17 - Interaksi Dengannya
Mama pasti terkaget-kaget kalau tahu bagaimana sikapku di hari pertama tinggal di apartemen Faris. Aku yang biasanya jarang membantu Mama di dapur, sekarang malah dengan senang hati menawarkan diri untuk mengambil alih bagian beres-beres. Seperti sekarang, seusai makan malam aku segera mencegah Faris yang hendak membereskan piring-piring bekas makan. Awalnya, dia menolak dan kekeuh menumpuk piring-piring sampai membawanya ke bak cuci piring. Namun, bukan Mehira namanya kalau menyerah begitu saja.
"Aku aja, Kak. Please ...," mohonku sekali lagi.
Kami berdiri bersisian, dengan Faris menatapku tanpa berkedip. Tangannya masih mencengkeram pinggiran meja dapur. Tidak lama dia mengalah. Menghela napas pendek, lalu bergeser dan membiarkan aku menempati posisi kosong di depan bak cuci piring.
"Ternyata kamu keras kepala juga, ya," celetuk Faris sembari mengambil kantung teh dari dalam lemari kabinet.
Aku menggeleng cepat. "Bukan gitu, Kak. Aku nggak enak. Udah numpang tinggal, tapi nggak bantu-bantu."
"Santai aja, Ra. Ini kan masih hari pertama. Lagi pula kamu habis pingsan tadi. Jadi jangan langsung capek-capek."
"Cuci piring mah, nggak bikin capek kali, Kak." Aku berkata tanpa menoleh ke arahnya.
Namun, Faris tidak menjawab. Dia memilih diam dan fokus menyeduh teh beraroma unik yang segera menarik perhatian.
"Itu teh apa, Kak? Lemon, ya?" tanyaku di sela kegiatan cuci-mencuci piring.
Faris menoleh, "Bukan. Jeruk purut. Kamu mau?" tanyanya dengan raut wajah yang sedikit janggal.
"Boleh. Makasih, Kak."
"Sama-sama. Nanti tinggal tuang aja dari teko terus tambah gula ya, Ra."
"Oke, Kak."
Kemudian, lima menit berlalu tanpa terasa. Hanya suara televisi yang memenuhi ruangan. Farhan sudah masuk ke kamar. Katanya mau mabar sama teman-temannya.
Dalam diam, pikiranku terus dipenuhi oleh banyak kemungkinan. Jujur saja, aku masih bingung harus bersikap bagaimana. Kalau terang-terangan menunjukkan rasa suka, takut Faris kaget lalu menghindar. Namun, di sisi lain aku juga ingin dia tahu perasaanku. Tiga tahun sudah terlewat tanpa perkembangan signifikan. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini aku harus lebih berani. Jangan jadi penakut lagi.
Selesai mengelap sisa percikan air di meja dapur dan membuat teh, aku menghampiri Faris yang tengah duduk melamun di meja makan. Matanya terus terarah ke jendela, hingga suara kursi yang kutarik menyita seluruh perhatiannya. Dia membetulkan posisi duduk. Tangannya bergerak cepat, mengambil cangkir dan meneguk semua cairan kecokelatan yang tersisa. Aku sempat sedikit kecewa karena mengira dia ingin cepat-cepat pergi, tapi sepertinya anggapan itu salah. Faris memutar tubuhnya. Menyambutku dengan senyuman.
"Thank's, Ra."
"Your welcome, Kak. Ah, iya aku sampai lupa bilang. Makasih banyak yah, udah setuju nyewain kamar nganggurnya. Berkat Kak Faris, aku jadi berhasil KP ke sini," kataku sedikit tersipu.
"Sama-sama. Kebetulan nggak kepakai juga kamarnya. Btw, kabar kampus gimana? Ada perubahan, nggak?"
Pertanyaan Faris membuatku bergumam sembari berusaha mengingat-ingat. "Hm ... palingan, Bengkok habis dicat ulang aja, sih. Terus, gedung laboratorium buat nguji doping udah selesai dibangun. Selain itu, kayaknya masih sama aja. Kak Faris udah lama sih, nggak main ke kampus. Terakhir, lebih dari enam bulan lalu, kan?"
"Masa? Bukannya baru April kemarin aku ke kampus, ya?" ucapnya balas bertanya.
"Januari kali, Kak."
"Nggak. Waktu wisuda April aku datang ke Sabuga, kok."
Faris tampak begitu yakin, tapi aku jelas-jelas mencarinya ke seluruh Sabuga dan kampus di hari itu dan sosoknya tidak kelihatan. "Tapi aku nggak lihat Kak Faris sama sekali. Di Sabuga, di kampus—"
"Kamu nyariin aku?" potongnya cepat.
"Hah?!" Waduh, gawat! Aku keceplosan!
Buru-buru kugelengkan kepala tanpa berkedip. "Nggaklah. Ngapain? Aku, cuma kebetulan ingat aja. Kayaknya nggak lihat Kak Faris pas wisuda April. Hahaha ...." Aku tertawa sumbang.
Faris ikut terkekeh, lalu memalingkan wajahnya. Sementara aku menunduk, sambil diam-diam merutuk.
"Kak, aku tidur duluan, ya. Ngantuk banget, nih," celetukku seraya menguap lebar dan meregangkan kedua tangan. Pura-pura tinggal lima watt, padahal mah boro-boro bisa tidur. Aku yakin, pasti malam ini bakal begadang.
"Oke, Ra. Selamat tidur, ya. Sini cangkirnya, biar aku cuciin sekalian," kata Faris sebelum bangkit, dan meraih cangkir tehku yang isinya masih tersisa setengah.
"Makasih banyak, Kak."
Dia berjalan tenang menuju dapur. Sementara aku melangkah ke arah yang berlawanan. Tidak lama suara gemercik air terdengar ketika aku hendak membuka pintu kamar. Saat kedua kaki sudah tiba di dalam, sengaja kututup pintu sepelan mungkin. Masih ingin menikmati sedikit lebih lama punggung yang selalu kurindukan. Senyum tipis terulas di wajah. Dalam hati, aku mengucap kalimat yang sebetulnya tadi ingin dikatakan.
Selamat tidur juga, Kak Faris tersayang.
***
Badanku menggeliat saat musik bertempo sedang mengalun nyaring dari pengeras suara ponsel. Betul perkiraanku. Akhirnya, tadi malam aku begadang lagi. Namun, bukan karena tidak bisa tidur, melainkan karena mengobrol dengan para ukhtis yang langsung heboh saat mendengar kalau aku tinggal di apartemen Faris sekarang.
Yang paling parah, Ay Ay. Dia menyuruhku untuk menggaet Faris secepatnya. Tancap gas saja katanya. Aku cuma bisa tertawa saat mendengar saran nekat dari Ay. Kalau Nadia, menyarankanku rajin memasak. Menurutnya, laki-laki itu lebih tertarik sama perempuan yang jago masak, apalagi yang hasil masakannya enak. Untuk ide ini aku setuju. Sebaiknya mulai sekarang aku harus mencari resep makanan simpel yang tidak susah dimasak.
Sementara Nuri, tidak banyak berkomentar. Dia hanya mendoakan supaya usahaku sukses dan pulang membawa kabar gembira. Dukungan mereka sedikit banyak berhasil membangkitkan rasa percaya diriku.
Aku yakin, kali ini pasti sukses mendapatkan Faris. Semangat!
"Teh Iraaa! Bangun!"
Suara teriakan Farhan yang memanggil sembari mengetuk pintu kamar beberapa kali, segera membuatku terkesiap. Baru sadar kalau sudah terlalu lama melamun. Aku melirik sekilas ke arah jam dinding berwarna putih yang terpasang di atas pintu. Sudah jam tujuh pagi dan aku belum mandi sama bikin sarapan. Ya, ampun!
"Iya! Hadir!" jawabku ikut berteriak.
Begitu keluar dari kamar, aku disambut oleh sosok Faris yang sedang berdiri memunggungi. Dia terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Bisa aku tebak, pasti dia sedang membuatkan sarapan. Masakannya harum banget. Jadi penasaran.
"Morning, Ra! Gimana tidurnya?" sapa Faris sambil menoleh singkat.
Aku berjalan menghampirinya sekalian menuju kamar mandi, yang terletak di sebelah dapur. "Nyenyak, Kak. Alhamdulillah." Nyenyak banget malah. "Kak Faris suka masak?"
Dia mengangguk, lengkap dengan senyum manis yang langsung bikinku merinding. Pagi-pagi begini Faris sudah glowing sekali. Beda banget sama aku yang belum cuci muka dan sikat gigi. Masih fresh from the bedroom. Tidak apalah. Anggap saja, natural. Untung kulitku terbilang mulus meski tidak terlalu rajin dirawat.
"Semenjak pindah ke sini, aku jadi suka masak. Lumayan, biar bisa nabung lebih banyak," jawabnya.
Aih, betulan suami idaman.
Aku mengangguk, tanpa mengalihkan pandangan dari titik yang sama sejak pertama kali keluar dari kamar. Senang sekali rasanya. Sekarang aku bisa mengamati Faris tanpa takut dikira aneh-aneh.
"Teh Ira! Cepetan mandi! Farhan udah mandi, lho!"
Ih, ganggu aja deh nih anak.
Aku mendengkus sebal, sebelum pamitan pada sang pujaan hati.
Ya, sudah. Lagi pula aku masih punya waktu empat puluh lima hari lagi buat mendekati Faris. Santai dulu, deh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro