54. Sumber Kekuatan
"Sayang, assalamualaikum?"
Dari arah ruang tv, Nara membalas salam. Ia tidak diperbolehkan lagi berlari ke depan lalu melompat ke gendongan Danish, kandungannya sudah 16 minggu. Lagipula, ia benar-benar malas bergerak. Semenjak hamil, sel-sel ekstrovertnya mendadak lenyap, berganti dengan rasa mager luar biasa.
"Tebak aku bawa apa?" Danish mengecup pipi istrinya. Menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
"Bawa apa? Bawa apa?" Nara antusias.
"Mochi Strawberry!"
"Yeayy!" Girang Nara menyambut bingkisan yang dibawakan suaminya, rasa girangnya sudah seperti baru saja dibelikan emas. Begitulah perempuan hamil, saat mengidamnya dituruti ia seperti berada di puncak kebahagiaan.
"Aku mau mandi dulu, ya." Danish kembali pipi istrinya yang tak sabar membuka bungkus mochi, "Papi di mana, Sayang?"
Danish berjalan ke lantai dua.
"Papi ngecek anak-anak di rumah lama," jawab Nara sambil melahap mochinya. "Kak, udah makan belum? Aku masakin, ya."
"Udah, Sayang," jawab Danish dari lantai atas.
Tak lama setelah mandi dan salat isya, Danish turun ke bawah. Kandungan istrinya sudah mulai masuk empat bulan, karena Nara bertubuh kecil dan kurus membuat perutnya sudah terlihat membuncit. Apalagi semenjak melewati morning sickness, nafsu makan Nara perlahan semakin naik. Meski banyak kekhawatiran, Danish benar-benar menikmati masa ini. Nara berkali lipat lebih manja, lebih cengeng, dan sangat bergantung pada Danish.
"Sok-sok'an mau masakin, bau bawang digoreng aja udah kabur," cibir Danish sembari berjalan menuruni tangga dan duduk di sebelah istrinya yang masih mengunyah mochi. Sekotak mochi dengan delapan potong itu kini tinggal sisa satu.
Nara hanya tertawa. "Masakin kamu telor tanpa bawang."
"Coba lihat, papa mau nyapa anak papa." Danish mendekatkan wajahnya ke perut Nara. "Hello, Sayang. Hari ini mamamu mager seharian, ya?"
Nara hanya tertawa.
"Besok harus mulai olahraga, ya. Papa temenin setiap pagi, oke?"
"Aaaa... nggak mau bangun pagi-pagi. Habis subuh itu ngantuk banget, Kak."
Danish mendongak dengan tatapan protes, "Dokter bilang apa, hm?"
Nara frustasi, hormon kehamilan membuatnya menjadi manusia paling anti capek, setelah subuh kembali tidur dan bangun jam delapan pagi. Setelah sarapan, goleran di ruang tv sembari mencamil dan menonton film. Ia hanya bergerak saat salat, bahkan mandi pun harus dipaksa baru mau. Jarang sisiran, hanya mengoles wajahnya dengan krim agar tetap lembab dan tak berjerawat, itu pun terpaksa.
"Demi bayi kita loh, Ra."
Nara mengangguk, "Istrimu usahakan, ya."
Danish tersenyum, "Suamimu siap mendukung, ya."
Keduanya tertawa bersama.
"Lagi nonton apa?" Danish membenarkan posisinya.
"Simba. Nggak tahu lagi pengin nonton kartun," kekeh Nara sembari mencomot mochi terakhir. "Lihat singa, jadi kangen sama kucing-kucingku."
"Sabar, ya. Nanti kalau udah lahiran, kita bawa lagi ke sini." Danish mengusap-usap perut Nara.
"Gimana di kantor, Kak?"
"Nothing special."
"Jadi direktur, pasti punya sekretaris, kan?"
Danish terkekeh, "Kapan-kapan aku kenalin."
"Cantik, Kak?"
"Cantik apanya, lawong cowok."
Nara bernapas lega, "Seharian ini aku mikir, tahu."
"Mikir apa cemburu?" goda Danish.
"Nggaklah, ngapain cemburu?"
"Ah, yang bener?"
"Hm." Nara mengangguk. Namun, Danish terus saja menggoda sampai membuat Nara kesal dan menangis. Super cengeng. Padahal memang aslinya cemburu dan kepikiran. Kalau di kantor Marvin, Nara masih bisa mengawasi lewat Karin atau Marvin. Sedangkan di kantor Danish yang baru, Nara tidak mengenal siapa-siapa.
"Iya, iya, maaf. Aku minta maaf."
Nara masih mencebik.
"Nih." Danish menyodorkan lengannya sukarela untuk digigit agar istrinya lega membalas. Tanpa menunggu lama, lengan itu sudah mengecap deretan gigi Nara. Setelah itu, Nara lega dan kembali tertawa melihat Danish meringis kesakitan.
"Papamu gimana, Kak?" tanya Nara tiba-tiba.
"Gimana apanya?"
"Pasti ketemu setiap hari, kan?"
Danish menggeleng, "Papa sibuk Pemilu, jarang ke kantor." Namun, Danish tidak menceritakan bahwa dirinya sempat hampir adu jotos dengan Eran karena tidak sepaham di rapat umum. Tadi pagi Eran juga mendobrak pintu ruangan Danish dan mencengkeram kerah Danish karena Danish meminta data-data keuangan internal perusahaan.
Di kantor Danish tak ada jeda waktu untuk beristirahat, jika ada kesempatan dia mengulik segala apa pun yang ada di Thunder Holdings. Saat makan siang pun, Danish hanya melahap sandwich sembari membolak-balik lembaran di ruangannya.
Namun, saat pulang ke rumah, keresahan dan rasa lelahnya disingkirkan jauh-jauh.
"Kak?"
"Hm?"
Nara menelusupkan dua tangannya di pinggang Danish, memeluk.
"Aku mau kamu kayak Simba. Meskipun yang kamu lawan bukan Scar, tapi Mufasa, papamu sendiri. Aku ingin kamu memiliki keberanian seperti Simba. Banyak hal yang akan menakutkan, tapi Simba berhasil merebut tahkta dan menyelamatkan peradaban. Aku akan menjadi Nala yang selalu mendukungmu, mendoakanmu, dan juga ikut berperang bersamamu."
Danish mengusap lembut rambut istrinya. Setakut apa pun itu, Naralah sumber kekuatan.
"Hm?" Nara mendongak, menunggu jawaban.
Kecupan mendarat di kening Nara, yang kemudian disusul anggukan kepala dari suaminya. Sebaik apa pun pelatihan perang, tetap saja ada ketakutan terbesar. Namun, selama sumber kekuatan tidak padam, ketakutan itu hanyalah rasa lalu yang tak menggentarkan.
"Aku mencintaimu, Naraina."
Nara tersenyum, kemudian menghadiahi suaminya kecupan. "Aku juga."
***
"Sepertinya Anda benar, Pak Danish. Eran menggelapkan dana di salah satu anak perusahaan," lapor Petra sembari memperlihatkan data anggaran salah satu anak perusahaan yang tak masuk akal. "Tidak hanya satu kali, tapi sejak tiga tahun yang lalu."
Danish menatap lembaran itu dengan senyuman kecil.
"Kita siap laporin, Pak."
Danish menggeleng, "Belum saatnya."
"Nunggu apalagi, Pak Danish. Ini bukti yang kuat buat nyingkirin Pak Eran dari perusahaan."
Danish tetap menggeleng. Kemudian pria itu berdiri dan menyambar jas di gantungan, "Hari ini kamu bisa melembur?"
"Ada hubungannya sama Pak Eran?"
Danish tersenyum sembari melangkah, "Ikut saja."
Mobil Danish membelah jalanan padat di pusat hiburan di salah satu distrik Jakarta. Di mana berdiri deretan gedung berlampu kelap-kelip yang terdiri dari penginapan, klub malam, gedung karaoke dan kantor bisnis sejenisnya.
"Kita nunggu di sini?" tanya Petra di balik kemudi setelah menepikan mobil di salah satu parkir area.
"Hm. Kita nunggu di sini."
Wilayah ini terkenal dengan wilayah hiburan malam kalangan menengah ke atas, tempat protitusi dan perjudian 'legal' dari kalangan pembisnis. Danish mendapat informasi dari detektif sewaannya bahwa Eran sering datang berkunjung ke tempat ini.
"Aku harus lihat sendiri Eran datang ke tempat ini," ujar Danish sembari membuka tabletnya. Sembari menunggu, ia melanjutkan pekerjaannya.
"Jangan bilang Pak Eran ada sesuatu di sini?"
"Kamu lihat Rox club?"
"Hm." Mata Petra mengarah ke arah jam 11 dari posisinya.
"Aku dapat informasi kalau tempat itu jadi tempat prostitusi di kalangan artis?"
"Kalau itu, sih, saya pernah mendengarnya. Pernah ada skandal yang terungkap, kan?"
"Juga tempat jual beli obat-obatan."
"Kalau itu juga, saya yakin pasti ada."
"Kamu tahu siapa pemiliknya?"
Kini Petra menoleh ke belakang dengan mata membulat terkejut, "Jangan bilang..."
"Hm." Danish mengalihkan pandangannya dari tablet ke Petra, "Klub itu milik Eran. Penulusuran dana hantu di proyek pembangunan anak perusahaan mengalir ke rekening atas nama Resta Regina. Kamu tahu siapa Resta Regina?"
Petra menggeleng.
"Dia anak pejabat yang pernah terkena skandal penganiayaan dan pindah ke Amerika. Dia mantan pacarnya Eran. Sepertinya Eran membeli klub itu yang sebelumnya milik Resta, tapi tetap menggunakan nama Resta Regina untuk menghindari pajak."
Petra tertawa tak menyangka. Pria itu bergeleng-geleng sembari kembali menghadap ke depan, mengawasi. "Gila. Dia pasti akan mendekam lama di penjara."
Danish menggeser-geser layar tabletnya dengan tersenyum miring. Kuda Hitam sudah dibidik oleh Danish untuk ditendang dari bidak catur peperangan. Dengan tersingkirnya Kuda Hitam, Danish yakin itu akan mempengaruhi Sarah, istri kedua ayahnya. Satu bidikan lagi, Ratu Hitam akan turut tersingkirkan. Skakmat.
"Pak, Pak, lihat! Itu Pak Eran," ujar Petra membuyarkan lamunan Danish.
"Hm?" Danish mendongak ke arah Rox Club.
Petra tertawa puas, "Kena lo." Ia mengambil ponsel dan memotretnya.
***
"Air ketuban cukup, bayinya aktif, detak jantungnya juga normal. Semua baik," tutur dokter kandungan setelah memeriksa kandungan Nara melalui ultrasonografi.
"Alhamdulillah," ucap syukur Nara dan Danish hampir bersamaan.
"Gerakannya udah lumayan terasa, kan, Bu?"
"Iya, Dok, gemes banget," jawab Nara dengan senyuman merekah, gerakan-gerakan kecil bayi dalam perutnya kerap membuat Nara merasa bahagia dan terharu. Ia masih tidak percaya bahwa ada makhluk kecil yang tumbuh di dalam dirinya. Rasa cinta sebagai seorang ibu semakin membesar meskipun belum ada perjumpaan. Benar-benar keajaiban.
"Mau dikasih tahu jenis kelaminnya? Ini sudah jelas terlihat."
Nara dan Danish saling bersitatap. Meski penasaran, semua keputusan ada di Nara.
"Jangan, deh, Dok. Biar jadi kejutan, yang penting adiknya sehat," putus Nara sembari melirik ke suaminya. Danish mengangguk ikut satu suara.
Keluar dari klinik dokter kandungan, Danish dan Nara mampir ke salah satu cabang Kedai Soonday yang paling dekat dengan rumah. Sudah hampir lima bulan sejak pembukaan, kedai terlihat ramai, meski pernah terkena skandal, semua berjalan baik-baik saja. Lukisan-lukisan hasil karya pengunjung tertempel di dinding, sebuah kalimat-kalimat penyemangat juga menghiasi dinding kedai.
Nara merasa terharu, karyanya dinikmati banyak orang.
Sambil menikmati strawberry smooties, mata Nara berkaca-kaca memperhatikan setiap jengkal ekspresi pengunjung yang sedang melukis. Sebuah cerita bisu yang dapat didengar melalui guratan-guratan yang tergambar di wajah mereka.
"Kak?"
"Hm?" Danish duduk di depannya. "Kenapa, Sayang?"
"Kamu juga punya trauma, kan?"
Danish hanya tersenyum.
"Katanya, penyakit jiwa itu tidak pernah bisa disembuhkan. Sekalinya sakit, akan sakit sepanjang jiwa bersarang di tubuh. Pertama kali aku didiagnosis psikiater kalau jiwaku tidak sehat, aku merasa dunia sudah tidak berarti lagi. Namun, saat pertama kali bertemu denganmu, aku merasa duniaku kembali berarti."
"Oh, ya?"
Nara mengangguk, "Meski di suatu hari nanti akan kambuh lagi, aku tetap merasa aman karena ada kamu yang menguatkan. Trauma ini nggak akan pernah hilang selamanya, tetapi tergantung bagaimana kita menjadikannya sumber ketakutan atau sumber kekuatan."
Perempuan itu meraih tangan suaminya, menatapnya dengan sorot tulus, "Aku tahu keluargamu adalah trauma terbesarmu. Entah apa yang terjadi di masa lalu sampai kamu merasa gelisah saat mendengar guntur. Aku mau kamu menjadikannya sumber kekuatan, hm?"
Danish menautkan jemarinya pada jemari Nara.
"Ada kamu yang menguatkan. Kamu sumber kekuatanku."
Nara mencebik, merasa terharu.
"Jangan nangis. Kata dokter, ibu yang happy akan menyehatnya bayinya, hm?"
"Iya, iya." Nara melepaskan tangannya dari tangan Danish, memilih menyeruput strawberry smoothies-nya.
"Kita berdua tumbuh dengan trauma. Jadi, bagaimanapun caranya nanti anak kita jangan sampai seperti kita, ya?"
Nara mengangguk setuju.
"Kadang orang tua yang sama-sama lahir dengan terluka bisa menciptakan keluarga yang bahagia. Karena mereka belajar dari luka itu dan tak melampiaskannya pada anak-anaknya. Kita pasti bisa menjadi orang tua yang mampu memberikan bahagia pada anak-anak kita. Karena kita tahu, tumbuh dengan trauma itu sangat tidak mengenakan."
Nara kembali mengangguk.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro