Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Ready to Go, But ...

"Ma... Pa... kalau Ira pengin KP di luar negeri, boleh nggak?" tanyaku ketika kami bertiga baru saja selesai makan malam. Dua pasang mata langsung menatap lurus ke arahku. Mereka berdua sepertinya kaget sekali. "Please ...," sambungku dengan nada memelas sambil mengedipkan kedua mata.

"Kenapa harus ke luar negeri, Ra? Memangnya yang di dekat-dekat sini, nggak ada yang bagus?" tanya Mama keheranan. Dia sampai tidak jadi pergi ke dapur, dan tetap duduk di hadapanku.

"Tepatnya di mana, Ra? Kalau prospeknya bagus untuk masa depan kamu, sih, Papa setuju aja."

Harapanku segera terisi penuh, setelah mendengar dukungan Papa. Berbeda dengan Mama, yang tampaknya masih menimbang-nimbang.

"Di Singapura kok, Pa. Dekat, kan? Tapi, ini belum pasti, sih. Ira lagi nunggu kabar dari teman, yang udah duluan keterima. Jadi mau barengan dia, gitu," balasku berusaha terdengar meyakinkan. Mama dan Papa mulai manggut-manggut.

"Ya, udah. Kalau ada temannya mah, Mama setuju. Tapi, biaya hidup kamu selama di sana, gimana? Dapat gaji, nggak?"

Ah, iya. Aku lupa menanyakan itu pada Mande tadi.

"Nanti Ira tanyain, Ma." Mataku kemudian beralih pada Papa, sumber dana utamaku. "Tapi, kalau misalnya Ira nggak dapat gaji, terus harus pakai uang sendiri, gimana, Pa? Tetap boleh, nggak?" Aku berkata semanis mungkin sembari menaik-turunkan alisku beberapa kali.

"Papa belum bisa kasih jawaban sekarang. Tapi, nanti Papa usahakan, ya. Semoga aja kamu tetap dapat gaji. Jadi minimal tempat tinggal atau uang makannya dapat dari sana," ucap Papa seakan ingin menyudahi topik kerja praktikku.

"Ya udah, deh, Pa. Nanti Ira kabarin kalau udah ada info dari temen Ira, ya."

Papa mengangguk, lalu berdiri meninggalkan meja makan. Begitu juga Mama, yang sudah berlalu ke dapur. Embusan napas pasrahku keluar begitu saja. Nasibku masih tidak jelas.

Untuk sementara, kesimpulannya Papa dan Mama mengizinkan asal ada teman dan kalau bisa dapat gaji dari tempat kerja praktiknya. Mungkin Papa agak keberatan jika harus membiayai semua kebutuhanku selama tinggal di Singapura, yang pastinya tidak akan sedikit.

Faris ... Faris ... mengapa sulit sekali, sih, mendapatkan kamu?

***

Semenjak Mande mengabarkan kalau masih ada satu lowongan tersisa dan aku bisa ikut kerja praktik di Singapura, hari-hariku menjadi lebih berwarna. Ketiga sahabatku sempat terkejut. Apalagi Nadia yang berteriak-teriak heboh sampai bikin seisi kantin menatap aneh ke arah kami berempat. Namun, respons itu hanya di awal saja, sih. Sekarang, Ay Ay, Nadia dan Nuri sangat mendukung langkah yang aku ambil. Sebab mereka sudah tahu kalau perasaanku pada Faris tidak akan berakhir sampai aku tahu bagaimana ujungnya.

"Meh, lo udah ngurus visa kerjanya, gitu?" tanya Nadia, begitu aku duduk di sebelahnya. Karena sekarang sudah masuk bulan puasa, jadi setiap istirahat siang kami sering berkumpul di selasar gedung CC Timur atau duduk-duduk di kursi taman tidak jauh dari gerbang depan.

Tiga pasang mata langsung menghujaniku dengan tatapan penasaran. Sepertinya topik kerja praktikku ke Singapura untuk mengejar cinta Faris, benar-benar menyita perhatian mereka semua belakangan ini. Setiap kali bertemu, pasti ada saja yang mereka tanyakan.

"Kata Mande nggak usah. Pakai visa turis aja. Nanti bisa perpanjang masa tinggal ke Imigrasi Indonesia yang ada di Singapura. KP-nya cuma empat puluh lima hari, kok."

"Oh ... bisa, ya?" tanya Nuri. Aku mengangguk yakin.

"Gue udah sempat cari info, sih. Kebetulan nanti gue sama Mande, nggak digaji juga. Jadi nggak perlu yang sampai ngurus visa pekerja. Ribet pula itu prosesnya," jawabku yakin.

"Terus, fix-nya kapan lo berangkat?" Kali ini Ay Ay yang bertanya.

Senyumku langsung merekah. Membayangkan hanya dalam beberapa minggu lagi, aku sudah bisa terbang menyusul Faris ke Singapura.

"Sehari setelah lebaran gue caw. Mande juga udah dapat apartemen studio deket butik, yang harga sewanya murah! Hahaha... Pokoknya gue benar-benar berserah diri sama Mande, deh. Dia koneksinya banyak, loh, ternyata. Takjub gue."

Sebelumnya aku sudah dekat dengan Mande sejak kami menjadi teman sekelas di Kriya Tekstil. Tetapi, aku baru tahu sekarang, kalau ternyata koneksi yang dimiliki oleh keluarganya sangat luas sampai bikin aku kagum dan sempat tidak percaya. Jadi, hampir semua keperluan kami selama di Singapura nanti, sudah diatur oleh Mande.

Seperti tempat tinggal, lalu negoisasi bayarannya juga. Karena kami tidak mengurus visa pekerja resmi, jadi aku dan Mande tidak akan mendapatkan gaji. Sebagai gantinya, kami diberi kupon makan di beberapa restoran untuk makan siang dan makan malam, selama empat puluh lima hari penuh. Aku langsung setuju saja. Karena tujuan utamaku kerja praktik ke sana, hanya untuk mengejar Faris.

Hehehe...

Masalah biaya-biaya lainnya, papaku sudah bersedia untuk menjadi penyokong dana. Jadi, seharusnya jika tidak ada halangan, semuanya akan berjalan dengan lancar.

"Cieee ... nggak lama lagi dong, ya?" sahut Nuri. Senyumku semakin mengembang. Buat pipiku makin lebar.

"Iya! Ya, ampun... nggak sabar gue. Eh guys, gue masih galau, deh. Nanti, setelah sampai sana, mendingan gue langsung kontak Kak Faris terus ajak ketemuan, atau menyusun rencana dulu supaya pertemuan gue sama dia kelihatan alami, ya?" Senyumku langsung memudar, saat memikirkan hal tersebut.

"Lah? Lo belum menyusun rencana?" Mata Nadia sampai mendelik. Aku menggeleng kikuk, sambil garuk-garuk kepala.

"Gue kira persiapan lo udah matang, Meh," sahut Ay Ay tidak menyangka. Para penonton tiba-tiba kecewa.

"Belum, nih. Gimana, dong? Ada saran, nggak?"

Aku jadi panik setelah melihat reaksi mereka bertiga. Kutatap wajah Nadia, Nuri dan Ay Ay secara bergantian. Sangat berharap salah satu dari mereka bisa memberikan solusi yang tepat. Namun, mereka malah diam. Aku tidak diacuhkan. Sedih.

"Gue tahu, Meh!" ujar Ay Ay dengan mata melebar. Sepertinya dia baru dapat ilham. Pundakku langsung condong ke arahnya. Menanti dengan penuh antusias.

"Saran gue ... mendingan lo ... bismillah ajalah," ujar Ay Ay sebelum tertawa keras tanpa merasa bersalah. Seketika adegan olahraga gulat pun terjadi. Diiringi dengan raungan minta tolong yang keluar dari mulut sahabatku ini.

Sumpah, deh. Tidak berfaedah sekali sarannya.

***

Satu minggu lagi aku berangkat! Setelah bergelut dengan ujian akhir semester dan urusan administrasi yang sempat bikin aku pusing kepala, akhirnya aku bisa bernapas lega. Semakin mendekati hari H, aku malah semakin gugup. Padahal persiapan sudah hampir rampung semua. Betul-betul hanya tinggal berangkat saja. Bahkan aku juga sudah menukar uang dan mulai mengemasi barang-barang.

Kemarin malam, aku pergi ke Swalayan bersama Mama untuk membeli perbekalan yang akan dibawa ke sana. Merantau jauh ke negeri orang dengan bujet yang tidak banyak, memaksaku untuk mencoba hidup hemat. Alhasil, isi keranjang belanjaan yang kubeli kemarin, kebanyakan mi instan dan abon saja. Mama sempat prihatin melihat anak gadisnya bakal sering makan yang instan-instan selama pergi jauh. Akan tetapi, aku putuskan untuk tidak akan manja. Bakal aku buktikan kalau aku juga pintar mengatur uang jajan. Semangat!

Baju sudah cukup, celana juga. Kerudung, oke. Dalaman aman. Berarti tinggal perintilan skincare, peralatan mandi, sepatu sama tas cadangan. Ah, iya. Hampir saja aku lupa membawa handuk.

Ketika hendak bangkit dan berdiri untuk mengambil yang kurang dari lemari, nada dering ponsel pintarku menggagalkan rencana. Aku jadi kembali duduk dan meraih benda pipih yang tergeletak di atas kasur. Mande menelepon. Kira-kira ada apa, ya.

"Iya, Man? Ada apaan?"

Awalnya aku tidak bisa mendengar jelas suara Mande, tapi begitu mulai menangkap isakan tangisnya, detak jantungku sempat berhenti sekejap. Kekuatan kakiku secara mendadak melemah, hingga bikinku terduduk di sisi tempat tidur.

"Man, coba cerita pelan-pelan. Ada apaan? Kok, lo nangis begitu?" Jujur saja, aku panik sekali sekarang.

"Mehe, nyokap gue masuk rumah sakit. Gue ...." Suara Mande terdengar begitu sedih dan segera memudar. Perasaan tidak enak seketika menggelenyar ke seluruh tubuh. Kepalaku mulai menggeleng tanpa aku sadari.

"Nyokap lo kenapa, Man? Coba cerita pelan-pelan."

"Nyokap gue kena serangan jantung, Meh," jawabnya sembari masih sedikit terisak.

"Innalillahi ... tapi, nggak parah kan, Man?"

"Sekarang gue belum tahu. Tapi ... sorry ... banget, Meh. Kalau keadaan nyokap gue nggak membaik dalam waktu beberapa hari ini, kayaknya gue batal KP ke Singapuranya. Gue nggak bisa ninggalin nyokap."

"Hah? Seriusan, Man?" Bola mataku sudah hampir keluar dari kelopak saking kagetnya.

"Sorry banget, Meh. Gue mohon doanya, ya. Semoga dalam dua hari ini, keadaan nyokap gue membaik. Supaya bisa tetap KP bareng sama lo."

Aku menelan ludah. Pasrah.

"Ya udah, Man. Yang terpenting sekarang, kondisi nyokap lo dulu. Semoga nyokap lo segera diberikan kesembuhan ya, Man. Lo semangat, oke?"

"Thank you, Meh. Nanti gue kabarin lagi, ya. Dah, Meh ...."

"Dah juga, Man ...."

Aku diam mematung selama beberapa menit. Bingung harus bereaksi seperti apa. Kedua orang tuaku dengan jelas memberikan izin karena Mande juga ikut kerja praktik ke Singapura. Sekarang, pasti Mama sama Papa bakal melarangku pergi kalau begini ceritanya.

Ah, nasib usaha mengejar cintaku bisa gagal kalau sampai Mande tidak jadi pergi. Apa jangan-jangan, ini pertanda kalau sebenarnya aku sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mendapatkan Faris?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro