Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Menyerahkan Diri dengan Manis

(Boleh di-skip di bagian pertama part, bisa langsung dibaca bagian kedua)

Mengandung scene, words dan activity adult
⚠️⚠️⚠️⚠️
Hati-hati!
Siapkan hati!
Dilarang keras meniru bagi yang jomblo ‼️
Pakai sound di atas judul First Love-Hikaru Utada sambil baca dijamin 😭🔥🥰🦋

Vote dulu dong, ini adalah special part 🌸

Happy Reading 💞

.
.
.
.
.


Fusuma ditutup rapat, Nara duduk bersimpuh di atas futon, memangku tangan. Sementara Danish di belakangnya, bergeming beberapa saat untuk menetralkan kegugupan sembari merapal doa dengan sunyi, meminta kepada Sang Khaliq untuk izin mencicipi surga dunia yang telah tercipta, memohon berkah-Nya agar keturunan yang dihasilkan memiliki jiwa yang selamat dunia dan akhirat.

"Kalau kamu ngerasa nggak nyaman, bilang, ya. Ini juga pertama buatku."

Nara mengangguk.

"Bismillah ..." lirih Dansih sembari menarik pelan ujung simpul obi di punggung Nara.

Obi terlepas dari yukata milik Nara, diletakkannya di luar futon. Kemudian Danish menarik himo-tali kain dan terakhir menarik obijime, tali terakhir yukata. Danish menarik tali-tali itu dengan pelan dan selembut mungkin agar membesarkan keyakinan Nara bahwa suaminya itu akan memperlakukannya dengan hati-hati.

Setiap tali-tali itu ditarik, seperti ditarik pula jantung Nara untuk jatuh berkali-kali. Ia mengembuskan napas setenang mungkin, mengontrol rasa gugup agar terkendali. Ia tidak mau membuat khawatir dan ragu suaminya.

Setelah tali-tali itu terlepas, Danish mengambil jeda. Tak mau terkesan terburu-buru. Karena bukan hanya jantung Nara saja yang perlu dikendalikan detakannya yang seperti genderang perang, tetapi juga jantung pria itu. Sekujur tubuhnya terayapi rasa panas yang kian lama kian melenyapkan akal sehatnya.

Danish meraih dua pundak Nara yang tak disangka membuat gadis itu sedikit terjingkat, namun ia segera menoleh dengan senyuman agar Danish tidak perlu khawatir. Kemudian Nara kembali menghadap ke depan, meneguk salivanya kuat-kuat.

Danish tersenyum kecil, sebelum perlahan melepas bagian atas yukata dari Nara. Seperti bunga yang baru saja mekar, kelopaknya terlihat polos, indah dan bersinar. Berdesir dada Danish menatap bahu dan setengah punggung Nara yang polos. Pria itu kembali mengambil jeda untuk mengatur napas dan jantungnya.

Bekas hukuman di leher gadis itu sudah lama menghilang, tetapi Danish yakin kalau trauma itu masih berada di sana. Karena itu, persinggahan pertamanya adalah menyapa bekas hukumannya, seolah meminta maaf atas rasa sakit yang pernah diberi.

Nara memejam takut, masih terbayang bagaimana sakit dan mengerikannya waktu itu. Namun, kali ini terasa berbeda. Pejaman matanya yang dalam perlahan lenyap seiring rasa hilang timbul yang menarik segala rasa lezat dan menggelikan berpusat pada satu titik.

Di kesempatan itu Danish mengambil langkah selanjutnya, ia melepas ikatan di punggung Nara sembari berkata bahwa Nara tak perlu menahan suara, tak perlu malu untuk memperlihatkan bahwa dirinya sudah mulai mengayuh perahu untuk berlayar bersama.

Danish melepaskan kepangan rambut Nara, membiarkan terurai. Kemudian mengambil posisi duduk di depan gadis itu yang menunduk malu, tangannya menyilang di dada karena kembennya sudah terlepas. Dia sedang berperang dengan rasa mual yang tiba-tiba datang, dan juga rasa malu yang ingin berontak untuk memintanya mundur. Mendadak terasa tidak nyaman. Merinding seluruh badannya.

"Nara?" panggil lembut Danish sembari menarik pelan ujung dagu Nara untuk mendongak menatap pria itu.

Wajah Nara memerah, mata gadis itu membendung air mata. Bibirnya pun bergetar, digigit kecil untuk menahan perasaan menangis. Tiba-tiba saja rasanya ingin kabur, merasa ada yang salah, merasa bersalah kepada papi yang selama ini sudah menjaganya. Sekelibat ketakutannya soal perang itu pun menelusup untuk meruntuhkan kepercayaan diri Nara.

Danish melihat semua itu. Perlahan pria itu melepas kimono miliknya, bertelanjang dada seperti Nara.

"Lihat aku," pinta Danish.

Nara menunduk, semakin erat memeluk dirinya sendiri. Seperti tengah membangun tembok perlindungan.

Danish menarik salah satu tangan Nara, meski dengan sedikit tenaga karena tangan gadis itu terasa kaku, tak mau melepas tembok perlindungan dirinya. Namun, Danish berhasil menarik tangan itu, disentuhkan perlahan pada dadanya agar Nara bisa merasakan detak jantung Danish yang kencang. Meyakinkan Nara bahwa momen ini penting dan mendebarkan juga untuknya.

Perlahan Nara mengangkat wajah setelah merasakan detak jantung suaminya yang sama-sama berdetak kencang seperti dirinya. Danish tersenyum, memahami ketakutan alami seorang perempuan.

"Kamu istriku," ucap Danish. "Papi yang menikahkanku denganmu, Nara. Papi yang menyerahkanmu kepadaku. Jadi, apa yang kita perbuat malam ini adalah hal baik. Tidak ada yang tersakiti, bahkan Tuhan pun."

Meski bingung bagaimana Danish tahu mengenai ketakutan gadis itu detik ini, tetapi usahanya berhasil. Rasa bersalah yang sempat merayap, lenyap. Rasa takut dan gelisahnya pun perlahan luruh. Apalagi saat pria itu mencium lembut bibirnya, menidurkannya perlahan di atas bantal futon.

"Aku suamimu, Nara," ucap Danish meruncingkan keyakinan Nara.

"Iya, Kak."

"Aku boleh, kan, melanjutkannya?"

Nara terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya mengangguk. Merobohkan tembok perlindungannya, melepaskan dirinya untuk diserahkan secara manis kepada sang suami.

"Kamu juga boleh menyentuhku. Aku juga menyerahkan diriku kepadamu sepenuhnya," ucap Danish yang disambut senyuman tersipu, semakin membuat dua pipi gadis itu semerah tomat.

Dengan gerakan ragu-ragu Nara menyentuh dada Danish, bergerak ke pahatan perut pria itu. Memutar-mutar di sana membuat Danish menahan napas untuk beberapa saat.

"Wajahmu juga memerah," ujar Nara dengan tawa kecil.

Danish tersenyum malu sembari meraih tangan Nara dari perutnya, mengecup tangan itu dari ujung jari sampai garis leher. Kecupan itu terus berlanjut ke setiap inchi tanpa tersisa, seperti kumbang yang tak ingin membiarkan setetes madu untuk tertinggal di bunganya.

Cahaya yang redup di kamar utama memberi kesan yang semakin mendalam bagi keduanya, wangi teh kayu manis dan juga bunga Sakura yang manis membaur dengan aroma tubuh Nara yang menguar aroma madu dari lulur mandi yang sebelumnya dia pakai.

Danish merasa mabuk dan akal sehatnya sudah tak lurus lagi. Pikirannya sudah gila, tergila-gila dengan apa pun yang diberi Nara untuknya.

Begitu juga dengan Nara yang mulai kepayang, menghanyut bersama dalam kayuhan perahu untuk berlayar ke satu muara.

Kelezatan itu seperti surga yang dijanjikan, tetapi mereka yakin di surga yang asli jauh lebih dari apa yang terasa pada detik ini. Berlimpah-limpah lagi kelezatannya. Dan untuk masuk pada kelezatan yang hakiki perlu upaya-upaya yang tidak mudah, termasuk menahan rasa sakit yang luar biasa.

Sebelum Danish mulai masuk pada upayanya, ia berkata bahwa Nara boleh meminta berhenti jika tidak bisa menahan rasa sakit itu. Nara mengangguk mengerti dan yakin bahwa ia mampu menahannya.

Saat Danish meminta izin dan Nara mengizinkan, perahu itu tak lagi membawa sebuah kelezatan. Namun, sebuah rasa sakit yang tak tertahankan. Mungkin di sini letak dari ujian bagi manusia yang menginginkan kelezatan surga. Ada yang langsung berhasil dengan upaya kerasnya, tetapi juga ada yang ditakdirkan untuk bersabar.

Air mata mengalir di ujung pelupuk Nara bersama dengan bulir-bulir peluh. Namun, upaya itu ternyata harus dilakukan lebih keras lagi. Hanya saja melihat Nara yang menderita sedemikian rupa, membuat Danish tidak tega.

"Sayang, nggak usah dipaksa, ya. Kita bisa coba lagi nanti."

"Nggak, aku nggak apa-apa." Nara tidak mau membuat dirinya malu karena membuat kecewa suaminya. "Aku masih bisa menahannya, Kak."

Danish pun berusaha kembali, tetapi bibir Nara sampai berdarah karena tak sadar menggigitnya sendiri dengan kuat. Rasa sakit di bibirnya itu tak sebanding dengan rasa sakit di bagian yang lain.

"Nara, aku nggak bisa melanjutkan lagi. Kamu kesakitan, Sayang. Aku nggak mau, aku nggak tega."

Tiba-tiba gadis itu menangis, menutup wajahnya dengan tangan. Rasa sakit itu benar-benar menyiksanya.

"Hei, hei. Nggak apa-apa. Kita masih punya banyak waktu. Wajar kalau pertama nggak langsung berhasil."

"Maaf, Kak ..."

Danish tertawa kecil untuk menghibur sembari menarik selimut untuk menyelimuti istrinya, "Kalau ada yang musti disalahkan di sini, salahkan aku. Jangan menyalahkan diri kamu, hm? Nggak apa-apa, it's okay. Aku juga buta pengalaman, aku minta maaf."

Danish merengkuh Nara dan istrinya itu menangis di pelukannya.

"Kita coba lagi besok, ya? Hm?"

Nara mengangguk. Masih menangis karena sakit, kecewa dan juga malu.

Danish mengusap-usap lembut kepala Nara menenangkan, meski dalam hatinya pun merasa kecewa pada dirinya sendiri karena membuat Nara sesakit itu. Mungkin caranya yang salah, mungkin juga karena langkahnya yang kurang tepat.

Perahu itu masih terombang-ambing, belum bertemu dengan muaranya. Sejenak kelezatan surga tertahan, diminta untuk lebih sabar.

***

(Bagian kedua)

Danish membuka mata dari lelap, matanya mengerjap-ngerjap pelan menangkap bayangan sang istri sedang salat subuh. Karena sebentar lagi pasti Nara membangunkannya, Danish kembali terlelap karena masih mengantuk.

Namun, sampai matahari terbit dan waktu subuh berlalu, pria itu ternyata tidak dibangunkan oleh istrinya. Danish spontan bangkit dari atas futon, sekonyong-konyong tersadarkan kalau melewatkan waktu subuh.

"Kok, nggak dibangunin?" gerutunya sebelum kemudian sadar kalau kamar terlihat rapi, kimono dan yukata yang semalam berantakan sudah terlipat rapi.

Danish meraih kimono-nya, kemudian memakainya kembali.

"Nara? Sayang?" panggilnya sembari menggeser fusuma, berniat ke kamar mandi untuk mengejar subuh meskipun sudah sangat terlambat.

Namun, langkahnya untuk masuk ke kamar mandi terhenti saat tidak mendengar sahutan sang istri.

"Nara? Nara, kamu di mana?" Kakinya menyusuri engawa, kemudian keluar ke teras. "Nara! Nara!"

Istrinya itu tidak ada di penginapan.

Khawatir sesuatu terjadi, Danish urung mengejar subuh. Dia mengeratkan kimono, mencari ponsel di kamar dan berlari keluar penginapan. Namun, di depan pintu utama pria itu berpapasan dengan Induk Semang yang mengantarkan sarapan.

"Do you see my wife?" tanyanya dengan raut wajah panik.

Induk Semang itu mengatakan bahwa Nara beberapa waktu lalu berada di rumahnya, mereka bertemu tadi pagi buta di jalan. Nara yang membantu memasak menu sarapan ini, Induk Semang juga menyampaikan pesan Nara kalau suaminya itu tak perlu khawatir mencari, dia perlu waktu untuk sendiri dulu.

Danish bisa bernapas lega. Meski tak sepenuhnya lega jika tidak melihat Nara langsung. Namun, pria itu memahami jika Nara perlu waktu untuk sendiri. Induk Semang juga mengatakan untuk tidak khawatir, di desa ini aman bagi turis untuk bepergian sendirian.

Danish mengangguk dan berterima kasih. Pria itu kembali ke dalam untuk mengejar subuh yang tertinggal, dia berencana mencari Nara setelah ini dan memastikan gadis itu aman dan baik-baik saja, meski dari jarak jauh.

Sementara itu di sebuah atas jembatan jalan masuk desa, Nara menatap pemandangan pegunungan dan sungai yang sejenak mengalihkan rasa kecewanya. Di balik hijab pashmina instan berwarna krem itu Nara mendengarkan suara sahabatnya dari earphone.

"Rasa sakit yang kamu terima itu nggak sia-sia, semakin sakit semakin banyak pahalanya," suara Dinda yang menjadi satu-satunya rujukan dari masalah yang sedang Nara hadapi. Nara tidak bisa menelpon papi dan meminta tolong, itu terdengar konyol. Tidak bisa juga menghubungi Karin karena gadis itu belum menikah, tidak punya pengalaman.

"Rasa sakit itu belum seberapa kalau dibanding sakit melahirkan dan sakit dijahit setelah melahirkan."

"Diiin!" Nara menghentakkan kakinya kesal. "Jangan nambah nakut-nakutin!"

"Nggak nakut-nakutin, cuma spoiler aja."

"Ah, ribet banget jadi cewek!" Nara melangkah pergi dari jembatan, menyusuri jalan.

"Rileks, Nara. Semakin kamu tegang semakin sakit. Coba bener-bener ngelepasin diri kamu. Jangan pikirkan apa pun lagi. Bener-bener lepas biar pikiran sama tubuh kamu rileks."

"Hm, nanti gue coba. Makasih, ya, Din. Kalau nggak ada lo gimana jadinya gue, ya?"

"Oh, ya, satu lagi. Doa yang penting. Kamu minta sama Allah untuk dipermudah."

"Buset, malu, Din!"

Di belahan Indonesia sana Dinda tertawa, "Emangnya Allah nggak liet apa yang kamu perbuat? Dia Maha Tahu."

"Din!"

"Yang kamu lakukan, kan, buat suami kamu. Itu termasuk hitungan pahala. Kalian juga udah sah menikah. Nggak salah kalau minta sama Allah buat dipermudah. Allah malah seneng kalau hamba-Nya berdoa meminta sesuatu walau hal sekecil pun."

Nara bergeming, merenungkan kalimat Dinda.

"Iya, makasih, ya, Din, sarannya. Insyaallah nanti- halo? Dinda? Halo?" Nara merogoh ponselnya di saku, ponsel itu terlihat mati. "Ck, lupa nge-charge."

Nara mencabut earphone dari telinganya, menyimpan di saku bersama ponselnya yang kehabisan baterai. Kemudian gadis itu menoleh ke kanan kiri, baru menyadari kalau langkah kakinya sudah jauh menyusuri keluar desa.

Wajahnya terlihat bingung, tadi lewat mana, ya?

"Aduh, kesasar, nggak, sih?"

Tidak ada orang satu pun di jalan itu, kanan bukit dengan pepohonan yang rimbun, sementara sebelah kiri bentangan ladang yang tidak ada satu pun petani di sana. Hari ini bersamaan dengan ucapara keagamaan setempat, jadi banyak petani dan masyarakat lokal yang berkumpul di tempat ibadah.

Karena takut semakin kesasar, Nara berputar balik. Dia harus kembali ke jembatan untuk bisa kembali ke desa. Namun, sejauh dia melangkah, jembatan itu tak kunjung ditemui. Tempatnya benar-benar sepi, tidak ada turis satu pun, padahal tadi sempat berpapasan dengannya.

Ponselnya mati dan kesasar. Belum lagi hatinya sedang kacau balau. Sebuah momen yang membuatnya sedih berkali lipat.

Gadis itu mulai terisak sembari terus berjalan berusaha menemukan jalan pulang. Sampai akhirnya kakinya lelah. Matahari terus beranjak siang, perutnya pun terasa lapar. Sudah beberapa jam berputar-putar, Nara masih tidak mengenali satu pun jalan menuju desa.

Ia terduduk di tengah jalan, menjatuhkan kening di lutut. Terisak di sana.

Bulan madu seharusnya menjadi momen yang bahagia setiap detik, nyatanya harus dilewati dengan rasa sedih ini. Nara merasa bersalah karena tadi pagi hanya sekadarnya saja berpamit, tidak membangunkan Danish sampai benar-benar bangun.

Ia tersesat dan hatinya benar-benar kacau.

"Kak Danish, maaf," ucapnya di tengah isak.

Brak! Seseorang terdengar membanting sesuatu dengan keras, Nara mendongak dan melihat sepeda tergeletak di jalan. Di samping sepeda itu tampak berdiri seseorang dengan tubuh yang penuh keringat, bahunya tersengal-sengal setelah mengayuh sepeda berjam-jam. Menatap Nara dengan tajam.

"Kak Danish..." Perlahan Naraberdiri, gadis itu kembali terisak. Kini terisak lega karena berhasil ditemukan suaminya.

✨✨✨

Gimana part ini? Sudah teraduk-aduk jiwa jomblo khayak?
.
.
.

TARGET FAST UPDATE
1. Buka tiktok dan search uname (dianafebi_ atau Diana Febi | Writer)
2. Like dan komen postingan terbaru (AU Hello Jodoh)
Jangan spam/bom like!

Please, bantu aku promo, ya.
Kalau sudah 50 like dan 20 komen, aku lanjut fast!
Bahkan malam ini juga aku jabanin!

Oke, see you next part 💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro