Bab I: First Summer
Ini musim panas pertamaku
Ini senyuman pertamaku
Setelah sekian lama aku berjibaku
Ini adalah diriku yang baru
***
Summer tak henti memandang jajaran bukit dengan decak kagum. Hamparan hijaunya sawah menyegarkan mata. Sebiru hijaunya air danau menenangkan pikiran. Udara sejuk merasuk melalui rongga hidung. Semilir angin menerpa bunga-bunga, membawa pergi harumnya aroma. Kicauan burung riang saling bersaut-sautan. Teriknya sinar mentari menandakan musim panas telah tiba.
***
Summer menatap bengong layar ponselnya. Sudah dapat dipastikan, bahwa ia salah tempat pemberhentian. Untuk tiba dirumah kakek dan neneknya, ia seharusnya turun di halte selanjutnya yang berjarak satu setengah kilometer dari tempat dirinya berada sekarang. Itu bukanlah jarak yang singkat, yang dapat dengan mudahnya ditempuh oleh kaki. Di desa jarang sekali terdapat kendaraan, tak seperti di kota yang dibanjiri puluhan kendaraan. Sepeda saja jarang.
"Oh, damn! Why did this happen to me?"
Summer tak ingin membuang-buang waktunya lagi. Dia ingin tidur siang dirumah kakek dan neneknya. Tak ada waktu baginya untuk mengeluh. Lebih baik cepat berjalan saja. Meski begitu ... setidaknya, usahanya akan terbayarkan oleh indahnya pemandangan dan tenangnya suasana pendesaan. Summer kembali menggendong tas ranselnya yang sempat ia letakkan di kursi halte--berat--serta sekantong plastik yang berisikan oleh-oleh dari kota. Baginya, tak enak jika pergi mengunjungi seseorang tanpa membawa sebuah bingkisan.
Sembari menempuh perjalanan, sesekali ia menghentikan langkah kakinya--melihat para orang tua yang sibuk menanam padi serta anak-anak yang asyik bermain air di sungai. Tangannya terasa gatal jika tak memotret--mengabadikan--momen ini. Dia lalu menyalakan kamera yang digantungkan dilehernya dan menekan tombol potret, CEKREKK!!
20 menit berlalu, sebentar lagi ia akan tiba dan akhirnya dapat menikmati tidur siang pertamanya di rumah kakek dan neneknya. Jalanan beraspal telah berakhir. Hanya ada hamparan sawah yang luas membentang dihadapannya. Untuk tiba dirumah kakek dan neneknya, ia harus melewati hamparan sawah milik paman Ndut--seorang pemilik sawah--kepada siapa kakeknya bekerja. Tak lupa ia juga harus melewati hutan. Rumah kakek dan neneknya... dapat dikatakan berada di pelosok. Sangat jauh dari rumah penduduk desa yang lain. Meski begitu masih ada dua rumah yang sama letaknya berada di pelosok, salah satunya rumah paman Ndut.
Summer lalu melepaskan alas kakinya. Mengikat kedua tali sepatu dan menjinjingnya di tangan kirinya. Mulailah ia menapaki jalan di tengah sawah. Sedikit licin dan hampir saja tergelincir. Di sebelah kiri, terdapat sebuah selokan kecil. 'Airnya begitu jernih dan dipenuhi ikan, namun aku telah menggotorinya.'
Pandangannya kembali teralihkan dan langkahnya kembali terhenti. Bukan. Bukan kembali teralihkan melihat orang-orang yang sibuk menanam padi ataupun anak-anak yang riang gembira bermain di sungai. Sebuah ersel yang lengkap dengan kanvas dan cat air di letakan tepat di pinggiran sawah. Tak ada orang di sekitarnya. Namun, tak mungkin juga ada orang yang meletakkan alat lukisnya sembarangan.
Sempat terpikir dibenaknya mungkin saja itu milik paman Ndut. Tetapi, seingatnya paman Ndut sama sekali tak memiliki ketertarikan di bidang seni. Ahh... maksud Summer, paman Ndut memiliki koleksi uku lele meskipun tak dapat 'memainkannya'. Tentu saja paman Ndut bisa. Hanya saja, jika kalian mengharapkan sebuah permainan uku lele yang indah maka ekspetasi kalian akan hancur olehnya.
Dia lalu menghampiri arsel yang di letakkan di pinggir sawah. Mengintip lukisan yang terlukis di atas kanvas, pemandangan pendesaan yang indah. Dia yakin, bukan paman Ndut yang membuatnya; mungkin itulah apa yang Summer pikirkan sekarang.
"Wahh, apa ini? Ada Summer. Lama tidak bertemu, kamu sudah semakin besar saja. Terakhir kali paman lihat kamu sebesar pohon tauge sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik." suara bass disertai serak-serak basah datang mengejutkannya. Suara yang tak asing ditelinganya--dia adalah Paman Ndut yang baru saja Summer bicarakan.
Seperti namanya 'Ndut' tubuhnya pun 'ndut'--gemuk. Tingginya sekitar 165 centimeter. Berperawakan besar serta gemuk, jika ingin dikata, tubuhnya bak bola yang dengan mudahnya dapat digelindingnya. Perutnya buncit seperti kebanyakan bapak-bapak. Wajahnya yang bersih tanpa kumis bahkan juga rambut--Paman Ndut adalah orang botak. Mengenakan celana kolor berwarna biru muda dengan atasan berwarna putih bergambar partai. Ciri khas seorang petani.
"Ahaha, apa yang sedang Paman Ndut lakukan disini?" tanyanya dengan canggung. Pasalnya baru saja dirinya membicarakan Paman Ndut dan sekarang orang itu malah datang mengejutkannya.
"Biasa, menanam padi. Hahaha! Kata kakekmu, hari ini kamu pulang kampung jadi aku memberinya hari libur." Ciri khas Paman Ndut adalah selalu menjawab pertanyaan seseorang diikuti suara gelak tawanya yang khas bapak-bapak. "oh ya, apakah Summer melihat anak paman? Dia yang melukis pemandangan itu, indah, bukan? Hahaha!" tanya Paman Ndut serasa melengok sana-sini.
'Jadi yang membuat lukisan itu adalah anaknya? Tapi ... yang mana? Tak mungkin jika 'bocil' pembuat onar itu yang membuatnya.' batin summer.
'¹can't imagine it, how could that kid make it.'
"Yah, sejujurnya Suny berpikir untuk tinggal di sini. Tapi... entahlah, Paman. Oh ya, anak paman yang melukis itu... siapa?" Summer bertanya balik. Suny--adalah panggilan lain yang diberikan seseorang untuknya.
"Ahh, dia itu anak paman yang pertama. Yang dulu tinggalnya dirumah sakit, sudah tiga tahun sejak dokter mengatakan bahwa leukimianya sudah sembuh, jadi sekarang dia di ijinkan untuk tinggal di rumah. Hahaha!" jelas Paman Ndut diikuti lagi suara tawanya yang khas. Entah apapun pembicaraannya, Paman Ndut akan mengikuti sertakan tawa. Katanya, supaya suasananya tak akan menjadi canggung. Tapi, menurut orang-orang, tawa Paman Ndut justru akan membuat suasana menjadi semakin canggung.
"Ahh... seperti itu. Maaf, Paman... sejak Suny tiba di sawah, Suny tak melihat siapapun kecuali paman." Jawabnya seraya mengalihkan pandangannya dan tersenyum getir. Bukan getir, hanya terpaksa.
"Yasudah, mungkin dia sedang bermain di tempat itu. Ahh... Paman lupa, kamu pasti sudah lelah, ya? Kalau begitu pulanglah, kakek dan nenekmu pasti sudah menunggumu."
"Baiklah, Paman. Terimakasih, Suny permisi dulu." pamit Summer kepada Paman Ndut seraya menundukkan kepala lalu meninggalkan Paman Ndut sendirian. Anaknya yang seumuran denganku? Meskipun aku melihatnya, aku pun belum tentu mengenalnya. Pasalnya aku tak pernah bertemu dengannya, sekali pun; mungkin itulah apa yang Summer gumankan seraya mengernyitkan alisnya.
"Hais, semoga anak itu baik-baik saja. Ya ... dia akan baik-baik saja" guman Paman Ndut. Summer tahu betul, sekalipun Paman Ndut berbisik-bisik suaranya akan tetap terdengar oleh orang lain. Paman Ndut sama sekali tak tahu bagaimana berbisik yang benar.
'Terimakasih, Paman, telah mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Aku hanya ... tak dapat kembali menjadi Summer yang dulu. Tapi tenang saja, lihatlah, sekarang aku mempu tersenyum. Aku baik-baik saja. Baik ... ya? Satu kata seribu arti.'
Summer menolehkan sedikit kepalanya kearah kiri seraya tersenyum getir dengan matanya yang berubah menjadi sayu.
Sunday, 1 August 2021
Sun Want To Know:
1. Aku tidak bisa membayangkan jika anak itu yang membuatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro