Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Making Friend

Desah tawa masih terdengar heboh di sekitar Juwita, membuat gadis itu spontan mengumpat dengan satu kata 'Anjrit'. Beruntung suaranya tidak sampai ke telinga Pak Yunus karena dia percaya tidak akan ada seorang guru yang bisa menerima umpatan muridnya, mau pembawaannya easy going sekali pun.

"Oh, ya? Juwita, kamu mau?" Pak Yunus bertanya riang.

Juwita mau menjawab, tetapi kata-katanya diinterupsi oleh suara Jeremy lagi. "Kita perlu dua Bendahara nggak, sih, Pak? Soalnya, kan, banyak juga alokasi dana yang kita perlukan. Saskara tadi kelihatan tertarik, Pak. Lagian mereka duduk berdua, tuh. Cocoklah nagih kasbon bareng, trus kayaknya terpercaya banget kalo megang dananya bersama-sama sekalian saling mengingatkan kalo dananya terpakai untuk kepentingan pribadi."

Juwita sudah menunjukkan tanda-tanda ingin meladeni pertengkaran, tetapi Pak Yunus sudah duluan memotong, "Kayaknya ada maksud di balik kata-katamu--eh, siapa nama dia?"

Pak Yunus bertanya kepada para murid dan segera mendapat bocoran namanya. "Nah, Jeremy. Ada baiknya nggak usah ngompor-ngomporin temenmu, ya. Mereka mau atau nggak, bukan urusan kamu. Lagian Bapak nggak yakin kalo Saskara mau bersukarela jadi Bendahara. Untuk Juwita, kalo kamu nggak mau, nggak apa-apa."

Pak Yunus tersenyum lebar pada Juwita hingga memperlihatkan lesung pipinya lagi, yang memaksimalkan ketampanan beliau. Semua tahu jika Wali Kelas satu ini masih single dan satu-satunya guru yang menyandang predikat gaul di SMA Berdikari sehingga tidak heran jika banyak siswi yang memendam perasaan pada beliau.

Bahkan, Juwita sempat tersihir karena bisa dibilang tingkat kewarasannya berkurang setengah saat menjawab, "Boleh, Pak. Nggak apa-apa. Saya jadi Bendahara Kelas aja."

"Siap." Pak Yunus mengacungkan jempol dengan girang. "Kalau... Saskara Damian, gimana?"

Kini semua fokus beralih ke Saskara, membuat yang ditatap merasa ingin menjelma menjadi bunglon dan nenyatu dengan bangku yang didudukinya. Kepalanya ditundukkan sedalam mungkin, membuat Juwita mengerti mengapa cowok itu nyaman dengan kesendiriannya.

Itu karena dia sangat tidak ingin di-notice oleh siapa pun, seolah ada aib yang harus dia jaga serapat mungkin.

Oleh sebab itu, Juwita merasa terpanggil untuk membantunya. "Saskara nggak bersedia, Pak. Jangan paksain, ya."

Meskipun pada akhirnya Saskara tidak jadi bergabung di daftar pengurus kelas, tetap saja sejak saat itu, ada kecurigaan yang bersemai di antara duo Juwita dan Saskara.

Antara gadis yang baru masuk ke ruang lingkup murid berprestasi dengan lelaki yang tidak pernah di-notice keberadaannya. Ini tentu akan menjadi topik yang menarik untuk di-ghibah-in di belakang mereka.

Siapa yang tahu bagaimana hubungan keduanya ke depan hari?

*****


Saskara belum tahu bagaimana rasanya berinteraksi dengan teman, tetapi sejauh pengalamannya menjadi siswa selama lebih dari sepuluh tahun, belum pernah sekali pun dia menemukan teman yang pas.

Saskara bukan mengharapkan teman yang sempurna, melainkan yang bisa menerima dia apa adanya. Namun, ketidakmampuannya bertutur kata membuat semua orang mengira dia memilih-milih teman atau yang paling parah, mengira dia mengidap semacam autisme saking sulitnya bersosialisasi. Awalnya, cowok itu merasa kesulitan melewati hari demi hari karena sehebat apa pun kemampuannya menjalani hari-hari sendirian, dia membutuhkan beberapa teman untuk membentuk kelompok di kelas. Mungkin ada sejumlah guru yang berbaik hati untuk tidak mempermasalahkan Saskara sendirian tanpa berusaha mencari teman kelompok, tetapi sebagian yang lain menyayangkan situasi Saskara yang tidak mampu berinteraksi dengan teman. Jadilah dia semakin dikenal sebagai sosok yang anti sosial dan tidak sedikit yang mengata-ngatainya di belakang karena sehoror itu.

Ya, bagi banyak orang yang mengenal Saskara, cowok itu tak ada bedanya dengan anak dukun yang mana eksistensinya terasa begitu misterius. Maka tidak heran jika banyak siswa yang menjauhinya seolah-olah Saskara mempunyai kekuatan untuk mengguna-gunai mereka jika ada yang berani membuatnya kesal.

Itulah sebabnya mengapa Saskara mendapat intuisi yang cukup unik ketika dipertemukan dengan Juwita, siswi yang memilih menjadi teman sebangkunya selama setahun ke depan. Konteksnya memang hanya bangku tersebut yang satu-satunya tersisa, tetapi tetap saja, gadis itu mengajaknya berbicara secara berkala dan memperlakukannya seperti teman normal lainnya.

Tidak sekali pun Juwita memandangnya dengan sorot tidak suka atau takut meski awalnya sempat kaku. Ketika gadis itu mengajaknya berbicara, Saskara segera tahu bahwa tanggapannya berbeda. Buktinya, Juwita tetap mengajaknya mengobrol padahal teknisnya, mereka tidak berada dalam situasi untuk mengobrol santai. Ada saja topik yang dibahas, membuat Saskara mau tidak mau harus menjawabnya. Awalnya terasa kaku dan tidak menyenangkan karena didistraksi berkali-kali ketika dia terbiasa melewati jam-jam sibuk di sekolah sendirian, tetapi dengan adanya eksistensi Juwita, sepertinya Saskara harus terbiasa untuk melenturkan lidahnya.

"Happy one week for our friendship." Juwita nyengir, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi sesampainya di kelas dan menjambangi bangku huniannya. Saskara masih sekalem biasanya, tetapi setidaknya dia tak lagi memilih abai dan malah sudah tidak sungkan memperlihatkan senyuman.

"Hm."

"Nggak terasa, ya, Sas."

Saskara hanya memandang Juwita balik, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

"Udah Senin lagi. Kenapa, ya, kita harus upacara setiap hari Senin? Jarak dari hari Minggu ke Senin itu berdekatan, sebaliknya hari Senin ke Minggu itu berjauhan. Kenapa weekend bukan di pertengahan minggu aja, sih? Kenapa harus ujung ke ujung, coba?"

"Karena kalo pertengahan bukan weekend namanya."

"Iya, ya. Weekmiddle? Atau weekcenter? Aneh juga, ya. Muehehe...."

Bel berdering sejurus kemudian, menandakan bahwa semua murid harus berkumpul di lapangan untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera. Juwita tak lagi sungkan berjalan di sebelah Saskara, berbanding terbalik dengan Saskara yang masih sekentara itu menunjukkan bagaimana langkahnya berjalan kaku. Meskipun demikian, nyatanya, lagi-lagi dia memilih untuk tidak berkata apa-apa seolah-olah setiap sel dalam tubuhnya otomatis disetel untuk me-reset kala mendeteksi adanya reaksi.

"Lo masih kaku, ya, sama gue? Udah, santai aja. Anggap aja lo lagi jalan sama banyak orang--eh, iya. Lo nggak suka keramaian. Ya, udah. Kita jalan di tepian aja."

Juwita menarik ujung seragam Saskara tanpa permisi, yang seharusnya tidak ada aksi romansanya sama sekali, tetapi tetap saja mengundang banyak perhatian murid yang tengah berada satu jalur menuju lapangan. Salah dua di antaranya ada Friska dan Vina, yang mana adalah teman segeng Juwita, tetapi rasanya sudah lama sekali sejak gadis itu mengabaikan kedua temannya.

Entahlah. Sejak berteman dengan Saskara, jujur, untuk pertama kalinya Juwita merasakan pertemanan yang benar-benar teman karena sarat akan ketulusan di dalamnya.

Karena Juwita tidak membutuhkan teman sempurna yang mendekat ketika dia mempunyai background yang sempurna. Yang dia butuhkan adalah yang menerima dirinya apa adanya.

Dan bisa dibilang, Saskara Damian memenuhi kriteria itu.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro