58. Akhir Dari Perang
"Lo dapet dari mana ART di rumah lo itu? Dia dibayar sama bokap lo, Nish. Dia yang bius Nara dan membiarkan orang-orang suruhan bokap lo bawa Nara ke Pendopo Agung. Paman Sawiji sekarang di rumah sakit, kepalanya terluka. Gue sama nyokap nemuin dia nggak sadarkan diri di rumah lo. Kita nggak bisa lapor polisi, nyawa mama lo terancam. Lo sekarang balik ke Jakarta secepatnya, sebelum Nara kenapa-napa."
Usai pesawatnya landing, Danish langsung melesat menuju Pendopo Agung.
Roda mobil yang ditumpangi Danish berhenti di depan halaman Pendopo Agung bersamaan dengan gerimis jatuh ke bumi. Langkahnya besar menaiki tangga teras dan mendorong pintu raksasa itu dengan kasar, langkahnya mengayun seolah tak bisa dihentikan. Matanya menajam dengan raut marah, dua bahunya tegak dan tegas.
"Nara! Nara! Kamu di mana? Nara!" teriak Danish.
Langkahnya terus mengayun melewati ruang tamu, lalu ke ruang tengah di mana ia berpapasan dengan Sarah yang sedang menggendong bayinya.
"Heh, berani-beraninya kamu ke sini?" sergah ibu tirinya itu. "Penjaga! Penjaga!"
Tanpa gentar dan melirik sedikit pun, Danish melewati Sarah begitu saja. Langkah Danish terus mengayun melewati ruang tengah, hingga akhirnya langkahnya berhenti di anak tangga pertama saat menangkap sosok ayahnya sedang mengelap stik golf berdiri di puncak tangga.
"Di mana istriku?"
Candra tersenyum tanpa menatap putranya, ia terus mengelap stik golfnya seperti tak terusik dengan kehadiran Danish.
"DI MANA ISTRIKU!?"
Di balik kaca matanya, bola mata Candra mengarah ke Danish. Usapan tangannya di stik golf berhenti.
"Di mana surat itu?"
Urat-urat leher Danish terlihat jelas, wajahnya menahan amarah yang meledak-ledak. Jenis ayah yang seperti apa di depannya ini? Dia tega harus berperang dengan darah dagingnya sendiri hanya karena sebuah harta dan takhta.
"Kau pikir aku tidak tahu ke mana kau pergi hari ini, Danish?"
Candra tertawa. Terbahak-bahak.
Pasti Neni yang membocorkannya. Merekrut Neni menjadi ART di rumahnya adalah kesalahan terbesarnya, padahal ia yakin aman karena Neni dari Yayasan terkenal. Ternyata itu sama sekali tidak menjamin.
"Kau sudah menemukannya?"
Danish menatap ayahnya nyalang. Bibirnya masih bungkam.
Candra menuruni anak tangga satu persatu, mendekat ke Danish.
"Katakan di mana surat itu?"
"Katakan dulu di mana istriku?" jawab Danish.
"Kau mencoba bernegoisasi denganku?"
"Kenapa tidak?" tantang Danish.
Candra tersenyum kecut, tak lama dia mengisyaratkan anak buahnya untuk membawa Danish keluar rumah, menyeretnya ke dekat kolam. Danish berontak, tetapi kalah jumlah dengan anak-anak buah Candra.
Candra terlihat murka, langkahnya menyusul Danish yang dibawa keluar. Tangannya ringan menampar dan menghajar putranya sendiri seperti yang sudah pernah ia lakukan berkali-kali saat Danish kecil hingga beranjak dewasa. Kebutaannya pada harta membutakan sisi kemanusiaannya sebagai ayah. Di bawah guyuran hujan deras, kepalan tangan dan kakinya beberapa kali menghantam tubuh Danish.
"Berani-beraninya kau bernegoisasi denganku! Berani-beraninya!"
Danish meringkuk kesakitan, darah yang keluar dari sudut bibir mengalir disapu deras hujan. Napasnya tersengal-sengal menatap langit gelap dengan cahaya kilat menyambar-nyambar.
"Di mana istriku, Pa? Dia nggak tahu apa-apa, tolong jangan sakiti dia," ujar Danish di tengah batuknya yang mengeluarkan darah.
Candra kembali menghantamkan kakinya ke perut Danish.
Danish kembali terbatuk-batuk.
Tangan Candra mencengkeram rambut Danish, "Katakan di mana surat itu?"
"Katakan dulu di mana ... istriku..."
"Kurang ajar!" Candra menindih tubuh Danish, menghajarnya berulang kali.
"Mas! Mas Candra, udah! Udah! Kamu bisa membunuhnya!" sela Sarah yang melihat kebrutalan suaminya. "Mas inget bentar lagi Pemilu!"
Dua anak buah Candra menarik Candra dari atas tubuh Danish yang terkapar dengan banyak darah. Danish terbatuk-batuk, ayahnya itu benar-benar ingin membunuhnya.
"Suratnya di sini!" Marvin datang membawa kotak tua yang Danish bawa dari rumah orang tua Papi. "Suratnya sudah aman, Pak Candra."
Candra tertawa terbahak-bahak. Dia benar-benar merasa menang. "Good."
"Danish sudah kalah, jadi kita akhiri saja," kata Marvin.
Pria itu benar-benar penghianat?
Candra mencengkeram kerah baju Danish yang penuh dengan darah, "Waktumu tidak banyak. Pilih istri atau mamamu?"
"Maksudnya?"
"Kau pilih yang mana? Siapa yang ingin kau selamatkan?"
"Pa, Papa sudah mendapatkan suratnya dari sahabatku yang berkhianat," ujar Danish sambil melirik Marvin yang menatapnya datar membawa kotak kayu tersebut. "Papa bisa membakar dan melenyapkan surat itu. Jadi, ada tidak adanya mama dan istriku, sudah tidak akan menganggu kekuasaanmu!"
"Itu tidak akan seru."
"Pa, aku mohon... aku sudah kalah, aku mohon ..." pinta Danish dengan kesungguhan, dengan air mata yang bercampur hujan dan darahnya.
"Pilih istri atau ... mamamu?"
"Pa..."
"Waktumu tidak banyak."
Danish memejam tidak bisa memilih siapa yang akan diselamatkannya. Nara yang tengah mengandung buah hatinya yang juga wanita yang amat dicintainya atau ibu yang melahirkannya?
Danish ingin menyelamatkan dua-duanya. Namun, ayahnya ini benar-benar iblis!
"Pak Candra—"
"Diam kau!" sergah Candra pada Marvin yang ikut campur. "Jadi siapa yang kau pilih, Danish?"
"Aku bisa menyelamatkan dua-duanya."
"Oh, ya?" Candra tersenyum meremehkan. "Oke, ini akan seru."
"Jadi di mana mereka?!"
Candra melepaskan cengkeraman di kerah Danish, pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Dalam lima menit, Pendopo Alit akan ... terbakar."
"Bajingan!" umpat Danish sembari menguatkan dirinya sendiri untuk bangkit dan berlari menuju Pendopo Alit.
Candra tertawa terbahak-bahak.
"Selamat, Pak Candra. Anda sudah menang!" kata Marvin. "Saya tidak hanya membawa surat ini, tapi juga saya membawa wartawan."
Tiba-tiba dua orang membawa kamera muncul dari belakang Marvin. Semua orang terkejut, terutama Candra yang tangannya penuh dengan darah setelah membabi buta menghajar putranya sendiri. Kecurigaan Danish bahwa Marvin adalah penghianat adalah benar, Marvin yang memberitahu soal kejadian Nara terluka, dia juga yang memberitahu Nara resign dari kantornya. Itu semua dilakukan semata-mata karena untuk mendapatkan kepercayaan Candra.
Marvin memang penghianat, bukan untuk Danish, tetapi untuk Candra.
Paman, Marida dan Marvin menyusun rencana ini dan tidak melibatkan Danish karena mereka tahu Danish memiliki titik lemah, yakni Nara. Awalnya Candra tidak percaya, tetapi Marvin mengaku bahwa dia tertarik dengan tawaran Thunder Holdings dan berniat menghianati Danish. Karena itu Marvin dengan mudah lolos penjagaan ketat Pendopo Agung dan membawa dua wartawan untuk meliput kebiadaban Candra.
"Kalian merekamnya, kan?" tanya Marvin pada wartawan senior di sampingnya.
"Ini siaran langsung, Pak," jawab salah satu wartawan.
Selama ini Danish telah salah mengira bahwa Marvin adalah penghianat. Ternyata pria itu benar-benar murni sahabatnya.
Asisten pribadi Candra mendekat dan memperlihatkan salah satu televisi swasta sedang menayangkan siaran langsung.
Candra tersenyum kecut. Tamat riwayatnya sudah.
"Penjaga! Penjaga!" Sarah berteriak, "Usir mereka! Kalian melanggar UU ITE! Ini pencemaran nama baik!"
"Diam kau!" sergah Candra pada Sarah.
Sarah tampak tidak terima, sedikit lagi dia akan menjadi istri gubenur. Tidak mungkin hari ini akan menjadi akhir dari segala perjuangannya selama ini.
"Pergi kalian dari sini! Jangan merekam! Jangan merekam!" Sarah berusaha menghalangi kamera yang menyorot suaminya.
Marvin langsung berlari menyusul Danish ke Pendopo Alit.
"Nara! Mama!" teriak Danish menaiki tangga Pendopo Alit dan mendorong pintunya, lalu masuk. "Nara! Nara!"
Asap mengepul dari arah kamar mamanya.
"Mama!" panggil Danish sambil tertatih karena kesakitan sekujur tubuhnya, dia mencoba membuka pintu kamar sang mama, tetapi terkunci. "Mama!"
"Kak Danish?!" samar-samar suara Nara terdengar dari balik pintu kamar tersebut.
"Nara? Nara, kamu di sana, Sayang? Nara!" Danish mencoba mendobrak-dobrak pintu tersebut.
"Kak! Uhuk! Uhuk!" terdengar suara Nara yang terbatuk-batuk.
Asap semakin mengepul.
"Nara, kamu baik-baik aja? Nara!"
"Mama... Mama di sini, Kak. Mama pingsan. Simbok juga ada di sini."
"Tunggu, ya, Sayang, aku pasti keluarin kalian semua dari sini."
Danish mencoba menendang-nendang pintunya. Marvin datang tak lama dari itu, ia pun turut menendang-nendang pintu.
"Kita dobrak bareng, Nish!"
Danish mengangguk.
"Dalam hitungan ke tiga... satu... dua... tiga!" interuksi Marvin.
Secara bersamaan keduanya mendobrak pintu hingga akhirnya pintu itu terbuka. Asap memenuhi kamar ini, api berasal dari gorden jendela yang sengaja dibakar oleh Candra beberapa waktu lalu saat mengetahui Danish akan tiba di sini.
Roro, mama Danish tergeletak tak sadarkan diri, begitu juga dengan Simbok.
"Nara, Sayang, kamu baik-baik aja, kan?"
Meski terlihat lemas karena menghirup asap terlalu banyak, Nara mengangguk. "Bawa Mama sama Simbok keluar dulu, Kak. Aku masih aman."
"Nggak, kita keluar bareng. Aku bisa bawa kamu sama Mama."
Marvin tanpa perintah langsung menarik tangan Simbok untuk dipapah keluar dari Pendopo Alit.
"Ayo, Nara," kata Danish setelah menarik tangan mamanya untuk dipapah. Tiba-tiba Danish merintih kesakitan dan ambruk ke lantai, tulang rusuknya kemungkinan cidera akibat pukulan dari sang ayah.
"Kak, aku baik-baik aja. Kamu bawa mama dulu, ya. Cepet, Kak. Kita udah nggak ada waktu, apinya makin besar!"
Danish tampak ragu.
"Ayo, Nish, cepet!" ujar Marvin di pintu yang sedang membopong Simbok.
Dengan dorongan penuh, Danish membopong mamanya. "Kamu tunggu, ya, Sayang. Aku pasti cepat kembali ke kamu."
Nara mengangguk. Dia juga berusaha berdiri, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemas untuk berjalan keluar sendiri.
Danish dan Marvin berhasil membawa Roro dan Simbok keluar dari Pendopo Alit, mereka meletakkan keduanya di luar gapura Pendopo Alit. Setelah itu Marvin langsung menghubungi ambulance dan polisi, sementara Danish kembali ke Pendopo Alit untuk menyelamatkan Nara.
Baru saja kaki Danish menginjakkan kaki di anak tangga Pendopo Alit, ledakan api mendorongnya beberapa meter jauh terpental.
Marvin langsung menjatuhkan ponselnya saat melihat bumbungan api menyala di Pendopo Alit.
"Nara! Danish!" teriak Marvin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro