50: Protektif Danish
Honeymoon telah usai, Danish dan Nara telah kembali ke Jakarta menjalani aktivitas seperti biasa. Kantor sedang menyambut Pekan Olahraga Tahunan. Sebelum memulai pertandingan diwajibkan semua mengikuti senam pagi di gymnasium yang disewa untuk acara ini. Tidak hanya dari perusahaan Soonday, semua perusahaan yang berada di Capital Tower juga ikut serta.
Dipimpin intsruktur senam, gynasium terlihat ramai. Meski banyak yang tidak serius, tak melunturkan semangat sebagian orang yang serius mengikuti intruktur senam.
Dari Perusahaan Soonday siapa lagi yang paling semangat jika bukan Nara. Tidak hanya hafal gerakan senam saja, tetapi lagu-lagu yang diputar juga dinyanyikan dengan semangat. Karin yang di sampingnya beberapa kali menyumpal mulut sahabatnya itu karena terlalu berisik.
Sementara Danish di barisan belakang itu hanya melakukan gerakan senam seadanya sembari tersenyum. Di antara banyaknya orang, matanya hanya mengarah ke Nara. Bahkan tidak memperhatikan arah instruktur senam.
"Beberapa hari yang lalu pas lo di Jepang, gue dapet tawaran dari Thunder Holdings," ujar Marvin yang berdiri di samping Danish, mengikuti senam dengan gerakan seadaanya sembari matanya melihat ke arah Karin.
Danish tersenyum kecil, "Sudah kuduga. Mereka pasti mau mengajakmu kerja sama."
"Bener."
"What do you think?"
"Terlalu menggiurkan."
Danish hanya melirik dengan senyuman kecut.
"Jadi, kapan lo pindah ke Thunder Holdings?"
"Semenggiurkan itu tawaran mereka?"
"Mereka mau kasih space di atrium mal yang sekarang lagi mereka bangun buat Kedai Soonday. Selain itu mereka janjiin pasar global di beberapa negara tetangga. Gue tahu mungkin karena kedai kita lagi menyedot perhatian banyak orang sampai viral di platform mana pun, tapi gue juga yakin pasti ada maksud tertentu papa lo mau kerja sama perusahaan kita," penjelas Marvin.
Danish bergeming sebentar, menghentikan gerakan senamnya. Matanya masih mengarah pada Nara yang tengah tertawa bergurau dengan Karin. Semakin dekat dengan kepindahannya ke Thunder Holdings, semakin dekat bidak catur peperangan itu akan digelar. Danish terayapi rasa khawatir.
Namun, tawaran Thunder Holdings yang banyak menguasai saham pasar waralaba itu juga kesempatan bagi perusahaan Marvin. Danish kembali digiring pada persimpangan jalan, memilih ke arah mana langkahnya ditentukan.
"Tapi kayaknya gue nolak," sahut Marvin tiba-tiba.
"Kenapa? Bukannya itu kesempatanmu di pasar global?"
Marvin tak langsung menjawab, menggerak-gerakkan tangannya mengikuti instruktur senam. Danish menatapnya menunggu jawaban, dengan sedikit kerutan di dahinya.
"Nunggu lo naik takhta. Gue nggak cuma minta di Pasar Asean aja, tapi pasar Europe."
"Kurang ajar," ujar Danish sambil menoyor bahu Marvin.
"Bini lu noh, lihat!" tunjuk Marvin ke depan sambil tertawa.
Danish mengikuti arah tunjuk tangan Marvin. Lengah sedikit dari tatapan Danish, Nara sudah berada di atas podium berduet dengan instruktur memimpin senam, berseru menyemangati para karyawan yang akan bertanding hari ini.
Sambil geleng-geleng kepala, Danish maju ke depan.
"Turun, turun," perintah Danish menghampiri Nara ke podium.
Nara menggeleng, tidak mau. Lagi seru-serunya senam.
Danish hanya menarik napas panjang menatap Nara sambil menggigit bibirnya sedikit, istrinya itu langsung menyebik sembari turun dari podium. Disoraki banyak orang.
Danish langsung menarik tangan Nara untuk melipir dari lapangan, keluar dari gymnasium dan masuk ke ruangan serbaguna.
"Waktu kita baru pulang dari Jepang, aku minta apa dari kamu?"
"Jaga diri."
"Paham nggak artinya jaga diri?"
"Kak, tapi aku cuma—"
"Gimana kalau kamu sekarang lagi hamil? Hm? Waktu itu dokter bilang apa? Lupa?"
"Nggak boleh kecapekan."
"Itu ingat."
Danish menyentuh perut Nara, "Kita masih belum tahu kamu hamil apa nggak sebelum dua minggu lagi cek ke dokter. Jadi, aku mohon kamu jaga diri selama waktu itu."
"Iya." Nara mengangguk.
"Kalau kamu jatuh dari podium gimana? Kalau sampai ada apa-apa sementara kamu ternyata hamil, gimana?"
"Maaf."
"Ya, udah. Jangan diulangi, diingat-ingat pesan suamimu, hm?"
"Iyaaaa..." jeda tiga detik, "tapi aku nanti ikut lari estafet, ya?"
Terdengar isapan udara dari sela bibir Danish dengan pelototan kecil.
Nara tertawa, "Bercandaaaa." Cup! Kecupan mendarat di pipi kiri Danish dengan lompatan kecil untuk menjangkaunya.
"Jangan lompat-lompat," tegur suaminya.
"Bukannya seneng dicium istri, malah dimarahin! Protektif banget, sih?" Nara melengos meninggalkan Danish kembali ke dalam barisan senam.
Sambil berkacak pinggang di pinggir lapangan, Danish menghela napas panjang. Menikahi Nara adalah keputusan yang paling membahagiakan meski juga paling memusingkan menghadapi segala tingkah random istrinya itu.
***
Tiga hari pertandingan Pekan Olahraga Tahunan terlaksana, juara umum yang akan mendapatkan hadiah liburan jatuh pada perusahaan ditempat Karin bekerja. Sementara perusahaan Soonday jauh tertinggal, hanya mendapatkan satu medali di catur yang dimenangkan oleh Boby.
Meski kalah, Marvin tetap mentraktir karyawannya makan besar di kantor.
"Entar yang menang liburan ke mana, sih?" tanya Marvin.
"Labuan Bajo."
"Tanggal berapa?"
"Akhir bulan, Pak."
"Nish, gue pasrahin perusahaan ke lu akhir bulan, yak. Gue harus ikut ke Labuan Bajo," bisik Marvin ke Danish.
"Karin nggak bakalan ikut," sahut Nara yang duduk di sebelah Danish, mendengar bisikan Marvin.
"Kenapa?"
"Akhir bulan ini peringatan hari kematian neneknya."
Marvin mengacungkan dua jempolnya, "Nice info! Thanks."
Di ruangan yang biasa digunakan rapat besar, Marvin dan karyawan-karyawannya bercengkerama bersama untuk satu hari ini, hari kekalahan mereka di Pekan Olahraga Tahunan. Semua orang sudah bekerja keras latihan setelah pulang mengantor, tidak mudah menjalaninya. Jika dulu Marvin akan mengomel, tetapi sekarang pria itu tetap menghargai usaha semua karyawan yang terlibat.
Banyak makanan rumahan, seperti bakso, capjay, rujak, ayam bakar, sate dan snack. Sedari tadi mata Danish mengikuti setiap gerakan tangan Nara mencomot makanan.
"Nggak boleh, yang lain aja," kata Danish mencegah Nara mengambil sate.
"Jangan banyak-banyak sambelnya. Nggak boleh," katanya saat Nara baru membuka tutup botol sambal.
"Jangan makan nanasnya, yang lain aja," katanya saat Nara meminta rujak manis.
"Air putih aja, Nara, atau jus buah. Jangan minuman yang bersoda," katanya saat Nara hendak menuang minuman bersoda.
Setiap Nara ingin makan sesuatu, dia harus melirik suaminya dulu. Kalau Danish mengangguk, Nara boleh memakannnya. Kalau Danish menggeleng, Nara harus memilih pilihan lain.
"Siapa mau sushiiiii?" Marvin membawa dua loyang sushi yang baru saja tiba.
"Mauuuu!" semua orang menyahut, tak terkecuali Nara.
"Nara, nggak boleh," larang Danish.
Istrinya itu sudah kepalang sebal, Nara berdiri dari kursinya melengos keluar dari ruangan. Belum benar dinyatakan hamil, protektifnya di luar nalar. Meski itu bentuk perhatian suaminya, tetap saja sebagai manusia yang doyan makan, hal itu membuat Nara kesal.
"Mau ke mana?" Danish menyusul keluar.
"Apa-apa nggak boleh. Ini itu nggak boleh. Kak, aku, kan, belum tentu hamil!"
"Tapi aku punya feeling."
"Dih, cenayang Anda?"
"Nanti sepulang kantor, kamu bisa makan yang lain. Aku beliin sendiri. Semau kamu, yang penting aman." Danish merogoh saku, mengambil ponselnya yang bergetar. Sebuah alarm, "Waktunya kamu minum vitamin. Kamu bawa, kan?"
Nara hanya melongo, suaminya itu benar-benar overprotektif.
"Bawa, nggak? Kalau nggak bawa ada di ruanganku. Udah aku sediain."
Bibir Nara semakin melongo. Kemudian tertawa kecil sambil bertepuk tangan, "Ini belum tentu aku hamil loh, kamu seover ini protektifnya. Gimana nanti kalau aku beneran hamil, Kak? Stress aku kayaknya."
"Kenapa setress? Kan, aku ngikutin saran dokter. Dokter itu lebih tahu dan paham loh, Sayang," ucapnya dengan wajah serius.
Nara mengangguk-angguk. "Oke, oke. Aku minum vitamin sekarang." Perempuan itu menuju ruangannya untuk mengambil vitamin. "Hadeeuh, lieur..." gerutunya sambil membuka pintu ruangan divisi utama.
"Diminum beneran, ya?"
"Iya, Pak Danish!" sergahnya kesal sembari masuk ke ruangannya.
Danish menatap istrinya yang masuk itu dengan helaan napas panjang. Merasa bersalah karena terlalu protektif, tetapi semua itu juga kebaikan Nara. Calon anak yang dikandung itu juga adalah calon pewaris takhta Pendopo Agung. Danish ingin memberikan yang terbaik, untuk Nara maupun untuk calon pewarisnya.
"AAAAAAKH!" Terdengar teriakan dari ruangan Divisi Utama.
Danish yang hendak masuk kembali ke ruangan rapat itu urung saat mendengar suara teriakan istrinya.
"Nara?" Buru-buru pria itu berlari ke arah ruangan Divisi Utama.
Disusul Marvin dan beberapa orang keluar dari ruang rapat saat mendengar teriakan tersebut. Wajah mereka tampak kebingungan apa yang terjadi. Kompak mereka berlari ke arah teriakan.
Danish membuka pintu ruangan dan terkejut saat melihat Nara terduduk di lantai dengan tangannya yang meneteskan darah.
"NARA!" pekik Danish saat melihatnya.
Mau coba target lagi, ah.
300 vote, 500 komentar 😄
Ikuti juga AU Instagram Hello, Jodoh di Instagram dianafebi_
See you next part 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro