Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 - Solusi yang Merepotkan

"Mama nggak kasih izin ya, Ra. Misalnya nanti kamu ada apa-apa di sana, gimana? Sedekat-dekatnya Singapura, tetap aja jauh."

Berkali-kali aku membujuk, tapi tetap saja Mama menolak. Ucapannya telak, seakan tidak bisa diganggu gugat. Arah kedua mataku mulai beralih pada Papa. Berharap beliau masih mendukungku seperti sebelumnya. Namun, tatapan memelasku tampaknya tidak ampuh kali ini. Papa bergeming, tidak membalas sepatah kata pun.

"Terus kesempatan buat KP di desainer yang oke, harus terbuang sia-sia gitu aja, Ma? Ira bisa sendiri, kok. Ira bisa jaga diri. Ira udah gede, Ma, Pa," bujukku sekali lagi.

Mama terlihat sedang berpikir keras. Sedangkan Papa tidak berhenti melihat ke arah Mama. Aku sadar betul, kalau keputusan sebenarnya berada di tangan Mama, bukan Papa.

"Mama coba tanya ke teman Mama dulu, deh. Kalo nggak salah, anak teman Mama ada yang kerja di Singapura. Siapa tahu dia sewa apartemen yang gedean, gitu. Terus bisa disewa salah satu kamarnya. Kalau sewa kamar doang kan, pasti jauh lebih murah."

"Tapi, Ma ... Mande kan, udah mau sewa apartemen. Udah bayar DP malah. Aku takutnya nggak bisa dibatalin," sanggahku sekali lagi.

"Mumpung masih DP, Ra. Kamu coba bilang ke Mandenya. Siapa tahu pemiliknya bisa dinego. Di refund, gitu. Ya, walaupun nggak semuanya. Minimal ada yang balik."

"Tapi, Ma."

"Masalahnya, Ra. Kemarin kalian bayarnya mau patungan. Kalau kamu tetap tinggal di sana tapi cuma Papa yang bayarin, jatuhnya mahal banget. Kamu nggak kasihan sama Papa? Papa sampai nyairin deposito demi kamu, lho! Tahu, nggak?" bentak Mama galak sembari memelotot hingga bola matanya hampir keluar.

Tatapan garangnya tidak beralih hingga beberapa detik, sampai bikin aku sempat lupa bernapas. Sebetulnya aku sadar, keinginanku ini sudah sangat menyusahkan Papa. Namun, untuk kali ini ... saja. Aku benar-benar ingin memperjuangkan cintaku pada Faris.

Akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk pasrah. Lalu, Mama pergi berlalu ke kamar. Hendak menelepon teman yang dia sebutkan tadi. Begitu tinggal berdua, Papa meremas tanganku perlahan. Tatapan sendunya membuatku semakin tidak enak hati.

"Pa ... maafin Ira, yah. Ira memang nyusahin banget jadi anak," ucapku sedih.

"Jangan merasa gitu, dong, Sayang. Setiap orang tua, pasti akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Jadi, tentu aja Papa akan mendukung kamu, sebisa Papa. Udah, jangan sedih begitu. Cantiknya hilang nanti," hibur Papa seraya tersenyum padaku.

Bukannya mereda, kesedihanku malah semakin memuncak sampai akhirnya aku mulai menangis. Yang kini terasa, antara takut gagal ketemu Faris dan merasa tidak enak pada mereka berdua. Mana sekarang sudah libur kuliah. Aku jadi tidak punya tempat curhat face to face.

Ay, Nadia dan Nuri sudah pulang ke rumah masing-masing. Mereka juga akan beredar untuk kerja praktek di kota yang berbeda. Yang paling jauh Ay Ay. Enak banget dia kerja praktek sambil berlibur di Bali.

"Ira! Papa! Mama dapat solusi, nih!" seru Mama yang tiba-tiba muncul dengan wajah antusias.

Pergerakannya sempat terhenti sebentar, ketika melihat aku yang terburu-buru menghapus air mata. Kemudian, tatapan Mama perlahan melembut. Pasti beliau tahu kalau aku lagi super sangat galau saat ini.

Mama duduk di hadapanku dan menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. "Mama akan izinin kamu tetap berangkat ke Singapura, asal kamu menyetujui persyaratan yang Mama kasih. Gimana?" tanyanya sembari bersedekap.

Setelah berdeham beberapa kali untuk menormalkan suara, baru aku menjawab pertanyaan Mama. "Persyaratannya apa aja, Ma?"

"Pertama, kamu tinggal di apartemen yang lagi disewa sama anaknya teman Mama. Kebetulan dia sewa apartemen dua kamar. Sekarang yang dipakai cuma satu kamar, jadi kamu bisa sewa kamar yang nggak dipakai. Temaan Mama juga kasih diskon gede-gedean. Jadi harga sewanya jauh lebih murah dari harga pasaran," jelas Mama semangat.

"Anaknya temen Mama itu laki-laki apa perempuan?" tanyaku memastikan.

Sebab, menurutku tinggal sama orang asing itu susah-susah gampang. Apalagi kalau orangnya menyebalkan. Aduh, jangan sampai, deh.

"Hm ... kayaknya laki-laki deh, Ra." Mama berkata ragu-ragu.

Aku sampai menelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan mamaku ini. Masa anak gadis satu-satunya dilepas begitu saja sama laki-laki dewasa? Kalau aku sampai diapa-apain sama anaknya teman Mama itu, gimana?

"Ma! Masa Ira kita izinin tinggal bareng sama laki-laki? Nanti apa kata orang, Ma?" tegur Papa yang kelihatan sangat tidak setuju.

Kupikir Mama bakal kayak kebakaran jenggot, karena salah menyuarakan ide. Namun, bahunya malah naik disusul oleh senyum penuh percaya diri. Mataku jadi menyipit, saking penasarannya.

"Kalau masalah itu, tenang aja. Mama juga nggak rela kali, kalau Ira tinggal berdua sama laki-laki yang bukan muhrim. Nanti kena fitnah, pula. Oleh karena itu ... anak bungsunya teman Mama yang bakal jadi orang ketiga. Kebetulan dia lagi libur sekolah juga. Jadi sekalian liburan. Nanti teman Mama rencananya juga bakal nyusul. Jadi Papa sama Ira tenang aja. Anaknya teman Mama baik, kok. Kerjaannya juga bagus. Kalaupun sampai ada sesuatu, Mama pasti langsung kasih restu," ucap Mama mengakhiri perkataan dengan senyum lebar dan tawa yang dia tahan sejak tadi. Aku yakin, pasti ada maksud terselubung dari persetujuan Mama ini.

"Ini Ira nggak dikirim buat sekalian dijodohin kan, Ma?"

"Nggak, kok. Ya, kalau ujung-ujungnya kalian berjodoh, alhamdulillah. Kalau nggak juga nggak apa-apa. Minimal Mama bisa sedikit tenang, kalau ada yang bisa dititipin."

Omongan Mama tidak salah juga, sih. Akan tetapi, tetap saja agak janggal buatku. Rupanya Papa berpikiran sama. Dia menyilangkan kedua lengan. Menatap lurus ke mata Mama. Mereka seakan sedang berdialog dalam keheningan. Memang beda kalau sudah menjadi suami-istri lama, ya. Saling tatap saja sudah paham maksud masing-masing.

"Nama anaknya teman Mama itu siapa? Ira mau kepoin."

"Eleuh ... lupa ditanyain, Ra. Sa apa gitu. Esa kali, ya. Lupa."

"Mama gimana, sih? Kok, bisa lupa?" cibirku seraya memutar bola mata. Mama menyengir, sambil terkekeh kecil.

"Oke, kalau gitu. Papa juga setuju. Papa percaya sama keputusan Mama. Awas aja kalau sampai anak kita kenapa-napa ya, Ma," ucap Papa meski dengan sedikit bernada mengancam.

"Insyaallah aman, Pa. Sekarang Ira gimana? Setuju, nggak?"

Aku juga mengangguk untuk mengiakan. Yang terpenting mah, aku jadi terbang ke Singapura dulu, deh.

"Lanjut, ya. Terus yang kedua, kamu harus mau bantu beres-beres apartemen. Kalau bisa, masak juga sekali-sekali. Minimal masak nasilah."

"Lho? Tapi, tiap hari banget, Ma? Kalau Ira lagi sibuk, gimana?" tanyaku panik.

"Nanti kamu nego aja sama anak teman Mama." Ya, sudah. Mau tidak mau aku harus mau. Demi Faris, apapun aku lakukan!

"Oke, deh."

"Yang ketiga. Nanti kamu sama anak bungsunya teman Mama itu, berangkatnya bareng. Terus selama di Singapura, kamu temanin dia jalan-jalan, ya?"

Sontak mataku membeliak. Aku kehabisan kata-kata. Sudah jadi tukang bersih-bersih, lalu jadi pengasuh juga? Syarat macam apa ini?

"Ma! Ira itu ke Singapura mau kerja praktek, bukan jadi TKW! Udah mah kudu beres-beres, kudu masak, sekarang kudu jaga anak juga? Please atuh, meni nggak masuk akal syarat, teh," protesku keras. Secara tiba-tiba bahasa sundaku mengalir dengan lancar, saking emosinya.

"Eh, salah. Maksudnya pas kamu libur aja, Ra. Bukannya nanti kamu nggak langsung masuk kerja setelah sampai di sana, ya?" Mama bertanya dengan wajah tanpa beban.

Aku jadi menghela napas dalam-dalam, tidak tahu harus merespons bagaimana lagi. Perasaan aku sudah bilang dengan begitu jelas. Kalau satu hari setelah sampai, kerja praktekku langsung dimulai.

"Mamaku tersayang ... Ira kan udah bilang. Besoknya Ira langsung masuk kerja. Palingan pas weekend. Tapi, nanti siapa yang jagain dia pas aku sama anak temannya Mama pergi kerja?"

Lalu, wajah Mama berubah bingung. Aku jadi ikutan bingung. Papa pun sama.

"Wah ... iya juga. Nanti Mama tanya lagi, deh. Yang penting, kamu menyanggupi apa, nggak? Kalau sanggup, minggu depan kamu berangkat ke Singapura," ucap Mama tegas, bertanya sekali lagi. Aku sempat menoleh sekilas ke arah Papa. Beliau mengangguk, meyakinkan aku.

"Oke! Ira terima semua persyaratannya, Ma." Aku mengangguk satu kali dengan penuh keyakinan dan semangat yang bergelora. Daya juangku tiba-tiba berkobar.

Faris ... I'm coming for you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro