Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 - Bucin tapi Pengecut

Bandung, 2011

Pintu ruang kelas sudah setengah tertutup ketika aku tiba di lantai empat Gedung GKU Barat. Tanpa berusaha merapikan kerudung atau kemeja motif floral yang pastinya berantakan setelah berlari dari parkiran mobil, kubuka pintu kelas sepelan mungkin. Berjaga-jaga jika ternyata dosennya sudah datang.

Benar dugaanku. Pak Andri—dosen mata kuliah Konsep Pengembangan Ilmu Pengetahuan atau yang biasanya disingkat jadi KPIP—, sudah duduk di kursinya. Beliau hanya melihat sekilas. Tidak mempermasalahkan keterlambatanku pagi ini.

Kaki melangkah secepat mungkin tanpa menimbulkan banyak suara. Menaiki beberapa undakan tangga menuju ke arah kursi kosong yang sudah disiapkan oleh Ay Ay. Salah satu dari tiga teman dekatku di kampus. Namanya Ayu, tapi panggilannya Ay Ay. Maksudnya supaya lebih singkat dan akrab. Mantap.

"Ay, bapaknya udah ngomong apa aja? Eh, absensi mane?" tanyaku sembari meletakkan tas di kolong kursi.

"Udah gue absenin tadi," jawab Ay Ay tanpa mengalihkan kepala dari papan tulis.

Merasa bingung karena kedua sahabatku yang lain belum datang, aku kembali bertanya. "Ay, Nadia sama Nuri enggak kuliah?"

Akhirnya sahabatku itu menoleh dengan wajah super malas. "Pada belum dateng semua, Meh. Palingan telat," jelasnya pendek. "Buruan nulis materi, minggu depan ada kuis."

"Waduh!"

Begitu mendengar kata 'kuis', aku langsung bergerak cepat membuka binder, mengambil pulpen dan ikut fokus mencatat materi. Di semester kedua ini aku bertekad untuk jadi lebih rajin. Jangan sampai dapat nilai C lagi, seperti semester kemarin. Orang tuaku memang tidak marah-marah, tapi tetap saja aku tidak enak.

Kelas dibubarkan tepat pada jam delapan lewat tiga puluh menit. Perutku sudah bergejolak sejak tadi, gara-gara tidak sempat sarapan. Tanpa buang waktu, aku dan Ay Ay segera menuruni banyak anak tangga hingga tiba di Kantin Borju. Tempatnya berada di Gedung Labtek V, tidak jauh dari kelas yang baru saja selesai.

Sampai sekarang aku masih belum paham kenapa namanya Borju. Mungkin karena harga makanan dan minuman di sana yang sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan harga di kantin lain. Padahal, sebenarnya tidak semahal yang dibayangkan, kok.

Saat kami sampai, area kantin sudah hampir penuh. Banyak mahasiswa yang sedang sarapan atau sekadar minum sambil menyalakan laptop. Ay Ay pamit ke kamar mandi, sementara aku memesan makanan lebih dulu sebelum duduk.

Semenjak menyukai Faris, aku jadi rajin memeriksa semua akun media sosial. Sebab, hanya dari sana aku bisa mengikuti kegiatannya selain yang kelihatan di kampus. Mataku langsung membola begitu melihat ada update foto terbaru dari akun Faris. Walaupun hanya foto punggung saja, itu sudah berhasil membuat senyum lebar terukir di wajahku. Ya, memang sesuka itu aku sama dia.

"Morning ...." Aku berbisik ke layar ponsel.

"Mata lo, cuy!"

"Astagfirullah!" Tahu-tahu, sahabatku yang tadi bolos kuliah sudah duduk di sebelah. Buru-buru kukunci layar ponsel, dan meletakkannya sembarang di atas meja.

"Enggak usah ditutupin kali. Gue tahu ya, di otak lo cuma ada si Faris!" celetuknya sekaligus menyindir.

Apa yang diucapkannya memang benar, sih. Mereka bertiga sudah menjadi saksi kunci perjalananku sebagai pengagum rahasia sejak enam bulan lalu. Belum sempat membalas perkataannya, Nadia sudah beringsut mendekat. Matanya jelalatan, mengabsen hidangan apa saja yang tersaji hangat di atas meja.

"Meh, nyicip dong!"

Lagi-lagi, jawabanku kalah cepat sama gerakan tangan Nadia. Padahal, kuahnya saja belum sempat aku cicip, lho. Namun, aku memilih tidak memperpanjang. Mehira kan, anaknya pasrahan.

"Lo tadi ke mana? Kok, nggak masuk?"

"Telat bangun gue. Mau masuk nanggung. Jadi ya udah, baru dateng sekarang, deh. Si Nuri juga nggak masuk. Belum balik dari Jakarta dia," jawab Nadia sebelum kembali menyeruput kuah soto ayamku.

Lama-lama kesal juga, ya.

"Udah, dong! Belum gue makan ini sotonya. Udah lo embat aja!" omelku sambil cemberut.

Nadia malah tertawa tanpa merasa bersalah. "Sorry, sorry. Nih, habisin tuh soto!" balas si gadis berpipi tembam yang sekarang balik mengerucutkan bibirnya ke arahku.

"Kalo laper, beli makanan sendiri, gih."

"Mager."

"Ah, elu mah. Mager mulu dipelihara."

Tuh, kan. Perkataanku tidak digubris. Boro-boro memberi respons, sekarang dia sudah asyik dengan apel kesayangan.

"Meh! Masa ada anak IKJ ngajak gue kenalan di FB," seru Nadia, mengagetkan. Menilai dari ekspresi wajahnya yang terlihat serius, aku jadi meletakkan sendok lalu mencondongkan kepala supaya bisa mengintip ke layar ponselnya. "Mana lihat?"

Nadia menggeser gawai mahalnya ke arahku. Di sana terlihat foto seorang cowok yang tidak jelek, tapi juga tidak tampan. Matanya cenderung sipit dan alisnya terlampau tebal. Mulutnya juga tidak tersenyum. Malah agak melengkung ke arah bawah. Aura si cowok itu kelihatan menyeramkan.

"Fotonya nggak banget. Lo nemu di mane? Emang kurang jelas itu status lo di profil? Aneh banget, malah ngajak kenalan pacar orang," sahutku heran.

Nadia hanya mengedikkan dagu. "I don't know. Maybe pesona gue terlalu sulit buat dilewatkan," jawabnya seraya menyibakkan rambut berombak yang masih setengah basah.

"Hair dryer lo ke mana, deh? Nyiprat, Bu."

Sambil protes, tanganku sibuk mengelap layar ponsel sampai sisi kiri pipi yang jadi korban. Sementara si tersangka yang pagi-pagi sudah membuatku mengelus dada, hanya menyengir lalu menggumamkan kata maaf. Namun, rasa penasaran yang masih tersisa, aku kembali bertanya.

"Nama cowoknya siapa, Nad? Kepo gue."

"Hm ... Takiga Ariyo. Aneh, ya, namanya. Kayaknya doi blasteran, sih. Turunan Korea apa Jepang, gitu."

"Oh ... skip udah. Di hati lo kan, cuma ada Fasih."

"Yoi, coy! Kagak minat juga gue. Chat-nya enggak gue bales, kok. Tenang ...."

Tidak lama berselang, Ay Ay pun datang. Lalu, seperti biasa kami langsung asyik mengobrol dan update gosip sembari menunggu kelas selanjutnya dimulai.

*

Jam Sembilan tepat, kami bertiga mulai berjalan ke arah gedung TPB—Tahap Persiapan Bersama—, tempat mata kuliah studio Gambar Bentuk diadakan. Ruang kelas mata kuliah studio tingkat satu, berada di area tengah kampus. Terpisah dari gedung utama Fakultas Seni Rupa dan Desain, yang berada di area depan. Ruang kelasnya besar dan luas, tapi disekat menjadi empat kelas berbeda. Aku, Ay Ay, Nadia dan Nuri berada di satu kelas yang sama, kelas empat.

Gambar Bentuk, mata kuliah yang paling kunanti setiap minggu. Meski selalu dapat nilai pas-pasan karena tidak pandai menggambar objek makhluk hidup, atau mewarnai dengan cat air, aku tetap semangat setiap kali mengikutinya. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena Faris. Asdos yang langsung bikin aku jatuh hati setelah melihatnya berjalan masuk ke dalam kelas. Bisa dibilang, ini cinta pada pandangan pertama.

Aku masih ingat jelas. Saat itu, seketika duniaku jadi hitam putih dan hanya dia yang berwarna. Semenjak hari Selasa di minggu kedua bulan Juni tahun lalu, aku suka dan langsung jatuh cinta padanya sampai sekarang.

Faris Mahesa. Tinggi, putih dan berkacamata. Wajahnya tidak setampan yang kalian bayangkan. Gaya berpakaiannya juga biasa saja. Kaus dengan kemeja sebagai luaran. Dia mengambil jurusan desain komunikasi visual, tingkat empat. Tahun ini dia lulus kuliah. Jadi, tersisa kurang dari enam bulan lagi untuk mengejar cintanya.

Namun, selama ini aku hanya berani melihatnya dari kejauhan. Terkadang juga mengajak mengobrol, tapi tidak pernah keluar dari konteks pelajaran. Aku akui nyaliku kecil sekali. Tetapi, mau bagaimana lagi. Menyatakan cinta kan, tidak semudah itu.

Begitu Pak Alvano—dosen mata kuliah Gambar Bentuk—masuk ke dalam kelas, kami langsung diminta untuk mengumpulkan tugas minggu lalu. Gambar kuda dengan media pewarna pensil yang baru selesai kukerjakan tadi malam. Setelah itu, beliau menjelaskan materi perkuliahan hari ini, yaitu gambar manusia.

Pak Alvano mempraktekkan cara menggambar manusia yang proporsional dengan berbagai posisi. Ada yang sedang berdiri, duduk, berdansa hingga berlari. Selama penjelasan berlangsung, yang terus mencuri perhatian tentunya cuma dia seorang. Pagi ini Faris memakai kemeja biru navy, yang ia padukan dengan kaus polos berwarna putih dan celana jeans berwarna senada. Kacamata berbingkai kecilnya, melengkapi penampilan kasual yang menurut ketiga sahabatku, tidak ada istimewanya sama sekali.

Setelah penjabaran materi selesai, seluruh mahasiswa ditugaskan untuk menggambar manusia yang sedang melakukan sesuatu. Untuk hari ini kami diizinkan menggambar di luar kelas, supaya lebih banyak referensi posisi untuk dijadikan objek gambar. Menggambar manusia adalah salah satu kelemahanku sejak dulu. Meski begitu, aku tetap menggambar dengan senang hati dan tidak lupa untuk selalu tersenyum. Sesekali juga berpura-pura terlihat kesusahan, supaya Faris lebih lama mengajari. Agak licik, sih. Akan tetapi, itu namanya sambil menyelam minum air. Dapat ilmu dapat juga momen berduaan sama doi. Cerdas, bukan?

Ada satu lagi tingkahku yang sering bikin Ay Ay, Nadia juga Nuri kesal. Aku sering sekali terlalu fokus memandangi Faris sampai lupa mengerjakan tugas. Mereka bilang aku bucin, tapi pengecut. Mungkin rasa percaya diriku yang kurang. Entahlah. Setidaknya untuk saat ini, aku mau fokus menikmati sosoknya saja.

Sejak tadi Faris berkeliling untuk melihat proses menggambar yang sedang kami lakukan. Tentunya aku sudah menanti-nanti saat giliranku tiba. Sembari menunggu, otak ini berpikir keras. Memikirkan pertanyaan apa yang akan diajukan, supaya Faris tertahan di sampingku lebih lama.

"Ra, ini posisi tangannya kurang ke bawah. Gue contohin yang bener ya."

Secara ajaib, Faris sudah berdiri di sebelah. Saking kagetnya, pertanyaan yang sudah sempat aku rangkai di dalam kepala, hilang semua.

"Eh. Iya, Kak," jawabku berusaha tenang. Padahal jantung sudah dag dig dug kayak lagi dangdutan.

Tangan Faris yang putih dan jarinya yang sedikit berbulu, dengan gesit menggambar posisi tangan yang benar di atas kertas gambarku. Namun, yang kulakukan malah serius memperhatikan lengannya. Bukan ke cara menggambar yang Faris ajarkan. Biasalah. Namanya juga lagi suka-sukanya.

"Oke, Kak. Nanti aku tanya lagi kalo ada yang kurang ngerti," ujarku sembari mencuri pandang ke arahnya, yang masih menunduk. Ternyata, dia juga lagi menatapku langsung ke bola mata. Hingga membuat tatapan kami bertubrukan dalam sekejap. Aku semakin salah tingkah. Mata mengerling ke sembarang arah, tapi ujung-ujungnya kembali ke titik yang sama.

Faris berdeham. "Oke. Hm ... gambar lo udah lumayan, sih. Kurang di posisi tangannya aja. Dibenerin dulu, ntar panggil gue lagi kalo udah."

Aku mengiakan dengan anggukan cepat. Begitu sosoknya menjauh, senyuman yang terulas di wajah semakin melebar. Rasanya bahagia banget bisa melihat Faris dari dekat.

Semoga saja minggu depan ada kemajuan. Amin...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro