Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

53. Rumah Baru, Kantor Baru

Maaf kalau ada typo atau kalimat tidak sesuai karena di-update tanpa swasunting.
Selamat membaca sampai tamat.

Open PO berakhir hari ini jam 23.59
Di Shopee Black Swan

.
.
.

Rumah baru Nara di kawasan cluster yang baru jadi tiga tahun yang lalu, masih banyak rumah yang kosong. Rumah dua lantai dengan empat kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu, dapur, ruang keluarga dan balkon. Tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Melihat berada di kawasan cluster, tentu termasuk perumahan elit yang ketat keamanannya.

"Hadiah dari Paman," kata Danish begitu membuka pintu.

"Rumah ini?!"

"Paman yang bayar DP, tetep aku yang cicil. Masuk dulu, aku ambil koper."

"Nyicil berapa tahun, Kak?"

"Emm... 30 tahun," kata Danish sembari membuka pintu bagasi.

"Heeee?!"

"Bercanda," kekeh Danish senang menggoda Nara.

"Baik banget pamanmu, Kak. Enak, ya, kalau punya keluarga old money."

Nara tertawa sembari berkeliling ruang tamu. Rumah sudah rapi dan bersih, siap huni. Seorang perempuan berkisar usia 34 tahun keluar dari arah belakang.

"Namanya Mbak Neni, teman kamu di sini buat bantu-bantu."

"Halo, Mbak Neni, salam kenal, ya. Namaku Nara."

"Ya, Non, saya Neni." Neni menyambut tangan Nara takzim, "Katanya Non lagi hamil tiga bulan, ya? Pasti lagi mabuk-mabuknya, ya, Non?"

Nara mengangguk, "Maaf kalau nanti agak rewel, ya, Mbak. Baru pertama kali soalnya."

"Saya sudah dua kali melahirkan, jadi saya paham banget, Non. Non bisa belajar dari pengalaman saya."

"Siap!" Nara mengangkat tangannya hormat di kening, langsung akrab dengan asisten rumah tanggannya itu.

Danish hanya tersenyum melihat itu sembari mengangkat koper ke lantai dua. Tiga bulan telah berlalu sejak kejadian di kantor, selama tiga bulan tersebut kantor sedang panas-panasnya menghadapi kasus dan beruntung Nara sudah resign dari sana seminggu setelah kejadian. Sampai saat ini Nara tidak tahu bahwa ia salah satu korban dari pelecehan yang dilakukan Boby dan juga tidak ada yang bilang soal Danish kesetanan menghajar Boby.

Danish yang melarang orang kantor untuk menyampaikan hal tersebut tanpa memberi alasan. Semua orang menyanggupi dan tidak bertanya alasan mengapa Nara tidak boleh tahu dan tidak ikut dalam kesaksian di pengadilan.

Sejak kejadian itu dan sejak tahu kalau di kantor ada penghianat, Danish menjelma menjadi pribadi yang lebih tertutup dan tampak sekali berhati-hati. Tidak sehangat saat masih ada Nara. Dia juga tidak jarang menolak makan siang bersama. Siapa pun di kantor dicurigai, bahkan termasuk sahabatnya sendiri, Marvin.

Malam menjelang, setelah makan malam yang lagi-lagi susah masuk ke mulut Nara, perempuan itu berbaring ditenangkan suaminya di kamar. Hamil ternyata tidak mudah, gejolak hormon yang naik turun membuat perasaan ibu hamil turut menyumbang sebuah derita yang selalu disyukuri sebagai bentuk dari cinta.

Danish mengurangi sikap protektifnya setelah melihat perjuangan Nara selama hamil trisemester pertama yang tidak mudah. Berat badannya sempat turun, setiap makan susah, lemas sepanjang hari, susah pula untuk merawat diri karena rasa malas yang muncul. Gosok gigi pun penuh dengan perjuangan, karena setiap pergi ke kamar mandi, perutnya bergejolak ingin muntah.

"Besok kamu udah pindah ke Thunder Holdings, ya, Kak."

"Iya. Doain, ya?"

"Selalu."

"Besok pulangnya jangan lupa mampir ke rumah Papi, ya? Lihat kucing-kucingku." Semenjak hamil, tiba-tiba Nara alergi dengan bulu kucing, sehingga terpaksa memindahkan semua kucingnya ke rumah Papi.

"Iya. Kamu mau nitip sesuatu nggak?"

"Nitip baju kotornya Papi, boleh? Yang ada bau keringatnya. Satu aja."

Danish setengah bangkit dari berbaringnya untuk melihat wajah istrinya, memastikan dia sadar atau sedang mengigau. "Beneran? Buat apa?"

"Nggak ada. Mau aku cuciin."

Danish setengah tertawa, "Kamu kangen Papi? Besok kalau ke sana aku bilang, deh, sama Papi kalau kamu kangen."

Nara menggeleng, "Nggak mau. Takut lihat kumis Papi."

Kini Danish tergelak. "Kamu aneh banget."

"Pokoknya titip itu, ya?"

"Iya, iya." Danish kembali berbaring, memeluk istrinya dari belakang sembari mengusap lembut perutnya. "Kalau makanan pengin sesuatu, nggak?"

"Pengen Kue Pancong yang rasa rumput."

"Matcha?"

"Hm."

"Oke, oke." Danish mengecup kepala Nara, "Tidur, ya, sekarang? Jangan malem-malem, nanti pusing kepalanya."

Sekitar setengah jam berlalu, setelah memastikan Nara terlelap, pelan-pelan Danish bangun dari ranjang. Sebelum meninggalkan kamar, dia menyelimuti nyaman dan menggeser guling lebih dekat dengan Nara, usai mengecup keningnya, pria itu keluar dari kamar menuju ruang kerjanya.

"Assalamualaikum, Paman?" Dansih menelepon Sawiji setelah menutup rapat ruang kerjanya.

"Walaikumussalam."

"Maaf tadi masih nemenin Nara, jadi nggak tahu kalau ada panggilan dari Paman. Berkas-berkasnya sudah siap buat besok?"

"Kamu tinggal berangkat saja, Paman juga mengutus orang buat dampingin kamu di sana. Namanya Petra."

"Baik, Paman."

"Siap tidak siap, kamu harus menata pikiranmu mulai besok Danish. Paman besok berangkat ke Edinburh buat mencari surat asli, kemungkinan ada di sana. Marida juga menyuruh orang buat mengawasi mamamu di Pendopo Agung."

"Iya, Paman."

"Kita sudah sampai sejauh ini, Danish. Paman harap, apa pun yang terjadi, kamu bertahan sampai akhir."

Tidak ada yang dikhawatirkan oleh Danish, selain Nara dan calon bayinya. Dia harus mengambil langkah lebih untuk melindungi keluarganya.

"Minggu depan sudah mulai masuk masa Pemilu, kesempatan kita buat melangkah. Papamu pasti sibuk dengan pemilunya. Kita lanjutkan investigasi kita di Rox's Club, kita harus singkirkan Eran secepatnya."

"Baik, Paman."

Usai panggilan berakhir, Danish duduk di kursi meja kerjanya. Matanya menatap foto pernikahannya dalam bingkai kecil yang terletak di atas meja. Besar cintanya pada Nara, sebesar rasa takut kehilangannya. Beberapa detik kemudian sorot matanya bergeser pada bingkai di sebelahnya, foto sang mama dan Danish kecil di sana.

"Danish pasti bisa, kan, Ma?" monolognya. "Danish pasti bisa, kan, melindungi kalian?"

Danish menghela napas panjang, kemudian menegakkan punggungnya sembari meraih kaca mata bacanya. Malam ini dia harus mempersiapkan diri untuk pertempuran besok pagi di Thunder Holdings.

***

Danish memahami bahwa dalam permainan catur perlu menyusun strategi. Raja Hitam di sisi seberang adalah ayahnya yang harus ditaklukkan. Untuk menakluknya raja dalam permainan catur, harus membuka jalan dan melangkah secara akurat yang penuh perhitungan.

Langkah pertama, Danish memperketat keamanan rumah. Marida dan Papi akan berkunjung beberapa kali dalam seminggu. Memasang CCTV yang bisa memantau dari jarak jauh, berkoordinasi dengan pihak pengamanan cluster dan juga bekerja sama dengan salah seorang detektif kepolisian.

Langkah selanjutnya, Danish secara pribadi meminta bantuan Daniel Mark untuk menjadi kartu terakhir dalam melawan sang ayah dan juga meminta bantuan keamanan Nara. Namun, sayangnya Daniel malah memberi saran Danish untuk mundur dari rencana kudetanya. Setelah apa yang terjadi pada sang istri, Daniel tidak mau itu juga terjadi pada Nara. Dalam perang, kalah menang tetap akan mengorbankan banyak hal. Maju maupun mundur ada satu hal penting yang harus direlakan.

"Kamu akan banyak merasakan kehilangan. Dan yang lebih pedih adalah kehilangan orang yang paling kamu sayang. Mundurlah, Danish. Jika tidak ingin Nara bernasib sama dengan istriku."

"Kudeta ini tidak hanya merebut takhta, tetapi juga menyelamatkan nyawa ibuku."

"Sudah kukatakan, maju atau pun mundur, ada satu hal penting yang harus direlakan. Pilih mana yang paling penting buatmu."

"Keduanya penting."

Daniel menatap gurat pantang menyerah di wajah Danish, meski lebih seperti mengenggam buah simalakama. "Untuk saat ini aku akan mengawasi dan tetap berharap kamu mundur dari rencanamu."

Hari ini hari kepindahan Danish ke Thunder Holdings menggantikan paman di kursi Direktur Utama, di bawah jabatan komisaris yang saat ini diduduki oleh Candra Padmadim, ayahnya dan diatas Eran, adik tirinya yang menjabat sebagai Wakil Direktur.

"Selamat datang, Pak Danish. Saya Petra, Sekretaris Pribadi Pak Sawiji yang akan membantu Anda mulai hari ini." Pria berkulit sawo matang berusia sekitar 29 tahun itu takzim di depan Danish yang baru saja tiba di kantor.

"Sudah berapa lama kerja di sini?"

"Baru, Pak. Saya menggantikan ayah saya yang sebelumnya hampir dua puluh tahun menjadi sekretaris Pak Sawiji."

Danish tersenyum, Petra bisa diandalkan.

"Mari saya antarkan ke ruangan Anda," ujar Petra sembari mempersilakan Danish untuk beranjak dari lobi kantor, memasuki lift untuk ke lantai ruangannya.

Thunder Holdings merupakan perusahaan induk yang memimpin anak-anak perusahaan di bidang makanan cepat saji dan waralaba restauran terkenal, perusahaan yang mengatur, mengendalikan serta mengawasi kinerja anak perusahaan yang tergabung dalam satu grup perusahaan.

Danish berhasil menggantikan pamannya di kuorum rapat umum pemegang saham setelah 7 dari 12 dewan komisaris menyetujuinya. Candra tidak bisa menolak setuju karena Danish membawa salinan surat perjanjian pranikah orang tuanya ke rapat umum, senjata yang paling diresahkan oleh Candra dan sekutunya.

Pintu dengan tulisan Direktur Utama itu terbuka, seseorang telah menunggunya. Orang itu bersandar di meja sembari memegang papan nama yang bertuliskan Danish Narayan Padmadim yang di bawahnya tertulis Direktur Utama. Kemudian orang itu tersenyum miring ketika melihat si pemilik papan nama telah datang.

Perlahan ia meletakkan papan nama kembali di meja, lalu bertepuk tangan menyambut.

Sambutan itu sama sekali tak membuat Danish senang, tepuk tangan dan senyuman orang itu seperti melempar batu kerikil ke arah Danish, sangat mengusik. Dalam permainan catur, yang diperlukan adalah tetap tenang. Mengamati setiap gerak-gerik lawan dan menerka apa strateginya. Danish terlihat tenang dengan senyuman kecil di salah satu sudut bibirnya.

Danish memerintahkan Petra untuk meninggalkan ruangan dan menutup pintu.

"Delapan tahun lalu kamu meninggalkan Pendopo Agung, membesarkan perusahaan lain. Sekarang kamu kembali dan ingin merebut perusahaan ini." Candra tersenyum mengintimidasi, "Wah, kamu punya nyali," sarkasnya.

Danish mengangguk, "Seperti yang Anda turunkan, nyaliku sama besarnya dengan nyali Anda merebut perusahaan keluarga mama."

"Danish Narayan!" Candra berdiri tegak, berjalan mendekat ke sang putra. "Kamu pikir itu mudah? Kamu butuh salina asli surat itu untuk sah merebut kursiku, kamu juga butuh seorang anak kandung untuk mengklaim warisan."

Danish tersenyum, "Anda juga tidak punya, kan?"

Candra ternyata selama ini menganggap remeh putranya itu, ia pikir putranya itu masih sama dengan Danish delapan tahun silam yang sering tenggelam dalam ketakutan dan trauma. Yang akan berlari terbirit-birit saat Candra datang membawa sabuknya, yang akan menjatuhkan lutut dan mencium kaki Candra saat stik golf diambil dari tempatnya. Membiarkan Danish keluar dari Pendopo Agung ternyata keputusan yang salah, di luar rumah Danish terbentuk menjadi lebih kuat. Ia seperti Simba yang telah kembali. Bedanya ia akan melawan ayahnya sendiri, Mufasa.

"Suatu hari nanti kamu pasti akan berlutut dan mencium kakiku kembali, Danish."

Danish tersenyum lagi, "Angkat saja stik golf setinggi mungkin, Pa. Aku akan berdiri dan menangkisnya dengan tanganku sendiri."

"Kamu memang tidak pernah menghiraukan ancamanku, ya? Istrimu apa kabar?"

"Baik, Pa. Sehat dan bahagia."

"Dia mengundurkan diri dari perusahaan Marvin tiga bulan yang lalu, kenapa? Dia sudah hamil?"

Dalam wajahnya yang dipertahankan untuk tetap tenang, gemuruh rasa khawatir mencuat dalam hati pria itu. Bagaimana ayahnya tahu? Tidak ada yang tahu Nara hamil, siapa pun kecuali orang-orang terdekat. Siapa? Siapa yang berhianat?

"Seperti Anda dulu, tidak ingin mama capek bekerja. Jadi, aku ingin istriku juga begitu. Dia tidak perlu susah payah bekerja, jadi mending di rumah mengurus kucing-kucingnya," jawab Danish dengan diakhiri tawa kecil saat menyebut kalimat terakhir.

"Oh, ya? Kuharap istrimu tidak seperti mamamu yang keras kepala mengatur pekerjaan suaminya."

Danish menggeleng, "Dia percaya sama aku, jadi tidak akan seperti mama dulu," sarkasnya karena mamanya mencium gelagat penghianatan suaminya sehingga setelah lima tahun di rumah, ia kembali ke perusahaan menggeser kursi komisaris sementara yang diduduki Candra.

Candra hanya tersenyum kecut, kemudian berjalan mendekat ke Danish. Menepuk-nepuk pipi Danish tak keras, tetapi dengan sedikit tekanan. "Jaga istrimu baik-baik, kita lihat kamu bisa bertahan sampai kapan di sini," ucapnya sembari melangkah melewati Danish.

Usai Candra pergi dari ruangannya, Petra kembali masuk.

"Minum, Pak." Petra menyodorkan segelas air mineral.

Danish meraih gelas itu dengan tangan gemetar. "Ah, sial. Aku masih gemetaran menghadapinya," katanya sembari tertawa kecil.

"Maklum di hari pertama bekerja memang seperti itu, Pak."

Danish tertawa seusai meneguk air dalam gelasnya. "Kamu benar."

"Perlu saya buatkan kopi?"

"Hm. Bisa pesankan kopi soonday aja? Buttercream Latte, ya."

"Siap." Petra undur diri, melaksanakan tugasnya.

Sepergi Petra, Danish merebahkan punggungnya di sanggahan kursi. Tak hanya Raja Hitam yang harus ia taklukkan, tetapi juga Kuda Hitam harus ia singkirkan jauh-jauh dari bidak catur peperangan. Meski tangannya masih gemetar, jantungnya berdetak kencang. Danish tersenyum miring.

Langkah selanjutnya adalah menyingkirkan Kuda Hitam, yakni Eran di bidak catur.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro