."
"Kamu tunggu apalagi?"
"Uangnya belum, Mas."
Mendengar perkataanku, Takiga jadi mendelik. Bola matanya sempat berputar sebelum tangannya mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompet kulit berwarna hitam gelap.
"Mulai sekarang, pakai kartu ini untuk keperluan kantor. Satu lagi. Setelah beli kopi, kamu pindahkan meja kerjamu yang di luar ke ruanganku. Biar gampang, kalau ada perlu apa-apa."
"Baik, Mas Takiga," anggukku pasrah, meski dalam hati sudah mulai mengumpat.
Hari pertama saja sudah banyak keinginan. Bagaimana nanti? Ah, sudahlah. Aku tidak ingin membayangkan. Yang ada malah bikin makin frustrasi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro