Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

57. La Froude Company

Dalam peperangan, jarak dan rindu adalah sesuatu yang mutlak. Tak hanya prajurit yang berpisah dengan sang kekasih, dengan belahan jiwa, meninggalkan kampung halaman demi membela negara dan bangsanya. Namun, ada satu waktu pula sang Raja turun ke medan perang, meninggalkan permaisuri dan takhtanya demi memerdekakan rakyat dan bangsanya.

"Aku pergi, ya. Kamu hati-hati di rumah, lapor kalau ada hal yang mencurigakan."

"Kak..." Nara mencebik, pamitan yang mendadak membuatnya terasa tak rela untuk ditinggal. "Kenapa tiba-tiba, sih? Bukannya kita nunggu aja, ya?"

Ada lengang sedikit, Danish mengatur jawaban yang tepat agar sang istri itu tidak khawatir dan menambahi beban pikirannya. "Kamu mau perang ini berakhir, kan? Ini jalan pintasnya. Aku harus menemukan surat aslinya untuk menghentikan perang. Lebih aman lagi kalau aku yang ke sana, Sayang."

Deg! Jantung Nara berdetak kencang, ia menahan napas untuk sekian detik.

"Kak ..." Nara menangis.

"Jangan nangis."

Rasanya tidak tega meninggalkan Nara dalam keadaan seperti ini. Namun, mau tidak mau ia harus mencari sendiri surat itu. Semua demi nasib mama yang dicuci otaknya oleh sang ayah, demi keselamatan istri dan calon bayinya. Serta keamanan semua orang yang Danish sayangi.

Tangisan kecil Nara menjadi isakan.

"Nara, jangan nangis. Inget kata dokter, kamu nggak boleh stress, Sayang. Aku usahain secepatnya pulang. Aku juga nggak mau jauh-jauh dari kamu."

Nara menyeka air mata, mencoba menahannya mati-matian. Ia teramat sedih harus jauh dari sang suami di saat keadaanya yang sangat membutuhkan Danish di sisi. Namun, Nara juga ingin perang segera berakhir, meski rasanya tak rela ia harus menguatkan hati demi masa depan buah hati, demi keselamatan orang-orang tercinta.

"Kamu pulang dengan selamat, ya?"

"Aku janji."

"Jangan lama-lama."

"Insyaallah, aku minta doanya, Sayang."

Setelah mengecup lama kening Nara dan juga mengecup sayang calon buah hati di perut istrinya, Danish pergi menggunakan taksi menuju bandara untuk ikut penerbangan dini hari. Mengantisipasi diikuti oleh anak buah Candra.

"Assalamualaikum?" ucap salam Danish sedetik sebelum masuk ke dalam taksi.

"Walaikumussalam." Nara menghela napas panjang sembari menatap suaminya yang pergi, raut khawatir dan takut menggelayut, separuh hatinya seolah ikut pergi bersama suaminya, pulang ke kampung halaman Papi, Madiun.

"Ayo, Non, masuk. Dingin di luar," ucap Neni setelah taksi yang membawa Danish melaju dari halaman rumah.

Bukan menuruti kata Neni, Nara malah sedikit berlari menuju tengah jalan untuk melihat taksi yang membawa suaminya keluar dari pintu perumahan. Tangisannya sudah tak bisa dibendung, menatap taksi itu terus melaju pergi. Ada perasaan berat yang seolah mendorong Nara untuk menjerit meminta Danish tetap di sini.

Bagaimana jika Candra menyuruh orang untuk melenyapkan Danish dalam pencarian ini? Bagaimana jika Danish tidak pernah kembali ke rumah?

Tiba-tiba taksi berhenti tepat di pintu portal cluster. Danish keluar dari sana, berlari menuju istrinya yang terisak-isak berat untuk ditinggal.

"Kamu ngapain di sini? Masuk ke rumah, Sayang," ucap Danish setibanya di depan Nara, matanya turut memerah menahan air mata.

"Jangan pergi, Kak... Aku nggak mau ditinggal." Nara memeluk Danish, sangat erat.

Danish pun begitu, dia juga berat untuk pergi. Namun, semua juga demi kebaikan keluarganya. Hatinya juga terluka meninggalkan Nara, juga ingin menangis karena tidak tega. Namun, Danish adalah pion yang harus selalu tegar dan gagah berani untuk memimpin dan mengakhiri perang.

Danish melepaskan pelukan Nara dengan tega tidak tega, "Mbak, tolong bawa masuk istri saya."

"Kak!"

"Ayo, Non." Neni menarik tangan Nara.

Danish melepaskan tangan Nara dari tangannya, kemudian memalingkan wajah dan melangkah pergi.

"Kak Danish! Jangan pergi!" Nara berusaha mengejar, tetapi Neni menahannya.

Langkah Danish semakin cepat, air matanya jatuh sesaat dirinya masuk ke dalam taksi.

"Jalan cepat, Pak," interuksinya pada sopir taksi. Roda taksi pun melaju tak lama dari itu, melewati pos penjagaan cluster dan benar-benar menghilang dari pandangan Nara.

"Kak Danish!" teriak Nara dipeluk oleh Neni yang mencegahnya untuk berlari mengejar taksi yang ditumpangi Danish. "Dia pasti kembali, kan, Mbak? Suamiku pasti pulang, kan, Mbak?"

"Pasti, Non. Pasti! Kita masuk, ya, dingin di luar sini." Neni turut sedih, turut menitihkan air mata.

Tolong kembali, Kak. Tolong kembali dengan selamat dan utuh ...

Malam dilewati dengan sepi dan dingin, dengan isi kepala yang berisik.

"Kak, kangen..." lirih Nara sembari menciumi bantal yang biasa kepala Danish berbaring di sana. Aroma tubuh pria itu tertinggal di sana, menjadikan sumber kerinduan yang deras mengalir di lubuk hati. Air mata Nara kembali membasahi.

Dalam mimpinya, Nara melihat Danish penuh darah dan luka lebam, diceburkan ke kolam dengan tangan yang terikat. Nara berteriak ingin menolong, tetapi kakinya seperti mati di tempat. Mimpi itu seolah nyata, ketakutannya seperti melucuti setiap inchi hatinya.

"Kak Danish?!" teriaknya sembari membuka mata. Napasnya memburu, peluh keringat membasahi kening dan tubuhnya.

Nara terisak, tetapi ia lega karena itu hanyalah sebuah mimpi.

"Non!" Neni membuka pintu dan masuk dengan raut khawatir, "Kenapa, Non?" Neni langsung memeluk Nara, mengusap-usap rambutnya menenangkan, "Mimpi, ya, Non?"

Nara masih terisak, isaknya benar-benar pilu di telinga Neni.

"Apa pun yang Non lihat tadi, itu semua cuma mimpi." Neni terus menenangkan.

"Kak Danish pasti pulang, kan, Mbak?" ucap Nara di sela tangisannya.

"Pasti. Insyaallah pasti baik-baik aja, Non. Ada doa Non, doa kita yang melindunginya. Yang tenang, ya. Insyaallah pasti baik-baik aja."

Nara masih terisak di pelukan Neni, ketakutannya di mimpi seolah menjeratnya hingga ke dunia nyata. Seperti benar-benar terjadi.

***

Pesawat yang ditumpangi Danish mendarat selamat di Juanda International Airport pukul tiga pagi, setelah itu dia langsung menuju Stasiun Gubeng untuk melanjutkan perjalanan ke Madiun. Danish merasa lebih aman jika menggunakan transportasi umum dibanding kendaraan pribadi, rawan diikuti dan dicelakai seperti yang terjadi pada keluarga pamannya, yang meninggal dunia setelah kecelakaan tunggal yang janggal. Atau seperti saat dirinya bersama sang mama seusai liburan pada ulang tahun ke sepuluh. Danish sudah belajar banyak dari apa yang pernah terjadi.

Pria itu menggunakan masker dan kaca mata hitam, menyamar menjadi Pencinta Alam lengkap dengan tas carrier, topi, dan sepatu hiking, bergabung dengan beberapa Pencinta Alam yang sedang berencana mendaki Gunung Wilis di Madiun. Penyamarannya benar-benar sempurna.

"Halo, Paman?"

"Kamu masih diikuti?"

"Sudah aman."

Ada beberapa orang yang mencurigakan saat Danish berada di bandara.

"Oke, hati-hati. Ada orang suruhan Paman yang sudah nunggu kamu di Stasiun Madiun. Kodenya 'Backpacker Satu', nanti orang itu yang akan nganter kamu ke kampung halaman mertuamu."

"Siap, Paman."

"Kamu bisa matiin hapemu sekarang, takut dilacak ayahmu."

"Iya, nanti Danish usahakan tetap menghubungi dengan ponsel lain."

"Hati-hati, Danish."

"Baik, Paman." Jeda sekian detik, "Tolong cek istriku, Paman. Pastikan dia aman selama Danish pergi."

"Jangan khawatir. Semua aman di sini. Paman juga udah nyuruh orang buat jaga mertuamu di rumah sakit, juga di dekat rumahmu. Kamu fokus saja di sana, Paman harus ke Thunder Holdings buat cek situasi."

Panggilan berakhir setelah itu. Sebelum menonaktifkan ponselnya, Danish menatap wallpaper di layar dengan perasaan tidak keruan. Foto Nara yang tersenyum ceria membuat mata Danish memerah. Terbendung air mata kerinduan, rasa bersalah dan juga rasa takut.

Namun, pria itu harus tetap tegar.

Ponsel dinonaktifkan, kemudian disimpan dengan aman.

Tak lama kondektur kereta api meniup peluit yang disambut suara klakson panjang kereta api ekonomi yang akan membawa Danish menuju Madiun.

Kereta Pasundan sampai di Madiun setelah dua setengah jam perjalanan. Danish turun dari gerbong keretan, mencari-cari orang suruhan Paman yang akan membawanya ke kampung halaman Papi.

Seseorang mendekatinya, bertubuh tinggi dan tegap. Wajahnya tampak seram dan berjenggot. Orang itu menatap Danish dengan tajam.

Danish tampak was-was, khawatir jika orang itu bukan suruhan Paman, melainkan suruhan ayahnya.

"Backpacker Satu," ucap pria itu.

Danish bernapas lega, kemudian mengangguk.

"Silakan ikuti saya."

Danish mengikuti orang tersebut tanpa ada kalimat yang bertukar sapa basa-basi. Menggunakan Jeep, mereka melalui perjalanan darat selama hampir satu jam.

"Halo, Paman?" Danish menghubungi pamannya dengan ponsel milik Pandi, orang suruhan paman. "Danish sudah sampai di Madiun."

"Sepertinya ayahmu tahu kamu tidak ada di Jakarta, dia memerintahkan orang buat cari keberadaanmu. Hati-hati, Danish. Cepat kembali setelah menemukan surat itu."

"Istriku aman, Paman?"

"Aman, ini Paman dalam perjalanan ke rumahmu. Neni bilang Nara mengidam Kue Pancong, jadi Paman ke sana sekarang membawakannya."

Danish bernapas lega, tersenyum kecil merindukan istrinya. "Makasih, Paman. Tolong jaga selalu istri Danish."

"Jangan khawatir."

Sambungan berakhir. Danish sengaja tidak mengabari Nara karena takut fokusnya pecah mendengar tangisan istrinya itu. Dia harus benar-benar fokus di sini untuk mencari surat itu dan kembali secepatnya.

"Pak, kita sudah sampai," ujar Pandi.

"Oh, ya?" Danish mendongak menatap sebuah rumah di depan mobil yang mereka tumpangi berhenti. Jantung Danish tiba-tiba berdebar. Akankah benar surat itu ada di sini?

Pakde Nara atau kakak ipar Papi langsung menyambut kedatangan Danish. Nara sudah mengabari kalau suaminya akan ke sana untuk mengambil sesuatu. Tak mau mengambil waktu terlalu banyak, Danish langsung meminta izin untuk mencari 'barang' tersebut.

Pakde mengantarkan Danish ke bekas kamar Papi yang dijadikan gudang. Banyak kardus-kardus berdebu dan barang-barang tak terpakai lainnya.

Danish pun mulai mencarinya. Ada banyak barang milik Papi semasa aktif menjadi atlet Judo, Danish juga menemukan album foto saat Nara masih kecil. Sejenak pria itu terpecah fokusnya melihat potret gadis kecil dengan gigi ompong menyirangi ke kamera.

Danish sudah merenggut tawa dan ceria gadis itu hanya karena ingin merebut taktha dan kudeta. Perasaan pria itu terenyuh, menyalahkan dirinya sendiri.

"Mas Danish mencari apa sebenarnya?" suara Pakde membuyarkan lamunan Danish dan juga mencegah air mata jatuh dari pelupuk pria itu.

Mau tidak mau, Danish harus jujur tentang barang yang dicari agar cepat untuk menemukannya.

"Apa Pakde pernah lihat benda dengan logo perusahaan bernama La Froude Company? Logonya seperti gambar petir."

Pakde tampak mengingat-ingat, sepertinya tidak pernah menjumpai barang tersebut.

"Ada nggak, ya?" Mata Pakde berkeliling seluruh gudang.

Pakde tiba-tiba menunjuk satu kardus di bawah kardus-kardus berdebu lainnya, "Itu, kardus itu nggak pernah dibuka semenjak tiba di sini. Katanya dikirim dari ... mana gitu, ya? Tempat kuliah mamanya Nara. Luar negeri."

"Edinburgh?"

"Nah, itu, ya, kayaknya. Susah pokoknya namanya."

Jantung Danish semakin berdetak kencang, "Boleh saya bongkar, Pakde?"

"Silakan, silakan. Monggo saya bantu pindahin kardus lainnya."

Pakde membantu memindah-mindahkan kardus, mengeluarkan satu kardus yang ditutup rapat hampir 25 tahun. Sudut-sudut kardus itu sudah termakan rayap dan bolong, banyak hewan-hewan kecil berhamburan, semut dan anak kecoa.

Kardus itu dikeluarkan ke teras, ukurannya besar dan terasa berat. Pakde dan Danish bergotongan mengeluarkan kardus tersebut.

"Saya bongkar, ya, Pakde?"

"Monggo, monggo."

Danish menarik napas panjang sejenak, memantapkan hatinya dengan keyakinan bahwa kardus itu menyimpan surat perjanjian pranikah orang tuanya, surat yang akan mengakhiri perang mengerikan ini.

"Bismillah ..." sebut Danish sembari menarik bagian atas kardus yang berdebu.

Isi kardus itu buku-buku masa kuliah milik mamanya Nara, album-album foto yang berisi foto masa muda mamanya Nara, mamanya Danish dan Tante Marida. Juga berisi baju wisuda dan topi toga. Piala-piala kejuaraan dan sertifikat. Selebihnya novel-novel lama berbahasa inggris.

"Ada nggak, ya, yang dicari, Mas?" tanya Pakde.

Danish mengembuskan napas panjang, semua barang sudah dikeluarkan. Namun, tangan pria itu bergetar, hanya ada satu barang dari kotak kayu yang tersisa di sana.

"La Froude Company," baca Pakde. "Itu bukan, Mas, yang dicari?"

Jantung Danish berdetak kencang seraya meraih kotak usang berlogo petir perusahaan keluarganya di masa lampau sebelum berganti nama menjadi Thunder Holdings.

"Akhirnya ... ketemu," ujar Danish dengan perasaan campur aduk.

Pelan-pelan Danish membuka kotak itu. Jantungnya benar-benar seperti meledak saat ini. Akhirnya perang akan segera berakhir, dia bisa melindungi ibu dan istrinya. Dia juga bisa membalas rasa sakit yang selama ini diterima dari sang ayah.

Akhirnya ... akhirnya ...

Kotak itu dibuka dan surat itu ... ada. Salinan asli bertanda tangan basah orang tuanya. Tak hanya surat perjanjian pranikah, tetapi juga surat wasiat mendiang Romo, kakek Danish. Surat ahli waris yang menuliskan bahwa Danish adalah satu-satunya pewaris La Froude Company dan Pendopo Agung juga ada di sana.

Lengkap.

Dengan surat itu Danish benar-benar menang telak.

Setelah menemukan surat itu, Danish langsung berpamit pada Pakde dan berjanji akan mengajak Nara ke sini nanti. Bersama Pandi, Danish kembali ke Stasiun.

"Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi."

"Sudah saya hubungi sejak tadi, tapi nomer Pak Sawiji tidak aktif, Pak," ujar Pandi.

Di tengah rasa gembira yang tak sabar ingin memberitahukan bahwa surat itu berhasil ditemukan, Danish sedikit khawatir saat nomer telepon pamannya susah dihubungi. Akhirnya dia memberanikan diri untuk mengaktifkan kembali ponsel miliknya sendiri. Dia juga mulai khawatir dengan Nara.

Berondongan pesan dan panggilan tak terjawab masuk ke riwayat panggilannya dari satu nomer, yakni nomer istrinya. Pikiran Danish mulai tidak enak, tangannya sampai gemetar mengusap panel panggil pada nomer Nara.

"Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi," jawaban operator.

"Ya Allah, Nara..."

Danish kembali mencoba menghubungi nomer Nara.

"Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi," suara operator kembali terdengar.

Pikiran Danish sudah tidak bisa tenang lagi.

"Nara, please, please..." Danish memejam memohon, tangannya semakin gemetar, terasa panas dan dingin. "Kamu baik-baik aja, kan?"

Danish menarik napas panjang sejenak, dia harus tetap tenang agar bisa memikirkan cara untuk menghubungi istrinya.

Tiba-tiba panggilan masuk dari sahabatnya, Marvin.

"Marvin?"

"Lo di mana, Bangsat?!"

Marvin memang tidak tahu menahu soal rencana Danish hari ini, pantas jika sahabatnya itu terdengar emosi. Pasti sesuatu telah terjadi.

"Nara... Nara baik-baik aja, kan?" tanya Danish dengan suara bergetar.

Ketakutannya benar-benar memuncak.

"Marvin! Jawab!"

"Nara ... Nara dibawa papamu ke Pendopo Agung."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro