Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

52 : Perang Sudah Dimulai ( Dan juga Info PRE-ORDER)

Danish sampai di kantor, Ruang Divisi Utama ditutup rapat. Belum sempat masuk ke sana, Marvin sudah mencegatnya di depan lift. Pria itu menarik tangan Danish untuk masuk ke ruangannya.

"Ada apa?"

"Gawat, Nish."

"Apanya yang gawat?!" Setengah tidak sabar, intonasi nada Danish naik. Setelah apa yang telah terjadi, kesabarannya untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi sudah menipis. Danish harus tahu apa yang menjadi musababnya sang istri sampai celaka.

"Sorry, aku—" Danish menghela napas sejenak. Menetralkan gejolak emosi di dalam dirinya terlebih dahulu. Kemudian dia kembali menatap Marvin, bicara dengan nada lebih rendah, "Ada apa sebenarnya? Dari awal."

"Veve mau nyelakai Boby itu benar. Mereka ada hubungan."

"Pacaran?"

Marvin menggeleng.

"Terus?"

Marvin menceritakan apa yang dipaparkan oleh Veve. Bermula saat persiapan Pekan Olahraga Tahunan. Veve tertarik dengan perlombaan catur dan berminat untuk mewakili perusahaan untuk lomba catur bersama Boby. Karena Boby lebih expert, tentu Veve meminta Boby untuk mengajarinya di sela-sela pulang kantor. Meski sempat ditunda pertandingannya, mereka semakin intens bertemu di luar kantor untuk belajar catur.

Veve juga merasa kesepian karena Nara cuti selama hampir dua minggu, sebagian tugas Nara menjadi tanggung jawabnya. Veve tidak masalah karena mendapat kompensasi dari Danish. Meski begitu terkadang Veve merasa kuwalahan, Boby sebagai senior memberi bantuan.

Hubungan mereka semakin dekat.

Sampai suatu hari H-7 Pekan Olahraga Tahunan, Boby mengajak Veve ke kos-nya karena Boby merasa tidak enak badan untuk mampir ke kafe langganan mereka. Mereka belajar catur bersama hingga malam. Sesuatu tak dapat dicegah, sebuah pemaksaan yang berakhir pada penerimaan.

Veve percaya kepada Boby, dia juga sedang jatuh-jatuhnya merasakan cinta kepada seniornya itu. Boby yang terlihat pendiam dan cuek di kantor, berbeda dengan Boby di luar kantor. Itu mengapa Veve merasa tertarik dan jatuh cinta.

Semakin mendekati pertandingan, Veve jadi semakin sering menginap meski beberapa kali menolak, tetapi Boby pintar memperdaya Veve.

H-1 Pertandingan, Veve menemukan hal yang mengejutkan di laptop Boby. Saat itu Boby sedang mandi, Veve harus mengerjakan laporan dan meminjam laptop Boby. Ada folder tersembunyi yang tak sengaja Veve buka.

Sebuah rekaman kamera ponsel yang berisi pelecehan yang dilakukan Boby di kantor. Ada puluhan video. Diam-diam Boby menaruh kamera di kamar mandi perempuan, merekam banyak aktivitas privasi karyawati di kantor. Termasuk Veve.

Dengan tangan gemetar dan hatinya yang hancur, Veve mengirim semua video ke ponselnya. Mereka bertengkar hebat malam itu, Boby melakukan kekerasan dan mengancam Veve akan menyebarkan video-video itu kalau Veve melaporkannya.

Veve merasa dalam tekanan dan tidak tahan, hingga di hari terakhir Pekan Olahraga dan perayaan kecil-kecilan di kantor. Veve mengancam akan membunuh dirinya sendiri dengan pisau di depan Boby. Tapi, Boby malah menyudutkan Veve, menyalah-nyalahkan perempuan itu. Kepalang emosi, Veve mengayunkan pisau ke Boby yang tiba-tiba ditahan oleh Nara.

"Kalau sampai berita ini naik ke media, hancur reputasi kita, Nish."

Danish tercekat, terdiam memproses kejadian tak terduga ini. Sama sekali tak menyangka jika Boby bisa sebangsat itu, padahal selama ini Danish melihat Boby sebagai karyawan yang tidak neko-neko.

"Lu bayangin, kedai kita berkonsep merangkul survivor mental illness, tapi karyawan kita sendiri malah pelaku pelecehan, ditambah lagi percobaan penyerangan. Karyawan kita sendiri yang membuat mental sesama karyawan hancur. Kalau sampai kasus ini keluar, habis kita, Nish. Bener-bener habis kita."

Marvin menendang kursi dengan emosi, "Bajingan Si Boby. Aarrrgh!"

Setelah sekian banyak perjuangan untuk membangkitkan kembali perusahaan yang nyaris pailit, tentu kepala Marvin terasa mau pecah dengan kasus ini.

"Hei, hei, tarik napas!" ujar Danish melihat bahu sahabatnya naik turun tidak terkendali. Danish mengkhawatirkan jantung Marvin yang lemah. "Pasti ada solusi."

Marvin memejam sembari menarik napas panjang, peringatan heart rate di smart watch-nya berbunyi menandakan frekuensi detak jantungnya naik. Bahaya jika terus dibiarkan, Marvin bisa terkena serangan jantung.

Setelah sekian menit mereka saling diam untuk mengatur napas dan menjernihkan pikiran, Danish mengambil langkah pertama untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kita harus tetap mengunggah pernyataan sikap sebelum kasus ini membesar."

"Danish! Lu mau kita ungkap kasus kita ke publik? Lu gila, ya?!" Marvin tidak terima.

"Kalau kita nggak ambil langkah itu, nggak secepatnya memberi pernyataan sikap ke publik bakalan jadi blunder, Vin. Terus maumu gimana? Mau kamu kita diam aja? Kamu nggak mikirin perasaan korban?"

Marvin terdiam, tetap dengan tatapan yang tersirat penyeberangan pendapat dengan Danish.

"Pertama yang harus kita lindungin adalah hak korban. Korban berhak mendapatkan keadilan. Kita berada di sisi korban untuk mendukungnya mendapatkan kompensasi dan keadilan. Ini sikap yang paling benar sebagai atasan juga sebagai badan perusahaan yang komitmen pada perlindungan dan keselamatan pekerjanya," penjelas Danish tegas.

Tatapan Marvin melunak, mulai searah dengan pemikiran Danish.

"Ini juga jati diri dari konsep yang kita usung di perusahaanmu."

Marvin mengembuskan napas panjang, apa yang dikatakan Danish benar. Akan menjadi munafik jika sebagai atasan terlalu memikirkan reputasi tanpa peduli pada perasaan korban. Suatu hari akan menjadi blunder luar biasa, akan menjadi public enemy yang akan dihujat tanpa henti.

"Oke. Gue paham." Marvin mengangguk sebentar, "Pertama, langkah apa yang kita lakukan?"

"Mengumpulkan bukti. Kita buat laporan ke polisi, setelah laporan masuk. Kita unggah pernyataan sikap dan meminta maaf secara publik."

"Terus?"

"Kita dampingi korban ke Perlindungan Perempuan untuk mengawal kasus, kita memfasilitasi pengacara sampai kasus ini tuntas."

Marvin mengangguk, paham.

"Akan ada gejolak panas berbagai opini di masyarakat, tapi selama sikap kita benar, nggak usah takut. Yang terpenting sekarang adalah kita sanggup untuk bertanggung jawab dan memfasilitasi kebutuhan korban pada kasus ini."

Tak selang beberapa lama, keduanya keluar dari ruangan. Memulai langkah pertama. Mengumpulkan dan memvalidasi bukti untuk mengajukan laporan ke polisi. Boby ditahan di ruangan terpisah dengan Veve.

Veve memberikan bukti yang dimaksud. Sebelum itu Veve nangis-nangis minta maaf kepada Danish dan terus mempertanyakan keadaan Nara. Veve benar-benar tidak sengaja, dia merasa tersudut karena dimanupulasi Boby, tersulut emosi karena Boby mengancam dan menyalah-nyalahkannya.

Marvin menjelaskan bahwa perusahaan akan mendampingi Veve dan korban lainnya.

Danish memindah file bukti ke flashdisk, saat memindah ia mengenali satu wajah di antara para korban. Danish mengetuk dan membuka file itu, terpampang jelas di video tersebut Nara membuka jilbab dan sweater-nya.

"Nara?" Marvin sempat melihatnya.

Danish langsung menutup file tersebut, berdiri dari kursi dan berjalan ke ruangan Boby berada. Istrinya termasuk dari sekian banyak korban pelecehan yang dilakukan Boby.

"Nish, bentar, Nish!" Marvin mengikuti.

Dengan langkah gusar, pria itu membuka pintu. Boby yang duduk bersama Jian di ruangan itu tersontak kaget dengan kedatangan Danish yang tiba-tiba, terlebih lagi pria itu langsung menyasak tinju pada wajah Boby.

Boby tergelimpang ke lantai, Danish menindih dan melayangkan tinjuan kembali seperti kesetanan membuat hidung dan bibir Boby berdarah. Emosi Danish meluap, perasaan tidak rela istrinya menjadi korban pelecehan. Aurat istrinya terbuka dan dibuat fantasi mesum oleh pria lain.

Umpatan terlontar bersamaan dengan tinju yang melayang.

"Danish! Danish, cukup! Cukup!" Marvin coba melerai.

"Pak! Udah, Pak, udah." Begitu juga Jian yang turut mencoba melerai.

Danish tidak mau berhenti. Boby menjadi sasak peluapan emosi Danish yang terpendam sejak Nara terluka, terkepung Eran, hingga pelecahan itu.

"Danish, udah!" Marvin menarik tangan Danish, tapi ditepis dan terjungkal ke belakang.

"Pak Danish, ada telepon dari rumah sakit! Katanya Nara sudah sadar." Wina datang memberi kabar.

Kalimat Wina menghentikan tangan Danish, dengan napas terengah-engah dia berdiri dari tindihannya di atas tubuh Boby yang tengah kesakitan. Tanpa kalimat apa pun, pria itu berjalan keluar ruangan dengan tangan yang penuh dengan bekas darah Boby.

Pria itu beranjak ke rumah sakit.

***

Sebelum masuk ke ruangan perawatan Nara, Danish sudah mengganti bajunya yang banyak bekas darah. Pria itu membersihkan diri dan terlihat rapi. Mencoba untuk menutupi apa yang terjadi di kantor, tak mau membuat Nara kepikiran dan berdampak pada kesehatannya.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Danish sudah berpikir matang-matang.

Nara harus resign dari kantor, tidak perlu menunggu sampai dia hamil dulu.

Eran sudah terang-terangan memberi ancaman, sebentar lagi pasti ayah dan ibu tirinya juga menunjukkan pergerakan. Candra semakin menunjukkan eksistensinya dengan sering berinteraksi dengan pejabat tinggi, semakin lama dibiarkan, semakin sulit untuk dijatuhkan. Sepertinya Candra sedang membangun benteng pertahanan dari kalangan berpengaruh.

"Iya, sepertinya ada penghianat di kantor, Paman?" kata Danish melalui telepon dengan Sawiji, pamannya.

"Kuorum rapat umum pemegang saham akan dilaksanakan bulan depan. Kamu bisa datang membawa salinan surat perjanjian itu. Semoga sampai saat itu istrimu ada kabar kehamilannya, juga Eran tidak naik ke kursi Direktur. Paman atur dari sini, kamu siap-siap, Danish. Perang ini sudah dimulai."

"Hm. Baik, Paman."

Sambungan telepon berakhir tak lama dari itu, Danish masih berdiri di lorong rumah sakit dengan detak jantung yang berpacu keras dan cepat.

Ya, benar, perang sudah dimulai.

Ada rasa takut dan juga tidak sabar, pula ada khawatir yang membesar.

Danish harus menggerakan pion-pion yang sudah disiapkan, demi melindungi Ratunya dan juga merebut takhta di bidak catur ini.

"Danish?"

Kerutan di dahi pria itu pudar saat mendengar suara Papi baru saja keluar dari ruangan perawatan Nara. Sejenak menghempas kalut dan takut, fokus pada kesehatan Nara dulu.

"Kok, nggak, masuk?"

"Tadi masih teleponan, Pi. Ini mau masuk."

"Kebetulan kamu udah dateng, Papi harus balik ke proyek karena ada masalah di sana. Tante Marida juga nggak bisa lama-lama, jadi udah pulang tadi."

Danish mengangguk. "Iya, Pi. Nggak usah khawatir."

Papi berpamit ke proyek, sementara itu Danish langsung masuk ke ruangan perawatan Nara.

"Assalamualaikum?" Danish membuka pintu, sejenak berdiri dengan hati yang terhujami rasa lega melihat perempuan yang dicintainya tampak lebih sehat daripada beberapa jam yang lalu. Sudah tak lagi pucat dan lemas, bahkan saat ini terlihat tersenyum lebar.

"Walaikumussalam, Suamiii. Peluk?" Nara merentangkan tangannya dengan manja.

Danish menggeleng. "Aku lagi marah sama kamu."

Senyum Nara berubah menjadi masam. Rentangan tangannya diturunkan.

"Masih bisa senyum lebar sekarang, setelah apa yang terjadi?"

"Harus banget, ya, dimarahin?"

Danish berjalan mendekat, berdiri di samping bed perawatan Nara.

"Lain kalau ada situasi darurat, usahakan diri kamu sendiri dulu yang aman. Nggak usah mikirin keamanan orang lain. Kamu bukan wonder women, ya, Nara. Nangkis pisau pakai tangan kosong, emangnya kulitmu itu dari karet ban? Iya?"

"Harus banget ya, karet ban?"

"Nggak bercanda."

Nara melirik dengan tatapan sinis. Padahal dirinya baru saja melewati situasi kritis, butuh pelukan dari sang suami. Yang didapat malah kalimat omelan. Kejadian di kantor tadi benar-benar spontan, Nara juga tidak menyangka kalau terkena pisau. Lalu, kejadian di jalan tadi ... Gadis terperanjat sebentar. Dia baru mengingat samar-samar sebelum kehilangan kesadaran.

Tiba-tiba, Danish mendekat dan memeluknya.

"Makasih udah bertahan," ucap pria itu.

Sejenak Nara lupa untuk menanyakan detail apa yang terjadi saat di perjalanan mereka ke rumah sakit, sebab ingatan Nara pun tak begitu jelas.

"Gimana keadaanmu sekarang? Masih pusing?" tanya Danish selepas duduk di tepi ranjang istrinya. Tidak ada nada marah, setiap kalimat terdengar lembut.

Senyum Nara kembali terbit, "Udah ngerasa baikan. Apalagi tadi udah dipeluk, tambah ngerasa sangat-sangat baik."

Danish turut tersenyum, "Alhamdulillah, tolong ke depannya kamu jaga diri kamu, ya. Aku nggak mau ngeliat kamu kayak gitu lagi."

Nara mengangguk. "Veve gimana? Dia kenapa tiba-tiba nyerang Kak Boby?"

"Nggak usah dipikirin, lagi diurus sama Marvin. Nanti kamu juga tahu sendiri. Sekarang kamu hanya perlu fokus sama kesehatanmu aja, ya?"

"Iya, Kak." Nara mengangguk menurut. "Oh, ya."

"Kenapa, Sayang?"

Nara meraih kertas di atas nakas, lalu diulurkan ke arah suaminya. "Ini hasil tes darahku sebelum tranfusi."

Danish meraih kertas itu lalu membukanya, melihat daftar angka dan nama-nama medis yang tak dia pahami. Ada beberapa coretan. Hemoglobin, Hematokrit, dan HCG.

"Ini kenapa yang dilingkari?"

"Yang dilingkari itu menunjukkan ketidaknormalan."

"Oh, ya?"

"Hemoglobin sama Hematrokritnya rendah karena memang aku kekurangan darah."

"Iya, terus?" Danish menyimak sambil menatap kertas itu dengan serius. "Kalau yang HCG?"

"Kata dokter normalnya HCG pada wanita sehat itu tidak terdeteksi."

Danish mengalihkan pandangan khawatir ke Nara. Keduanya saling bertatapan, "Kamu sakit?"

"HCG terdeteksi akurat di dalam darah wanita yang sedang hamil."

Danish mengerjap sebentar, tidak paham. Sementara Nara sudah menggigit bibirnya, menahan air mata.

"Bentar, bentar..." Danish mencoba mencernanya. Selang beberapa detik, "Kamu hamil, Sayang?"

Air mata Nara menetes sembari kepalanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan suaminya.

"Beneran?"

"Iya, Kak. HCG itu hormon kehamilan." Nara menangis, tampak bahagia mengetahui dirinya hamil sesuai dengan harapannya.

HCG lebih akurat terdeteksi di tes darah dibanding tes urine yang memerlukan paling lama satu bulan setelah terjadinya pembuahan. Danish membeku untuk beberapa detik. Perangnya memang benar-benar sudah dimulai. Ada rasa bahagia bercampur rasa takut yang merayap bersama.

"Are you not happy?" tanya Nara saat melihat Danish hanya membeku tanpa ekspresi.

Tiba-tiba pria itu menutup dua matanya dengan tangan.

"Aku bahagia, tapi aku juga takut," ungkapnya di tengah tangis rasa haru.

Nara memeluk suaminya, "Kita pasti baik-baik aja. Aku, calon anak kita, keluarga kita. Pasti baik-baik aja, insyaallah."

Danish membelas pelukan, "Terima kasih untuk kabar bahagia ini. Demi Allah, aku akan melalukan apa pun demi melindungi kalian."

"Kita percaya, Kak. Kita percaya pasti kamu bisa melindungi kita."

"Kita sembunyiin dulu, ya, kabar ini?"

Nara langsung mengangguk tanpa sanggahan, Danish jauh lebih paham mengapa keputusan itu diambil.

"Segera kita pindah ke rumah yang lebih aman, kamu juga harus resign dari kantor. Aku yang bakal mengurusnya. Nggak apa-apa, kan, Sayang?"

"It's okay, aku ikut semua keputusan kamu."

"Terima kasih, Nara," ungkap Danish sembari mengecup kening istrinya dan memeluknya penuh haru dan rasa bahagia.

Akan hadir buah keturunan yang menjadi pondasi dari kudeta, yang akan mengawali sebuah perang antar ayah dan anak. Yang akan menjadi pelengkap dari terbentuknya cinta di dalam rumah tangga Nara dan Danish.

***

Untuk teman-teman yang mau baca versi novelnya yang jauh lebih bagus daripada versi wattpad, bisa dipesan mulai sekarang, ya.

Berikut paket harga dan e-commerce untuk memesannya. 


See you next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro