Dejavu
Kini, Anulika semakin mengerti mengapa pada momen-momen tertentu dia merasa penasaran dengan Saskara sebab ternyata ada sesuatu yang lebih kompleks dan tidak disangkanya.
Itu terjadi ketika tatapan mereka bersinggungan dalam waktu yang lama dan untuk pertama kalinya, jarak di antara mereka menjadi lebih dekat dari yang seharusnya. Kemudian seolah-olah tidak cukup, ada memori lain yang singgah dalam pikiran Anulika seperti sedang bernostalgia.
Itulah sebabnya mengapa gadis itu memilih menolak tawaran Pak Yunus. Selain masih ingin menata perasaannya, dia merasa perlu untuk berbicara empat mata dengan Saskara.
"Saskara." Anulika memanggil, membuat gerakan Saskara yang sedang berusaha mengoleskan obat merah pada sikunya sendiri jadi terhenti. Cowok itu mengalihkan pandangan ke arahnya dalam diam, menunggu gadis itu berbicara.
Anulika sudah mau bertanya, bahkan sudah menyiapkan pertanyaan bertubi-tubi dari dalam pikirannya, tetapi tidak jadi saat melihat luka di siku Saskara yang mana akan sulit dijangkau jika diobati sendiri. Maka alih-alih menuruti egonya, gadis itu memutuskan untuk membantu cowok itu menyembuhkan lukanya terlebih dahulu.
"Sini, gue bantuin."
"Nggak usah. Saya bisa sendiri."
"Gimana mau sendiri? Itu luka di siku nggak kelihatan kalo obati sendiri."
"Hng...."
"Sini, makanya." Anulika nyolot, lantas merebut cotton bud untuk menggantikannya mengobati luka. Benar saja luka itu tidak terobati sepenuhnya karena ada area yang tidak terjangkau oleh obat merah.
Saskara meringis kala indra perasanya bereaksi terhadap obat merah, tetapi Anulika tahu sakitnya lebih dari itu. Sepertinya sewaktu terjatuh, bagian sikunya bergesekan dengan bebatuan kecil yang menyebabkan goresan yang cukup dalam meski untungnya sudah tidak mengeluarkan darah.
"Lo beruntung karena Justin selalu siaga sama perlengkapan yang kayak gini." Anulika memulai, tetapi masih sibuk dengan penanganan luka sehingga tidak menatap langsung sewaktu berbicara. "Juga, darah lo nggak merembes terus. Lo ngapain memangnya sampe jatuh gitu?"
"...."
Bungkamnya Saskara tidak lantas membuat Anulika memaksanya menjawab, seolah sudah terbiasa dengan aksi diamnya. Dia juga ikut diam sampai selesai mengobati luka pada siku Saskara yang lain. Berbeda dengan yang tadi, luka pada lengan bagian kanan jauh lebih samar.
"Udah. Lutut lo gimana?" tanya Anulika sambil menunduk, tepatnya perhatian itu tertuju pada lutut Saskara. "Luka juga, 'kan?"
"Nggak luka, kok. Nggak apa-apa."
"Apanya yang nggak apa-apa?" Anulika lagi-lagi nyolot, menuding lutut Saskara dengan dagunya. "Jangan anggap sepele luka walau nggak parah. Mumpung ada obat, ya dipake aja. Kalo ada komplikasi lain trus sampe dibawa ke UGD, gimana?"
Anulika mengerling sesaat ke Saskara, lantas mendengkus keras. "Kalo nyatanya luka itu dalem, mesti dijahit, toh?"
Saskara membungkuk, menggulung celana olahraganya sampai batas paha, dan memperhatikan bagian lututnya dengan saksama. Seperti prediksi Anulika, bagian tersebut memang terluka, tetapi rupanya tidak separah di siku.
"Kepalamu juga perlu diobati." Saskara akhirnya berujar setelah selesai mengoleskan obat merah pada semua lukanya.
"Iya, gue tau."
"Iya. Maksud saya, saya minta kamu berbalik."
"Oh." Anulika mengubah posisi duduknya hingga bagian punggungnya menghadap Saskara. Lantas, gadis itu menyentuh bagian belakang kepala, mencoba meraba di mana lukanya.
"Kayaknya nggak separah yang gue kira," gumam Anulika selagi tangannya menjelajah di area kepalanya. "Kayaknya di... aw! Di sini rupanya, gue kira di--"
"Jangan dipegang, bisa infeksi."
"--tengah." Anulika menyelesaikan kata terakhir dengan nada lemah, sebagai peralihan agar tidak terlihat super canggung atas spontanitas Saskara. Dia sadar betul tindakan itu bermakna impulsif semata, tetapi tetap saja, kedua tangan mereka bersentuhan dan sejujurnya Anulika merasa canggung dengan hal itu.
"Saya terpaksa kasi plester biar perbannya nggak lepas, ya." Saskara berkata. "Mungkin bakal sakit saat ditarik kembali, tapi itu lebih baik daripada nggak dikasih pengaman seperti gini."
"Iya."
"Kalau sakit bilang, ya."
"Iya."
"Saya salah nempelin. Saya benarin dulu. Maaf, ya."
"Ternyata lo bisa bawel juga, ya, Sas. Bikin gue semakin yakin kalo lo adalah orang sama yang gue kenal."
"Hah?" Saskara membeo, mulai kembali ke mode nge-lag.
"Kenapa lo berpura-pura nggak ngenalin gue?"
Gerakan Saskara berhenti tepat pada saat itu. Walau Anulika tidak bisa melihat ekspresinya, dia tetap bisa menduga bagaimana kata-katanya tadi berhasil membuatnya syok.
"Seharusnya lo lebih ingat karena lo tau nama gue. Gue aja yang nggak tau nama lo waktu itu."
"...."
"Saskara. Jawab, dong."
"I-itu...."
"Tempelin dulu plesternya."
"I-iya."
"Jadi, jelasin alasan lo sekarang." Anulika memberi perintah setelah Saskara menyelesaikan apa yang tertunda barusan. "Kita ketemunya waktu masih kecil, 'kan? Yang ngajak gue berantem? Itu lo, 'kan?"
"Hng.... Bukan."
"Kentara banget boongnya. Dah ketahuan itu."
Saskara spontan menggaruk bagian tengkuknya.
"Walau beda situasinya, tapi lo pernah jatuhin gue ke tanah dan kita berantem hebat waktu itu. Walau durasinya singkat dan kejadiannya udah lama banget, nyatanya gue bisa ngerasain dejavu."
"Itu bukan saya."
"Kembaran lo maksudnya?" Anulika langsung mengejek. "Gue bisa pastiin ke Pak Yunus sekarang juga kalo lo masih mau menyangkal."
"Itu bukan saya." Kali ini, nada Saskara terdengar begitu tegas. Mungkin itulah sebabnya mengapa Anulika langsung terkesiap. "Itu pribadi yang lain."
"Hah?"
"Ceritanya panjang."
"Ceritain sekarang. Masih ada waktu."
"Kita harus kembali."
"Nggak ada yang nyariin."
"Nanti kita dihukum."
"Bagus juga idenya. Sekalian cuci WC vila kali, ya, biar obrolan kita bisa lebih lama."
Saskara menarik napas seolah menuntut kesabaran yang tinggi, tetapi Anulika malah menganggapnya sebagai persiapan untuk bercerita.
"Nah, bagus. Gue siap mendengarkan."
"Anulika."
"Gue perlu tau mengapa lo bisa 'menyerang' gue dengan brutal kayak gitu. Lo tau apa yang terjadi setelahnya? Oh, iya. Lo nggak mungkin tau karena lo nggak di sana, karena lo nggak liat apa yang terjadi, dan karena lo nggak ngerasain gimana rasanya berada di posisi gue.
Lo pasti mau bilang masalahnya simpel, 'kan?" Anulika melanjutkan, memilih abai ketika melihat bagaimana Saskara sedang membuka mulut untuk membela diri. "Lo mungkin mikir bukan hal besar karena bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi bisa jadi juga, gara-gara lo, sejak saat itu gue berhenti sok peduli sama orang."
Saskara masih bertahan dalam diam, tetapi jika ditilik dari ekspresi Anulika, gadis itu tidak mungkin membiarkan keadaan ini lewat tanpa mendapat penjelasan yang sejelas-jelasnya.
"Lo berutang penjelasan sama gue."
"Saat itu... saya baru kehilangan orang tua."
Gantian Anulika yang membisu seolah satu kalimat tersebut berhasil memantrainya hingga membuat gadis itu membeku di tempat. Walau tidak terlalu ingat dengan kata-kata yang dia lontarkan ke Saskara pada saat itu, yang jelas, gadis itu sempat sok memberi wejangan tentang arti keluarga.
Mungkin itulah yang membuat Saskara lupa diri hingga melakukan aksi di luar kesadarannya.
"Saya tau kamu mau menghibur saya, tapi saat itu yang saya butuhkan bukan penghiburan yang kayak gitu. Juga... saya masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan. Maka, begitulah yang terjadi saat itu. Saya minta maaf."
Penuturan Saskara seketika menggali memori Anulika kembali. Meski penglihatan tersebut samar, nyatanya gadis itu masih mengingat 'penghiburan' yang dimaksud Saskara.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro