11 - The Last Time
Kejadian dua minggu yang lalu, benar-benar menjadi titik terendahku selama menyukai Faris hampir setahun belakangan ini. Ditambah dengan apa yang harus kulihat di kampus dengan mata kepalaku sendiri. Aku sudah tidak mau mencari tahu bagaimana sebenarnya hubungan Faris dan Dita. Sudah cukup tahu saja.
Aku juga sudah bilang pada Faris untuk tidak mengikuti kegiatan tutor Gambar Bentuk lagi. Dia sempat mempertanyakan apa alasanku berhenti, tapi aku hanya bilang karena ada masalah pribadi.
Betul, bukan? Alasannya memang karena aku pribadi yang tidak mampu lagi untuk terus berada di antara mereka berdua yang semakin hari semakin dekat. Terlepas dari mereka betul berpacaran atau tidak. Walaupun mereka tidak menjalin hubungan secara resmi pun, aku sudah menyerah. Aku putuskan untuk mundur dan kembali menjadi bayangan. Seperti yang selama ini aku lakukan. Mungkin peruntunganku dalam hal percintaan memang belum tiba masanya.
"Finally! Akhirnya UAS kelar, Guys!" teriakku heboh begitu melangkah keluar dari ruang dosen.
Kami berempat baru saja mengumpulkan karya UAS Nirmana Dua Dimensi yang paling lama selesainya. Tugas UAS mata kuliah studio lainnya telah selesai dikumpulkan dari minggu lalu. Kalau UAS mata kuliah umum juga sudah selesai. Soal ujiannya tidak begitu susah, sih. Untung saja aku belajar dengan giat sehari sebelum ujian. Hahaha...
"Alhamdulillah ... tinggal nunggu nilai. Semoga bagus, deh. Amin ...," imbuh Nadia, yang lalu diaminkan oleh aku, Ay Ay dan Nuri.
Ujian Akhir Semester dua sudah selesai. Sekarang aku tinggal menunggu nilai sambil berlibur sejenak. Setelah itu baru tiba saatnya mengisi kuesioner tentang Prodi yang akan kupilih. Kalau semuanya lancar, aku akan masuk ke Prodi Kriya Tekstil bersama Ay Ay. Nadia memilih Prodi Desain Interior, sedangkan Nuri memilih Prodi Desain Komunikasi Visual, sama seperti Faris.
Berakhirnya semester dua juga bertepatan dengan momen kelulusan Faris. Sebentar lagi dia akan mengikuti sidang akhir, lalu diwisuda. Masa-masa kesulitan melihatnya akan segera terjadi. Malah ada kemungkinan terakhir kali aku bisa melihat dan bertemu dengan Faris, hanya di hari wisuda nanti.
"Kita mau ke mana, nih? Refreshing, yuk!" ajak Ay Ay tiba-tiba.
Aku langsung mengangguk setuju, begitu juga dengan Nadia dan Nuri. Otakku hampir melepuh, saking penuhnya. Belum cukup urusan cinta, urusan tugas juga menguras emosi. Mulai dari bolak-balik ke tempat nge-print, toko peralatan seni sampai begadang hampir tiap hari. Membayangkannya lagi jadi bikin perutku melilit.
"Mau ke mana tapi? Ada ide nggak lo pada?" tanya Nadia.
"Ke Lembang! Udah lama kita nggak ke sana. Makan ketan bakar serundeng sama jagung bakar manis di pinggir jalan, terus berpetualang di kebun teh," saranku dengan mata berbinar. Mereka bertiga langsung menyetujui ide cemerlang yang aku cetuskan. Melihat pemandangan hijau memang selalu mampu menentramkan jiwa-jiwa yang kelelahan.
Massa bergerak ke gerbang depan. Melewati beberapa tempat yang seketika membuat hati terharu. Suasana kampus di siang hari yang cukup ramai oleh para mahasiswa dengan berbagai kegiatan, menerbangkan angan-anganku ke satu tahun yang lalu. Ketika menjadi mahasiswa baru dan yang ada di kepala hanya ingin serius menjalani kuliah tingkat pertama yang katanya merupakan masa penentuan terpenting. Tidak pernah tebersit di pikiran, kalau dalam waktu satu tahun itu, aku sudah harus merasakan patah hati berkali-kali.
Pandangan mataku berhenti di satu titik. Di Faris, yang sedang berjalan bersama Dita. Mereka tidak bermesraan atau bagaimana, tapi mereka berdua terlihat bahagia. Saling bertukar candaan dan tidak berhenti tertawa. Ada sekelebat rasa sakit di dada. Seperti ada yang menghimpit dan mendesakku untuk memalingkan kepala. Ay melihatku. Dia menatap prihatin. Seolah bertanya, 'Are you okay?". Dan jawabannya jelas, 'I'm not okay, Ay'.
"Meh, itu Kak Faris sama Dita!" seru Nuri sambil menyenggol lenganku.
"I know, Nuri. Gue udah lihat," jawabku pasrah.
Faris dan Dita kini berhenti di depan ATM BCA. Tempat yang akan segera kami lewati dalam beberapa langkah.
"Sapa, nggak?" tanya Nadia ragu. Aku cuma mengedikkan bahu. Berusaha tidak peduli, meski teramat sulit.
"Ya, udah. Jangan, deh. Kita langsung caw aja," titahnya tegas
Kami bertiga mengekor di belakang Nadia yang bertugas membuka jalan. Aku kembali memalingkan muka. Tidak sanggup melihat ke arah dua sejoli yang tengah dimabuk asmara. Sempat aku menyalahkan diriku sendiri yang terlalu takut menyatakan cinta, sampai akhirnya tersusul sama Dita. Awalnya aku berkilah kalau yang kulakukan itu, semata-mata adalah usaha untuk melindungi hatiku sendiri. Sekarang aku yang harus menanggung akibatnya.
Siapa suruh jadi penakut? Tahu rasa kan, sekarang.
"Meh, lo parkir di mane? Jangan ngelamun aja dong," tegur Nadia tiba-tiba sewot.
"Kok gue dimarahin? Kan gue lagi galau, Nad." Padahal aku hampir menangis, tapi malah kena omel.
Nadia mendengkus sambil menatapku galak. "Habis gue kesel, sih, sama lo. Giliran lihat si Kak Faris sama yang lain, sedih. Tapi disuruh gerak, setengah-setengah mulu. Jadi mau lo apa, Mehe ...."
Ay Ay dan Nuri menepuk-nepuk pelan pundakku. Kata-kata Nadia memang tidak ada yang salah, kok. Aku pun mengakui betapa pengecut serta bodohnya diriku ini. Sekarang yang bisa kulakukan cuma berdoa tiap malam. Semoga suatu hari diberikan kesempatan lagi untuk berjuang mendapatkan Faris, tanpa ada saingan. Meskipun, agak tidak mungkin, sih.
"Gue tahu deng, si Mehe parkir di mana. Maaf, lupa bilang," sahut Ay baru ingat.
"Ayo buruan! Gue laper pengen jagung bakar!" seru Nadia berteriak di telingaku. Mungkin maksudnya supaya aku sadar dan kembali ke dunia nyata. Iya, aku tahu kok. Kerjaanku sekarang-sekarang ini melamun terus.
"Lo bisa nyetir, nggak?" tanya Nuri khawatir.
Aku mengangguk yakin. "Bisa dong, Nur. Tenang-tenang... Sorry ya bikin kalian khawatir mulu."
"It's okay, Meh. Kita cuma nggak mau lo terlalu larut dalam kesedihan. Lo harus percaya, kalau jodoh nggak akan ke mana," sambung Ay bijak.
Betul katanya. Jodoh memang tidak akan ke mana. Semoga saja Faris tidak mendadak melebarkan sayap ke bagian dunia yang lain.
*
Setelah satu jam perjalanan, mobil yang kukendarai tiba di warung pinggir jalan dekat tangkuban perahu. Ini warung yang sering aku datangi sejak SMA dulu. Warungnya menjual beberapa macam camilan. Mulai dari jagung bakar, ketan bakar, sate kelinci, hingga mi goreng dan mi rebus yang pasti akan kupesan nanti.
Warung ini menghadap ke perkebunan teh yang luas sekali. Ada satu hal yang khas dari pemandangan yang sekarang memenuhi pandangan. Jalur tanaman tehnya yang dibuat membentuk hati. Meski sudah beberapa kali mengambil gambar, aku selalu memotret dan bahagia ketika melihatnya.
Tempat ini ampuh untuk menenangkan jiwa yang kesepian. Sekaligus ampuh membangkitkan rasa nyeri yang sempat terlupakan. Diam-diam aku sudah mulai kesusahan menahan air mata. Sedari tadi aku irit bicara. Berjaga-jaga takut kelepasan dan malah merusak suasana.
Setelah selesai memesan makanan, Ay Ay beringsut mendekat. Dia hanya mengucapkan satu kalimat pertanyaan padaku.
"Lo ... oke kan, Meh?"
Namun, efeknya sungguh luar biasa. Detik berikutnya aku menangis. Seluruh emosi sedih dan sakit yang sekuat tenaga aku simpan rapat-rapat, lolos tanpa batas. Air mataku berderai. Membuat ketiga sahabat panik. Nadia jadi mengomeli Ay Ay yang dituduh sudah memancing kesedihanku. Justru aku malah berterima kasih padanya. Setidaknya dengan menangis, sedikit banyak membuat hatiku lega.
"Nad, udah dong. Jangan ngomel mulu. Pusing gue," tegur Nuri mulai kesal. Kemudian, dia menepuk pundakku lagi. "It's okay, Meh. Sok nangis yang puas. Besok-besok jangan lagi, ya. Udah cukup air mata lo buat Faris. You deserve better, Meh."
"Thank's, Nur." Aku membalas di sela tangisan.
"Hadeuh, Mehe. Nangis mulu! Ah, gemes gue! Argh!" Nadia mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku menyusahkan banget kayaknya.
"Kenapa jadi lo yang kesel, sih, Nad?" Ay melemparkan tatapan heran pada Nadia.
"Enough, Ukhtis. Makanan udah datang. Makan sambil main poker atau UNO, mantap, sih. Lo bawa kartu kan, Ay?"
Untungnya Nuri mengambil alih. Ay mengangguk, lalu mengambil kotak kartu remi dari dalam tasnya. Sementara aku menyeka sisa cairan yang tertinggal, baru menyusul bergerak maju untuk masuk ke dalam lingkaran.
"Gue ikut."
"Nah, gitu dong. Anggap aja patah satu tumbuh seribu, Meh. Cowok kece di luar sana masih bejibun. Nggak dapet Faris sekarang, siapa tahu besok-besok dapet pangeran," celetuk Ay asal, tapi penuh semangat.
"Pangeran Thailand gitu, ya. Macam Mario Maurer. Itu sih, gue juga mau banget," sahut Nuri menimpali.
Nadia membuka mulut mungilnya. "Cuy, buruan main! Ngayal aja kerjaannya! Dasar jomblo!"
"Sialan lu, Nad!" jawab kami bertiga kompak.
*
Sejak pukul enam tiga puluh pagi, aku sudah stand by di halaman gedung Sasana Budaya Ganesha, bersama Ay Ay dan Nadia. Kalau Nuri menunggu di kampus, karena dia termasuk ke dalam grup anak TPB yang akan melakukan pertunjukan nanti.
Udara dingin begitu menusuk. Bahkan kepulan asap keluar dari mulut, setiap kali aku mengembuskan napas. Cerobohnya, pagi ini aku hanya memakai jaket katun tipis. Bukannya sweater tebal karena kekeuh ingin memakai pakaian berwarna pink. Sebab, warna ini selalu berhasil mencerahkan wajahku.
Siapa juga yang tidak mau tampil sebaik mungkin di depan gebetan untuk yang terakhir kalinya?
"Lo disuruh bawa apa aja sama kakak wisudawannya, Meh?" tanya Nadia yang terlihat bosan. Sebetulnya tugas kami baru dimulai setelah acara wisuda selesai, tapi para panitia utama meminta kami untuk stand by di halaman Sabuga sejak pagi buta.
Dari tadi para wisudawan sudah mulai berdatangan. Mataku masih setia mengawasi sekitar. Apalagi kalau bukan karena ingin melihat Faris.
"Gue bawa sandal jepit tiga pasang, nih. Terus botol minuman, sama balon aja, sih. Oh, ya bunga juga. Lupa gue. Si Trisna belom datang, ya? Gue nitip bunga ke dia." Aku baru ingat. Untung saja Nadia bertanya.
"Si Trisna katanya datang siangan. Dia beli bunganya nantian, biar fresh gitu," sahut Ay Ay. Aku mengangguk paham.
"Kalian udah pada sarapan? Kok gue laper, ya?" imbuhku sambil memegangi perut. Nadia dan Ay menatapku bersamaan.
"Lo mau cari camilan? Ayoklah barengan. Gue juga pengen makan." Nadia lebih dulu berdiri. "Ayo. Kok diem?" tanya Nadia heran.
"Ini sekarang banget, Nad? Gue kira entaran."
Setelah aku ikut berdiri, Nadia langsung menarik tanganku agar segera mulai berjalan ke arah kantin yang terletak di dalam tunnel penghubung antara area Sarana Olahraga Ganesha atau yang biasa disingkat jadi Saraga, dengan area utama kampusku. Ay Ay tidak ikut. Lagi mager katanya.
"Me, jadi lo beneran udah bye-bye sama Kak Faris, nih?" tanya Nadia ketika selesai memesan makanan.
Aku membeli kue balok, sedangkan Nadia membeli mi lidi kering rasa asin pedas. Tadinya Nadia mengajakku untuk duduk-duduk dulu, tapi aku menolak karena takut ketinggalan momen melihat Faris sebelum dia masuk ke dalam Sabuga.
"Iya, Nad. Sepertinya begitu. Habis mau gimana, dong? Harapan gue udah sirna juga," jawabku lemas.
"Ya udahlah. Cowok kan, bukan dia doang. Nanti juga lo ketemu yang lain. Sabar aja, Me. Apa gue bantu doain supaya mereka putus?" ujar Nadia menawarkan dengan wajah serius. Aku langsung geleng-geleng kepala.
"Pasti diam-diam lo juga suka ngedoain mereka pisah kan, Me?" serang Nadia lagi.
"Sebenernya, memang tiap hari gue berdoa supaya mereka terpisahkan, sih. Semoga aja setelah Kak Faris lulus, mereka jadi jarang ketemu. Jadi kesempatan gue terbuka lagi. Hehehe ...."
"Lo sesuka itu sama doi, ya? Setia banget lo, Me." Sekarang Nadia juga geleng-geleng kepala.
Iya, sejujurnya aku memang setia banget sampai menjurus ke arah bodoh, sih. Sedih.
"Suka, Nad. Suka banget. Gue udah mencoba melupakan, tapi susah. Kayaknya, perasaan gue nggak akan hilang, sampai gue lihat nama dia tertulis di kertas bentuk hati yang dikaitin ke janur kuning yang melengkung, deh." Aku mengaku jujur seraya mengembuskan napas panjang. Nadia melemparkan tatapan heran sembari memutar bola matanya. Pasti dia sudah lelah banget sama perasaanku ini. Apalagi aku?
Hah... Kenapa menyukai seseorang itu merepotkan sekali, sih?
"Me! Itu Kak Faris sama nyokap bokapnya!" seru Nadia heboh.
Jari telunjuknya menunjuk jauh ke sana. Ke arah lelaki yang kehadirannya selalu aku rindukan. Dia berjalan dengan diapit sepasang suami istri yang terlihat sudah berusia lebih dari setengah abad.
Faris memakai setelan jas berwarna hitam, lengkap dengan dasi merah gelapnya. Meskipun sekarang aku memandangi dari jarak seratus meter lebih, tapi aku bisa menangkap senyuman manisnya itu. Tanpa sadar aku ikut tersenyum. Berbahagia, meski hanya bisa melihat dan mengaguminya dari kejauhan. Seperti yang selalu aku lakukan.
"Puas-puasin deh, lo liatinnya. Belum tentu dia bakal sering ke kampus lagi setelah lulus," ucap Nadia telak. Aku sampai hampir tersedak.
Bagaimana kalau Faris benar-benar menghilang nanti? Apa aku bisa menahan rindu yang pastinya sulit terbendung ini?
Mehira say :
"Guys, nggak ada komentar soal hidup gue, nih? Kasih dukungan, kek. Atau doa gitu. Kan gue lagi galauuu banget Kak Faris lulus... Huhuhu... Btw, makasih, ya! Udah mau baca kisah hidup gue yang ngenes ini. Love you sekebonn!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro