43. Rasa Takut
Satu gedung heboh karena Pekan Olahraga Tahunan ini harus diundur bulan depan, salah satu pimpinan perusahaan Start up di Capital Tower meninggal dunia, jadi untuk menghormatinya terpaksa harus mengundur acara yang paling ditunggu-tunggu bagi seluruh karyawan Capital Tower itu.
"Kasihan Boby, padahal dia udah latihan dari jauh-jauh hari. Lihat badannya sekarang keliatan kurus," kata Jian di kantin kantor, makan siang bersama Tim Pengembang, kecuali Danish yang ikut takziah bersama Marvin.
Si empu nama hanya melirik, ia terus melahap makanannya. Mencoba tidak peduli.
"Lah, dia, kan, main catur, ngapain harus diet? Emang catur mainnya sambil lari?" sahut Sofie.
Semua bersitatap sekian detik, kemudian menyemburkan tawa bersama. Kecuali Boby yang hanya mendengkus sebal. Makanan di piringnya tandas, segera beranjak sebelum menjadi bulan-bulanan rekannya.
"Jangan gitu ngambek entar dia."
"Lu, sih," ujar Sofie pada Jian.
"Tapi, kayaknya dia lagi naksir cewek, deh. Kalian perhatiin nggak, sih, kalau style pakaiannya berubah. Dia jadi lebih wangi, keteknya jarang bau. Biasanya juga jarang sisiran, tapi sekarang pakai pomade. Klimis tuh rambut."
Semua orang menatap Jian.
"Jatuh cinta emang bisa bikin orang berubah, ya?" ujar Nara.
"Betul." Veve sependapat.
"Gue jadi penasaran siapa yang Boby taksir. Jangan-jangan..." Jian melirik Sofie, "Lu kali, Sof."
"Enak aja! Nggak mungkinlah!" sanggah Sofie tidak terima disukai Boby. "Lu kali yang ditaksir sama dia."
"Iiuuw, hombreng dong." Jian bertingkah kemayu mengundang gelak tawa yang lain.
Memperhatikan Jian dan Sofie yang beberapa waktu lalu adu debat dan bahkan perang dingin gara-gara kunjungan ke Kedai Sentul, mengingatkan Nara pada Marvin dan Karin yang beberapa waktu lalu adu debat dan besoknya touring bareng.
Semakin dewasa seseorang memang bisa memilih kapan harus mempertahankan ego dan kapan harus mengalah demi sebuah hubungan, entah itu dalam pertemanan, pekerjaan atau keluarga.
Usai makan siang, semua kembali ke ruangan.
"Pimpinan yang meninggal tuh di lantai mana, sih? Perusahaan apa?" tanya Sofie sembari menunggu lift.
"Perusahaan advertising," jawab Jian.
Pintu lift terbuka, kebetulan di sana ada Marvin dan Danish yang baru saja pulang dari takziah. Pria itu sudah melepas arm sling-nya, bahunya semakin membaik.
Semua masuk ke dalam lift, berdiri di belakang Marvin dan Danish. Meskipun Nara istri sang manager, tetap posisinya sebagai karyawan. Ia tidak mau mengambil posisi yang berbeda. Hanya melirik sekilas dan tersenyum tipis.
Sementara Marvin dan Danish mengobrol perihal rapat nanti. Karyawan di belakangnya juga melanjutkan pembicaraan.
"Meninggal kenapa, sih, emangnya?" tanya Sofie yang berdiri di sebelah kiri, di sampingnya Nara yang tepat di belakang Danish, sementara Jian di sebelah kanan Nara di belakang Marvin. Yang lain di belakang mereka.
"Serangan jantung. Cuman katanya sih, dibunuh sama saudaranya, rebutan warisan gitu," jawab Jian.
Deg! Jantung Nara langsung berdetak kencang mendengar itu. Kalimat tadi memicu ketakutan yang membuat tangan Nara meremas pinggiran roknya.
"Ah, masa, sih?"
"Saudaranya yang dicurigai, kan, sempet dipanggil polisi. Cuman nggak ada bukti. Tapi, semua orang tahu kalau hubungan mereka nggak baik gara-gara warisan. Perusahaan advertising-nya nanti bakalan jadi milik saudaranya," lanjut Jian.
"Ngeri banget emang kalau soal warisan. Nggak kenal sedarah, dibabat habis."
Tangan Nara semakin gemetar. Bagaimana jika nanti ayah Danish, atau ibu tiri, bahkan saudara tiri Danish nekat mengambil keputusan untuk melenyapkan Danish demi merebut hak waris mamanya?
Ditatapnya punggung sang suami, yang mungkin tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan di belakang, Danish sedang serius mengobrol dengan Marvin.
Kecelakaan waktu itu saja sudah menjadi bukti bahwa mereka bisa saja nekat untuk melenyapkan Danish. Dibanding rasa khawatir dirinya akan celaka dalam perang yang sedang dimulai, Nara lebih takut jika harus kehilangan Danish.
Tidak pernah bisa membayangkan bagaimana hancurnya Nara jika hal itu terjadi.
"Lu kenapa, Ra?" tanya Jian menyadari Nara mendadak pucat, tangannya gemetar.
Danish dan Marvin spontan balik badan.
"Kenapa?" Danish langsung memegang dua bahu Nara. "Ada yang sakit?"
Nara menggeleng, "Ng—nggak, nggak apa-apa."
"Perlu ke klinik?"
"Nggak usah, Pak. Nggak apa-apa."
Bertepatan pintu lift terbuka, sampai di lantai kantor Soonday.
"Kalian duluan aja. Saya mau bawa Nara ke klinik," ucap Danish.
"Nggak apa-apa, Pak, nggak usah—" tangannya sedikit dicengkeram oleh suaminya, menahan Nara untuk tidak membantah.
"Kalau ada apa-apa, hubungi gue, Nish," ujar Marvin sebelum keluar dari lift diikuti karyawan yang lain. Menyisakan Danish dan Nara saja di sana.
Setelah pintu lift tertutup, Danish menekan tombol lantai. Bukan ke lantai di mana klinik perusahaan berada, tetapi menuju lantai paling atas. Rooftop.
Sepanjang lift bergerak naik, keduanya membisu. Ternyata Danish tahu apa yang dibicarakan tadi di belakangnya. Danish juga tahu penyebab istrinya kini terlihat pucat dan rapuh.
Pintu lift terbuka, Danish meraih tangan Nara dan mengajaknya keluar. Menaiki anak tangga menuju pintu rooftop. Begitu pintu terbuka, angin yang segar langsung menyambut. Menyibak-nyibak jilbab Nara yang berjalan di belakang Danish menuju pembatas rooftop.
Langit sedang mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Rooftop ini dulu digunakan untuk area hijau, tetapi karena sistem maintance yang buruk sehingga banyak tanaman yang kering, kursi dan meja yang berkarat. Tempat ini akan menjadi target Marvin selanjutnya untuk membangun Kedai Soonday dengan target pasar para karyawan gedung Capital Tower, hanya saja biaya sewanya mahal. Marvin dan Danish mengusahakan setelah balik modal di beberapa kedai yang baru.
Danish melepas jasnya, menanggalkan jas itu di bahu Nara karena angin yang kencang. Kemudian, pria itu menarik Nara dalam pelukan. Ia tahu apa yang Nara khawatirkan.
"Jangan takut..." bisiknya lembut.
Nara yang sudah menahan air mata sejak di lift tadi akhirnya tumpah tangisnya di dada Danish.
"Aku nggak akan biarin hal buruk terjadi, hm?"
"Tapi, kalau ayahmu beneran nekat, gimana, Kak?" Nara menarik jarak, mendongak menatap Danish, "Waktu kamu kecelakaan itu pasti ulah mereka juga, kan?"
Danish hanya menatap Nara, sedang mencoba memahami ketakutan istrinya.
"Gimana kalau nanti kamu dicelakain lagi?"
"Nggak mungkin."
"Kenapa, sih, mereka jahat sama kamu? Kenapa ayahmu sejahat itu sama kamu?"
Danish juga tidak paham, yang ia tahu bahwa ayahnya hanyalah manusia yang gila harta. Siapa pun yang mata hatinya sudah gelap karena harta akan sulit disadarkan. Entah mungkin dulu pernah ada dendam, entah dulu pernah ada kejadian yang membuat Candra bisa sebenci itu sama Danish, darah dagingnya sendiri.
"Nggak bisa, ya, kita minta baik-baik mamamu keluar dari sana? Tujuan kamu cuma mau mama keluar dari sana, kan, Kak? Itu aja, kan? Kamu nggak peduli soal Thunder Holdings atau Pendopo Agung, kan?" cerca Nara.
Meski itu tidak sepenuhnya benar, Danish mengangguk untuk menenangkan Nara.
"Ya, udah, kalau gitu kamu jujur aja minta mamamu keluar dari sana. Kamu bilang kalau kamu nggak peduli sama Thunder Holdings atau Pendopo Agung."
"Memangnya mereka bakalan percaya, Sayang?"
Nara menggigit bibir, merasa tampak frustasi.
"Aku memahami ketakutan kamu. Aku juga takut kehilangan kamu. Tapi, aku mohon kamu tetap bertahan, ya? Kamu percaya sama aku kalau aku nggak akan biarin hal buruk terjadi ke kita. Papa nggak akan senekat itu membunuh darah dagingnya sendiri. Kalau dia memang tega, mungkin aku sudah lama mati di tangannya."
Nara hanya menatap Danish, air mata tak berhenti mengalir di pipinya.
"Kita pasti bisa melewati ini, hm? Kamu percaya, kan, sama aku?"
Nara masih bergeming. Rasa takut masih mendekapnnya erat.
"Sayang?"
Gadis itu kemudian mengangguk pelan.
"Kita nggak sendirian, kok. Ada Paman, Tante Marida, Marvin, dan juga... sepupu kamu. Dia bantu ngawasin kamu. Jadi kamu jangan takut lagi, ya?" Danish mengusap air mata di pipi Nara.
"Jangan pernah tinggalin aku."
"Nggaklah." Danish setengah tertawa, "Udah, dong, jangan nangis. Nanti yang lain mikirnya kita lagi berantem."
Nara langsung mengusap-usap wajahnya, menarik napas panjang sejenak kemudian mengembuskan pelan. Perasaannya kini jauh lebih baik.
"Oh, ya, aku ada kabar baik," ujar Danish.
"Kabar apa?"
"Visa kamu udah turun."
"Terus?"
"Karena Pekan Olahraga Tahunan diundur, jadi kita bisa ke Jepang lebih cepat." Jeda sebentar, Danish merogoh ponselnya di saku kemudian mengecek sesuatu, "Seminggu lagi kita bisa berangkat."
Deg! Jantungnya kembali berdetak kencang. Jepang. Mengingatkannya pada satu hal. Pipinya yang memerah karena menangis, kini kembali memerah.
"Kak! Mendadak banget!" Nara tampak panik.
Danish mengerutkan kening, tidak paham dengan respons Nara. "Kamu nggak suka kita berangkat lebih cepat?"
"Bukan gitu..."
"Terus?"
Nara sukar menjelaskan.
"Kamu belum siap?" imbuh Danish. "Nggak apa-apa, kok. Kita di sana bisa jalan-jalan dulu."
Kini gadis itu terlihat frustasi, "Cowok emang nggak pernah paham!"
Danish tertawa kecil, "Apanya yang nggak paham? Jelasin."
"Aku tuh belum nyiapin outfit buat dipakai nanti di Jepang. Seminggu mana cukup buat nyiapin itu?"
Kini Danish tertawa sumbang, ternyata permasalahan perempuan memang sama saja. Soal outfit. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung.
"Emangnya sesulit itu, ya?"
"Iyalah! Ih!"
Danish mengangguk-angguk. "Gimana, dong, udah pesen tiket? Udah pesan hotel juga."
"Kak!" Nara memukul Danish, "Kenapa nggak bilang dulu, sih? Ih, nyebelin! Nyebelin! Nyebelin!"
Dengan langkah dongkol Nara berjalan menuju pintu rooftop, meninggalkan suaminya yang memijit keningnya. Heran dan bingung.
"Ya, udah, dibawa semua aja yang bagus!"
Gadis itu menoleh dengan picingan mata.
"Kalau gitu beli aja di sana."
Nara mendengkus, terlihat semakin sebal. Kemudian melengos sembari membuka pintu rooftop.
"Nara! Sayang?" Danish menyusul, setengah berlari. "Padahal kupikir kamu nggak siap soal hal lain, ternyata soal outfit. Bisa kita pikirin bareng-bareng."
Nara tetap tidak menggubris. "Jangan ngajak ngobrol, aku ngambek." Gadis itu mengembalikan jas Danish. "Jangan ikut masuk lift, aku duluan!"
Danish mengangguk sembari menahan senyum, "Oke, oke."
Setelah pintu lift tertutup membawa Nara turun, Danish mengembuskan napas lega. Padahal tadi Danish merasa takut setengah mati jika Nara memilih menyerah karena merasa ketakutan soal perang yang sedang mereka hadapi.
Satu hal yang paling Danish takuti, Nara menyerah dan meninggalkannya sendiri.
***
Follow IG dianafebi_
See you next part 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro