51. Kuda Hitam dan Ancamannya
325 vote + 550 komen🔥
Nanti aku pilih siapa yang rajin komen, aku kasih novel Hello, Jodoh 💓
Happy Reading 💞
~~~
"Iya, Pak Danish!" kata Nara sembari mendorong pintu ruangan Divisi Utama. Sempat tersenyum gemas dengan sikap sang suami yang overprotektif, padahal belum tentu juga Nara hamil.
Namun senyuman itu lenyap seketika saat melihat Veve, teman satu angkatan magangnya berdiri di depan kubikel memegang pisau. Tidak hanya ada Veve di sana, tetapi juga Boby yang berusaha menenangkan Veve.
"Veve? Apa yang—" Belum sempat Nara melengkapi pertanyaannya, Veve sudah mengarahkan pisau itu ke Boby. Spontan Nara berlari menahan tangan Veve. Karena itu Veve mendorong dan pisau mengenai tangan Nara.
Nara terjatuh dilantai memekik kesakitan, darah pun mengucur dari tangannya.
"Lo gila, ya!" sergah Boby.
Sementara Veve terkejut dengan perbuatannya, tangan gadis itu gemetar dan pisau jatuh ke lantai.
"Nara!" Danish muncul dari pintu setelah mendengar teriakan istrinya. Danish langsung menghampiri Nara, melepas jasnya dengan cepat untuk menutup luka di pergelangan tangan istrinya. Darah itu mengucur deras, sepertinya mengenai pembuluh darah.
Beberapa detik kemudian karyawan yang lain muncul, Marvin langsung masuk menengahi apa yang terjadi. "Kenapa ini? Ada apa?"
Veve dengan wajah ketakutan dan khawatir, mendekat ke Nara, "Ra, aku minta maaf. Aku nggak sengaja. Aku—aku..." Veve tampak kebingungan, dirinya juga syok bisa senekat itu. Matanya mengarah dengan sorot benci dan marah ke arah Boby. "Gara-gara dia," tunjuk Veve.
"Lo apa-apaan nuduh gue? Lu yang main sabet aja," elak Boby.
"Gara-gara kamu! Ini semua gara-gara kamu!" Veve berteriak sambil menangis, keukeh menyalahkan Boby.
"Ini ada apa sih, sebenarnya? Coba jelasin ke gue!" sahut Marvin.
"Ayo ke klinik." Danish menarik Nara untuk berdiri.
"Sebentar, Kak." Nara menolak, dia ingin tahu apa yang terjadi. Sepertinya sesuatu telah menimpa teman magangnya itu.
"Nara, ini tanganmu berdarah!"
Marvin menoleh ke Nara, "Nara nurut sama suami lo, biar gue yang atasin di sini."
Danish langsung menarik bahu Nara membelah kerumunan karyawan untuk pergi ke rumah sakit.
"Nara, maafin aku, aku nggak sengaja! Nara!" Veve mencoba mengejar, tapi Marvin menahannya.
"Jelasin sekarang, ada apa!?" sergah Direktur itu kepada dua karyawannya.
Meninggalkan kantor karena dokter klinik tidak ada di gedung, Danish melesat menuju rumah sakit, pria itu mengebut karena melihat Nara sudah memucat. Sepertinya memang benar pisau itu mengenai pembuluh darah Nara. Darah terus-terusan mengalir meskipun pergelangan Nara sudah dililit dengan jas suaminya.
"Nara? Nara jangan tidur!" bentak Danish karena istrinya itu memejam. "Nara!"
"Iya ..." Nara perlahan membuka kelopak matanya.
Peluh keringat membasahi kening Danish, gas diinjak lebih kencang. Dia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya panik tidak keruan. Harus tetap fokus mengemudi demi sampai di rumah sakit dengan selamat.
Ban mobilnya melambat di persimpangan jalan. Jalan utama menuju rumah sakit terlihat padat merayap. Jarak rumah sakit sekitar tiga kilometer, Danish takut Nara semakin kehabisan darah jika lewat jalan tersebut.
Stir diputar ke kanan, kemudian melaju kencang lewat jalan yang lain. Meski sedikit memutar dan berjarak 500meter lebih jauh, lebih baik daripada terjebak macet di jalanan yang padat merayap.
Tangan kanannya mengendalikan stir kemudi, sementara tangan kirinya menekan pergelangan tangan Nara yang dibebat dengan jasnya. Menghambat darah untuk keluar lebih banyak.
"Kak... aku ngantuk banget." Napasnya terlihat terengah-engah, Nara mulai terserang gelaja anemia berat.
"Jangan tidur!" Danish menepuk-nepuk sedikit kencang pipi istrinya. "Nara, tolong jangan tidur! Lihat aku!"
Nara memejam.
"Nara, lihat aku!" bentak Danish sekeras-kerasnya membuat Nara terperanjat kaget, kemudian melirik suaminya dengan napas yang memburu oksigen, bibirnya terlihat benar-benar memucat dan sedikit membiru.
"Kalau kamu sayang sama aku, jangan berani-beraninya tertidur!"
Nara tak merespons, hanya menatap Danish dengan setengah kelopak matanya terbuka, dipertahankan mati-matian untuk tidak memejam.
"Kamu denger? Jangan berani-beraninya tertidur!"
"Hm..." respons perempuan itu dengan lemah.
"Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit, tolong bertahan demi aku." Danish kembali menginjak pedas gasnya, melaju kencang.
Tiba-tiba sebuah jeep menotol mobil Danish dari belakang. Kepala Danish nyaris membentur kemudi, tangan kirinya berhasil menahan badan Nara untuk tidak terpental ke depan. Meski sempat kehilangan keseimbangan, Danish berhasil mengendalikannya.
"Sayang, kamu nggak apa-apa?"
Nara tidak banyak merespons, hanya terlihat kedipan matanya yang lemah dan embusan napasnya yang semakin pendek.
Danish melirik mobil yang menabraknya dari belakang, sebuah jeep tanpa plat nomer berwarna hitam. Tidak jelas siapa yang mengemudi, hanya terlihat dua pria berbadan kekar tanpa jelas wajahnya. Perhatian Danish teralih saat layar pada head dashboard mobilnya menyala, menunjukkan sebuah panggilan masuk dari nomer tidak dikenal.
Danish menekan salah satu tombol di setirnya, menjawab panggilan tersebut.
"Kakak tiri, mau ke mana buru-buru?"
Suara Eran jelas terdengar dari panggilan itu. Danish mencengkeram setir, emosinya naik berkali lipat menyadari jeep di belakang pasti suruhan Eran.
"Itu kamu? Jangan main-main, Eran! Jangan sekarang!"
Terdengar gelak tawa Eran. "Kenapa? Kakak ipar gue lagi sekarat?"
Dari mana adik tirinya itu tahu?
Suara tawa Eran kembali terdengar.
Pasti ada penghianat di kantor!
"Apa maumu?" tanya Danish tanpa tedeng aling, jelas Eran punya maksud tertentu melakukan pengancaman tak langsung di keadaan Danish yang darurat ini.
Eran tak lekas menjawab, lengang beberapa detik. Brak! Jeep di belakang kembali menabrak mobil Danish dari belakang. Kali ini Danish terlambat menahan tubuh Nara untuk tidak terpental ke depan, dahi istrinya itu membentur dashboard. Seketika langsung kehilangan kesadaran.
"Bajingan! Apa maumu?!"
Terdengar Eran tertawa keras.
"Nara? Nara? Sayang?" Danish mencoba menggoyang-goyangkan pipi istrinya, "Nara! Bangun!"
Namun, tidak ada respons.
Danish semakin panik, semakin terjepit. Seharusnya dia tidak lewat jalan ini, meskipun lengang tetapi jarak rumah sakit semakin jauh dari jalan biasanya. Kejadian ini pun mungkin tidak terjadi. Sejenak pria itu merutuki diri sendiri.
"Eran, Demi Allah, apa maumu?"
"Gue tahu lo dan Paman Sawiji nyoba nyelidiki klub gue."
Eran memiliki sebuah klub malam di daerah Jakarta Pusat. Klub kelas atas yang sering didatangi para artis dan orang-orang kalangan elit. Danish dan Paman mencurigai klub itu melakukan pencucian uang melihat gelontoran dana gaib dari Thunder Holdings atas nama Rox's Club, klub malam milik Eran. Selain itu juga, Danish dan Paman meyakini adanya transaksi jual beli obat terlarang dan prostitusi kalangan atas.
Bagi Danish, Eran adalah kuda hitam dalam bidak catur yang harus disingkirkan untuk melakukan kudeta. Rox's Club adalah jalan paling mematikan bagi kuda hitam jika Danish berhasil mengungkapkan dosa-dosa klub tersebut.
Namun sepertinya rencana itu bocor. Danish meyakini ada penghianat di sekitarnya.
"Kalau mau istri lo selamat, jangan pernah nyentuh klub gue. Nggak ada hubungannya dengan kudeta lo ke bokap. Rox's club murni milik gue."
Danish tahu Eran berbohong. Pria itu bergeming sembari fokus mengemudi. Ujung gedung rumah sakit sudah terlihat.
"Lo denger, nggak!? Atau gue tabrak lagi biar lo paham?"
Danish mencoba memperhitungankan jarak dan waktunya, tetapi jeep di belakang terlalu mepet dengan mobilnya. Terpaksa, pria itu harus menuruti apa kata Eran.
"Iya! Aku cabut penyelidikan itu!"
Terdengar Eran tertawa keras, tawa puas.
"Lo pikir gue langsung percaya?" Tawa itu lenyap, berganti dengan nada serius.
"Terus apa maumu? Gimana caranya biar kamu percaya?!" Danish terlihat gusar, ia menoleh ke Nara yang tersadarkan diri dengan wajah memutih pucat.
"Apa yaaa?"
Danish berdecak kesal, "Demi Allah aku janji, Demi Allah, Eran. Aku nggak akan menyelidiki klubmu lagi."
"Jangan bawa-bawa Tuhan..."
"Eran, bajingan—"
"Memohonlah."
"Maksudmu?"
"Bilang gini gue," jeda sebentar, "Eran, aku mohon selamatkan istriku."
Danish meremas kemudi, adik tirinya itu benar-benar kurang ajar. Pengecut. Bisanya melawan saat Danish dalam situasi darurat.
"Eran ..." Bibir Danish seperti keluh untuk mengucapkan permohonan pada adik tirinya itu, "Eran, tolong selamatkan istriku. Aku mohon," ucap Danish dengan nada penuh permohonan.
Tawa Eran meledak.
"Good job, Brother."
Jeep di belakang terlihat melandai, semakin menjauhi mobil Danish. Di kesempatan itu Danish langsung tancap gas melaju ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, Danish langsung menggendong istrinya masuk IGD.
"Dokter! Dokter! Tolong istri saya!"
Satu dokter dan dua perawat terlihat berlari ke arahnya membawa brankar. Nara diletakkan di atas brankar, kemudian didorong masuk ke ruangan tindakan. Sementara Danish berdiri di depan stase, dengan tangan gemetar dan beraut khawatir, tetapi dengan napas yang lega, istrinya berhasil sampai di rumah sakit dengan selamat.
***
Nara berbaring di brankar IGD, dua kantong darah ditranfusi melalui selang yang menancam di siku tangan kirinya, sementara tangan kanannya menancap pula infus yang lain sebagai penunjang pemulihan tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. Pembuluh darah yang robek sudah dibebat perban. Namun, sudah tiga puluh menit perempuan itu belum juga sadar.
Danish mengusap dahi Nara yang memar, tidak ada cidera serius di kepalanya. Namun, hal itu tetap membuat Danish teramat merasa bersalah karena tidak bisa menjaga istrinya dengan baik.
Sepertinya akan lebih aman jika Nara mengundurkan diri dari kantor, Danish meyakini ada penghianat di sana. Tidak mungkin Eran tiba-tiba tahu keadaan Danish yang sedang darurat, tidak mungkin bocor penyelidikan yang dilakukan Danish dan Paman. Pasti ada musuh di balik selimut.
Namun, siapa?
Tidak ada yang tahu peperangannya dengan sang ayah kecuali Marvin. Danish menggeleng seolah yakin kalau penghianat itu bukanlah sahabat karibnya.
Lantas siapa?
Tidak ada yang mencurigakan selama ini.
"Ners, atas nama—nama... anak saya... Nara." Suara Papi terdengar dari bilik perawatan.
Danish melepas tangan Nara, menyibak tirai. "Papi, di sini."
Papi menoleh. Pria 50 tahun itu tergopoh-gopoh masih mengenakan helm proyek masuk ke IGD setelah beberapa menit yang lalu Danish mengabari kalau Nara masuk rumah sakit.
"Anakku, Ya Allah, anakku..." Papi mengusap kepala Nara yang tidak berhijab. Papi menangis, seolah jantungnya kehilangan detaknya ketika mendengar Nara masuk rumah sakit. Langsung meninggalkan lokasi proyek.
"Tekanan darahnya udah normal, Pi. Kondisinya juga sudah baik-baik saja. Alhamdulillah."
"Kok bisa sampai kehabisan darah? Kok bisa sampai tangannya kena pisau?" tanya Papi masih meratapi apa yang telah terjadi pada putri semata wayangnya, mengusap memar kebiruan di dahi putrinya itu.
"Danish minta maaf karena kurang baik menjaga Nara, Pi." Jeda sekian detik, "Kejadiannya juga Danish kurang paham karena langsung membawanya ke rumah sakit. Ini masih nunggu kabar dari Marvin."
"Ini kepalanya kenapa? Kok biru?"
"Itu..." Danish menggigit bibirnya sejenak. Tidak mungkin mengatakan kejadian yang sebenarnya. Entah bagaimana nanti respons Papi jika tahu putrinya sempat dalam keadaan terancam yang membahayakan nyawanya. "Tadi di jalan karena Danish panik, hampir aja kecelakaan. Dahinya membentur dashboard."
"Kata dokter gimana? Nggak apa-apa, kan?"
"Alhamdulillah, nggak ada cidera yang serius, Pi."
Tangisan Papi semakin terisak, hati ayah mana yang tak terluka melihat putri kesayangannya terbaring di rumah sakit?
"Anakku, Ya Allah, Nduk. Papi di sini, Nak. Bangun, Nak."
Menyaksikan itu Danish semakin merutuki dirinya sendiri karena ceroboh, tidak becus menjaga istrinya. Pria itu harus mengambil langkah untuk lebih bisa memproteksi Nara dari ancaman apa pun. Perang belum benar-benar dimulai. Jika perang itu sudah dimulai, Nara semakin dalam bahaya jika Danish tidak mengambil langkah terbaik memperketat perlindungannya pada sang istri.
Ponselnya bergetar di saku, tanda panggilan masuk.
"Pi, Danish permisi dulu angkat telpon dari Marvin," pamitnya pada sang mertua.
Papi menggangguk.
Danish menjauh dari triase perawatan, menutup tirai rapat agar aurat istrinya yang sedang tidak berhijab tidak terlihat orang lain. Sebelumnya Danish juga berpesan agar dilayani perawat perempuan demi menjaga aurat istrinya.
Pria itu keluar dari IGD.
"Assalamualaikum, Vin?"
Lengang tidak ada jawaban.
"Marvin?"
"Gawat, Nish. Bener-bener gawat," sahut Marvin tanpa membalas salam, suaranya tampak bergetar.
"Gawat apa maksudmu?"
Terdengar sesuatu ditendang oleh pria itu, mungkin vas atau tempat sampah.
"Vin, ada apa?" Danish panik.
Marvin berteriak frustasi, "Bajingan Si Boby. Lu ke sini sekarang, Nish. Lu cepat ke sini sekarang!"
"Ya—ya, aku ke sana."
"Nara. Nara gimana keadaannya? Dia baik-baik aja, kan?"
"Hm. Ada Papi di sini."
"Syukurlah. Cepat ke sini, Nish. Sumpah, gue nggak tahu musti gimana."
"Oke. Aku ke sana sekarang. Kamu yang tenang."
"Gue tunggu, Nish."
Sambungan telepon berakhir setelah itu, Danish kembali masuk ke IGD untuk pamitan kepada Papi. Meminta Papi untuk menjaga Nara selagi Danish mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat istrinya terluka.
Danish berpapasan dengan Marida di parkiran mobil, menitip pesan untuk menghubunginya jika Nara sudah sadar. Pria itu melesat kembali menuju kantor, masih dengan kemejanya yang penuh dengan bekas darah.
Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Pemenang Giveaway Vote Cover bisa dilihat di Instagram saya, ya. Ada 3 pemenang dari wattpad.
Sebagai persiapan untuk teman-teman yang sudah menemaniku on going selama hampir setahun ini. Aku mau kasih tahu kalau
Hello, Jodoh akan tamat di part 60 🥰
Buat teman-teman yang ikut PO, selagi nunggu bukunya dateng, bisa baca versi AU-nya di Instagram saya, ya.
See you next part 💓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro