Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Kolam Pendopo Agung


Happy Reading, Miaowers 🦋

Kolam di belakang gedung utama itu tampak sepi, hanya beberapa penjaga yang terlihat berkeliling. Terlihat seperti kolam biasa, bentuknya persegi panjang dengan satu kolam tambahan seperti jazzuzi di satu sudut kolam, beberapa kursi lounger lengkap dengan payungnya. Ada air mancur tak jauh dari kolam. Meski diterangi lampu, tetapi air mancur itu tampak remang, selebihnya gelap karena rimbun pohon-pohon palem.

Nara kewalahan diserbu para tamu, pegangan tangannya dengan Danish juga terlepas. Nara terdorong ke belakang kerumunan, di saat itu seseorang menyeretnya keluar dari gedung utama melewati pintu tengah lalu sampai ke kolam.

Beberapa kali Nara berontak untuk melepaskan diri, tetapi orang tersebut mengancam, "Ikut gue kalau pengin suami lo aman."

Eran melepaskan tangan Nara begitu sampai di kolam, pria itu tersenyum miring berhasil membawanya ke sini. Jauh dari Danish untuk sementara waktu. Jika Eran tidak bisa menekan Danish, setidaknya ia bisa menekan Nara yang menjadi kunci kudeta bagi saudara tirinya itu.

Eran ingin membuat Nara goyah dan meninggalkan Danish.

"Apa? Lu ngapain bawa gue ke sini?"

Eran tertawa, setelah itu ia menatap Nara lamat-lamat dari atas ke bawah, kemudian kembali ke wajah Nara, ke bola mata tajam gadis itu.

"Cantik juga lu, ya? Sayang banget kalau lu cuma jadi batu loncatan kakak tiri gue."

Nara bergeming, ia sudah menduga tujuan Eran membawanya ke sini untuk menekan dirinya. Sebenarnya Nara tidak takut ancaman Eran soal keamanan Danish saat pria itu membawanya ke sini, Nara lebih ke penasaran.

"Lu nggak tahu, kan? Lu cuma jadi batu loncatan Danish buat mengkudeta Pendopo Agung dan Thunder Holdings?" Eran tersenyum, dua langkah mendekat ke Nara. "Lu cuma dimanfaatin Danish, gue yakin Danish nggak cinta sama lu. Lu cuma dijadikan alat merebut harta warisan. What do you think, Naraina?"

Nara menghela napas sejenak, sorot tajamnya kini melunak. Detik itu bertepatan dengan ponsel dalam tasnya berdering, panggilan dari Danish.

"Suami lo pasti nyariin, angkat aja." Eran masih mempertahankan senyuman satu sudut bibirnya dengan tatapan seekor serigala yang berhasil menangkap buruan dan kapan saja siap melahapnya.

Nara merogoh tasnya, menjawab panggilan dari Danish.

"Halo, Kak?"

"Kamu di mana, Sayang!?"

"Aku di dekat kolam."

"Kamu ngapain ke sana? Aku, kan, udah bilang jangan jauh-jauh dari aku."

"Aku lagi sama adik tirimu."

Eran merebut ponsel Nara, "Halo, Kakak tiri?"

"Kalau sampai istriku kenapa-napa, kubunuh kau, Bajingan! Tetap di situ, aku datang ke sana."

Panggilan berakhir, sebentar lagi Danish akan segera datang. Namun, Eran tertawa keras sekali kemudian dia berkata, "Dia nggak akan datang."

"Maksudnya?"

"Dia nggak akan berani datang ke kolam ini." Eran menoleh sebentar ke air yang gemerlap karena pantulan cahaya. Kemudian pria itu menoleh dengan ke Nara, "Kolam ini dulu yang pernah hampir membunuhnya."

Sorot mata Nara kembali menajam, jantungnya berdetak keras. Alasan Eran membawanya ke sini ternyata punya alasan. Mungkin di kolam ini Danish memiliki trauma di masa lalu. Eran sengaja membawa Nara ke sini karena tahu Danish tidak akan berani mengungkit trauma yang pernah terjadi pada dirinya.

"Sini hp gue."

Eran terkekeh, mengangkat tinggi-tinggi ponsel Nara di udara. "Ambil aja kalau bisa."

Nara mencoba menggapai dan merebut ponselnya, dia harus pergi dari sini agar Danish tak perlu mendatanginya. Nara tidak mau Danish mengingat traumanya di masa lalu.

"Sini gue bilang!"

"Eh, lu itu cuma dimanfaatin sama dia. Jangan ngarep apa pun dari dia. Danish itu cuma peduli sama harta warisan keluarganya. Dia cuma manfaatin rahim lu buat ngelahirin anaknya, setelah itu gue yakin seratus persen dia bakalan ninggalin lu."

"Gue beri satu kesempatan, sini hp gue."

Eran tertawa. Keras sekali. Seolah tawanya muntah tepat di wajah Nara yang memerah karena mulai berang dengan sikap Eran.

"Lu nggak paham, ya, sama apa yang gue bilang?"

"Paham."

"Kalau lu paham harusnya lu sadar."

"Gue sadar gue dimanfaatin sama suami gue. Dan gue terima dengan senang hati!"

Kening Eran berkerut, mengerjap tak percaya. "Gila, ya, lu?"

"Mau tau apa yang lebih gila dari gue?" Mata Nara mendelik dengan senyum kecil di sudut bibirnya.

Belum sempat Eran mencerna, tangan kanannya ditarik kencang. Dalam hitungan detik, punggung pria itu terbanting ke lantai pinggir kolam. Bruk! Nyaring sekali. Menyusul kemudian teriakan kesakitan. Sama nyaringnya.

Nara meraih ponselnya di tangan kiri Eran. Kemudian menarik kerah kemeja pria itu yang masih terbaring kesakitan di lantai. "Lu lupa kalau di bidak catur Raja nggak berdiri sendiri? Di sana juga ada Ratu." Nara tersenyum. "The Queen is me, dumbass!"

Eran mendelik menatap Nara dengan napas naik turun. Setengah takut, selebihnya terkejut. Nara ternyata bukan gadis manja yang akan mengkerut dengan sekali bentak. Gertakannya tidak terdengar apa-apa di hadapan gadis itu.

"Jangan pernah mengusik suami gue. Lu cari lawan yang salah."

Nara melepaskan cengkeraman di kerah kemeja Eran.

"Dumbass," olok Nara sebelum memutar kaki untuk segera beranjak dari tempat ini. Ia tidak mau Danish ke sini, tidak mau suaminya itu teringat oleh trauma di masa lalu. Namun, begitu kakinya baru sampai diundakan tangga, Danish sudah berdiri di sana. Membawa satu botol di tangan.

Raut wajah pria itu membeku untuk beberapa detik, raut terkejut dengan apa yang baru saja dilihat. Untuk kedua kalinya, Danish melihat Nara membanting orang.

"Kak?"

Danish bernapas lega, kemudian tersenyum. Masih speechless, ada kalimat kagum dan juga bangga di pangkal tenggorokannya. Namun, rasanya lidahnya kelu. Melihat Nara dalam keadaan baik-baik saja, rasanya sudah cukup.

"Mau ketemu mamaku?"

"Ayo!" Nara berjingkrak-jingkrak kecil.

"O—oke." Pandangan Danish tertuju pada kolam, pada adik tirinya yang masih baru saja bangkit dari lantai. "Tunggu bentar, ya, Sayang. Aku mau ngomong sama Eran—"

"Nggak! Nggak boleh."

Danish mengerutkan kening, "Kenapa?"

"Pokoknya kamu nggak boleh ke sana. Ayo kita langsung ketemu mamamu aja. Hm?"

Danish tersenyum di tengah keningnya yang masih berkerut, "Kenapa? Dia bilang sesuatu soal apa yang terjadi di kolam dulu?" Danish mengusap pipi istrinya, "Nggak usah khawatir. Aku udah baik-baik saja dengan kolam itu."

"Tapi, Kak."

Danish mengecup kening Nara, "Tunggu bentar, ya. Habis ini kita ke mama."

Nara tidak dapat mencegah langkah Danish turun ke area kolam. Ada rasa khawatir, tetapi Nara harus percaya kepada Danish. Kalau memang benar suaminya itu sudah berdamai dengan apa yang pernah terjadi di kolam tersebut.

Danish berjalan mendekati Eran, pria itu masih meringis merasakan punggungnya yang baru saja membentur ke lantai dengan keras. Eran menatap tajam kala kakak tirinya mendekat dan berdiri di hadapannya.

"What do you think about my wife? She's unexpected, right?"—Apa pendapatmu soal istriku? Dia tidak terduga, kan?

Eran tersenyum sinis.

"Bahkan serigala pun nggak akan bisa mendeteksi pergerakan cheetah."

"Maksud lo?"

"Jangan pernah menggangu istriku lagi, Eran. Jangan menemuinya, jangan bicara dengannya, bahkan jangan pernah menatapnya," ancam Danish mencengkeram kuat botol di tangan.

"Dia bukan gadis biasa. Percaya sama aku. Dia bukan seperti apa yang kamu pikirkan." Danish melempar botol itu ke kolam, "Aku nggak memilih Ratu sembarangan untuk bidak caturku. Kalau kamu tahu sesuatu lagi tentang dia, kamu pasti lebih terkejut dari ini."

Danish memutar kakinya, meninggalkan Eran.

"Lo pikir gue takut? Ingat, ya, Brengsek. Nyokap lo masih di sini. Kapan pun ayah bisa membunuhnya."

Danish tidak terkejut dengan ancaman itu, sudah sering didengar telinganya. Karena tanpa surat perjanjian itu, ayahnya tidak akan bisa membunuh ibunya. Perlu tanda tangan asli untuk mengakuisisi harta warisan secara resmi. Hanya dengan surat itu.

Danish menoleh, "Selama papa belum menemukan surat itu. Dia nggak akan berani menyentuh mamaku." Danish tersenyum miring, kemudian kembali melangkah meninggalkan Eran sembari menyembunyikan tangannya yang gemetar di saku.

Surat itu. Danish juga tidak tahu di mana. Itu yang membuat tangannya gemetar.

***

Danish menarik tangan Nara memutari kolam dan melewati air mancur. Ada jalan kecil yang dipagari tanaman hidup di belakang deretan pohon palem, ada pencahayaan kecil di sana menuntun langkah mereka menembus pekarangan.

Luas rumahnya seperti kebanyakan rumah mewah berdesain serba modern. Kesan Pendopo Agung yang berkonsep klasik Jawa sudah lenyap, meninggalkan satu-satunya bangunan orisinil yang letaknya di belakang. Di sanalah mama Danish 'terpenjara' selama bertahun-tahun.

"Luas banget rumahmu, Kak." Nara terkagum-kagum sejak tadi.

"Harta dan luasnya rumah tidak berarti apa-apa, hm?"

Nara menggigit bibir, pasti di segala sudut rumah ini menyimpan banyak trauma bagi Danish. Tak pantas rasanya ia mengucap kagum, sementara tempat ini pernah menjadi neraka bagi suaminya.

"Nggak usah dipikirin," ujar Danish tersenyum sembari mencubit kecil pipi Nara.

Namun, senyuman itu perlahan sirna saat kakinya memasuki gapura kecil, di sana ada bangunan disebut Pendopo Alit, rumah beraksen Jawa yang tidak pernah berubah sejak puluhan tahun silam. Catnya sudah mulai luntur, seperti tak begitu terurus. Tak ada sepertiganya dari luas Pendopo Agung, tempat mamanya berada.

"Hidden game banget," cicit Nara. Ditanggapi Danish dengan senyuman kecil.

"Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku mau mastiin mama dalam kondisi stabil dulu."

Nara tersenyum memahami, "Iya, Kak."

Gadis itu berdiri di antara jejeran bunga-bunga yang berkerumun dengan semak belukar di bawah penerangan temaram, sementara Danish masuk ke Pendopo Alit. Terakhir Danish ke sini sekitar lima tahun yang lalu, saat kabar mamanya drop. Danish masuk secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang Pendopo Agung, hanya Kepala Pembantu dan perawat mamanya yang tahu.

Tak kurang dari lima menit, Danish keluar memanggil Nara.

"Jangan kaget, ya."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan kaget."

Mereka masuk ke Pendopo Alit, Nara sempat terkagum dengan semua lukisan yang dipajang di sana sambil mengikuti langkah Danish menuju kamar sang mama. Mereka bertemu dengan dua perawat penjaga di depan kamar tersebut.

Danish mengetuk pintu pelan, seseorang yang duduk di atas kursi roda sedang memandangi luar jendela tampak tak merespons. Matanya menatap kosong, rambut panjangnya tergerai dengan banyak uban, garis wajahnya terlihat jelas lebih tua dari umurnya. Hari ini kebetulan sedang stabil, kalau sedang mengamuk ia harus diikat di atas ranjang.

"Mama?" Danish pelan menyentuh lutut mamanya sembari duduk berjongkok di depan sang mama. Sudut bibirnya tertarik tipis, memandang hangat kepada wanita yang melahirkannya.

"Mama, ini Danish," katanya sembari mengusap lembut tangan sang mama. "Danish ke sini mau ngenalin mama sama istri Danish. Kami baru menikah, Ma."

Nara dapat melihat betapa Danish menyayangi sang mama, sorot matanya berkilat rasa cinta. Pandangannya teduh dan bicaranya lembut. Hati Nara menghangat melihat pemandangan itu.

"Namanya Naraina, Ma. Dia putri sahabat mama. Yatfiya, Tante Yatfiya."

Roro, mama Danish yang sejak tadi tak merespons apa pun tiba-tiba seperti tersadarkan dari lamunan setelah mendengar nama itu.

"Yatfiya?" ulangnya dengan suara serak dan lemah.

Danish menoleh ke Nara dan memberi isyarat untuk mendekat. Ia duduk menekuk lutut di sebelah Danish, berhadapan langsung dengan mama mertuanya. Nara sempat tertegun beberapa detik, melihat lebih dekat membuat hatinya prihatin dengan kondisi Roro. Sangat berbeda dengan senyum ceria pada foto yang pernah Nara lihat di kotak peninggalan mamanya.

"Yatfiya!" pekik Roro sembari mencengkeram dua bahu Nara. Nara sempat melirik Danish karena terkejut, dua perawat di depan kamar pun langsung mendekat. Namun, tiba-tiba Roro memeluknya.

"Fi, maafkan aku. Maafkan aku waktu itu tidak bantu kamu. Maafkan aku, Fiya!" Roro tersedu sedan memeluk erat Nara, seolah tengah memeluk sahabatnya yang sudah lama meninggal.

Roro melepas pelukan, mengusap-usap wajah Nara, wajah yang sangat dirindukannya. Beribu penyesalan seperti menenggelamkan dirinya, tangisnya pecah terdengar menyayat hati.

Nara turut sedih, ia ikut menangis.

"Andai waktu itu aku mendengarkanmu, aku pasti tidak akan menikahi bajingan itu. Kamu benar, Fiya. Dia hanya menginginkan harta keluargaku. Kamu benar. Maafkan aku karena tidak mendengarkanmu. Kembali, Fi, kembalilah."

"Mama?" ujar Danish lirih. "Dia putrinya, Ma. Istri Danish."

Roro berhenti menangis, pandangannya kembali bingung. Ia menoleh ke Danish dengan kerutan kening.

"Kamu siapa?" tanyanya tidak mengenali putranya sendiri.

"Ini Danish, Ma. Anak mama."

"Kamu!" tunjuk Roro dengan nada marah, sorotnya berubah menjadi sorot benci, "Aku benci kamu! Kamu cuma mau harta keluargaku! Mati saja kamu bersama jalang itu! Aku benci kamu, Candra Padmadim! Aku benci kamu! Kamu yang sudah membunuh ayah dan anakku! Kamu pembunuh!" teriaknya sembari memukuli Danish berkali-kali.

Dua perawat langsung menghentikan amukan Roro, wanita itu ditidurkan di atas ranjang lalu diikat tangan dan kakinya. Kemudian disuntikkan sesuatu untuk membuatnya tenang.

Danish masih terduduk dengan bahu lemas, tidak ada perkembangan yang bagus. Roro masih memandangnya sebagai orang lain, bukan lagi putranya sendiri. Kemudian pria itu pelan berdiri, menarik Nara juga untuk berdiri dari posisinya.

Istrinya itu terlihat ketakutan, mimik terkejutnya tidak bisa ditutupi.

"Kamu nggak apa-apa, Sayang?"

Nara menelan ludah pelan, kemudian mengangguk.

Danish berjalan mendekat, mencium kaki sang mama. "Mohon doa restu, ya, Ma. Secepatnya Danish akan membawa mama keluar dari sini."

Tak lama dari itu, Danish mengajak Nara keluar dari Pendopo Alit. Sepanjang jalan ke Pendopo Agung, Danish membisu. Nara pun tak membuka suara, ia hanya berjalan di belakang Danish mengikuti.

Hubungan Danish dan mamanya tidak pernah hangat dan dekat. Mamanya terlalu mendikte Danish menjadi apa yang ia mau. Kecelakaan dua puluh tahun silam itu membuat mamanya kehilangan kewarasan, ia menyesali banyak hal hingga berakhir mengenaskan.

Garis wajah Danish yang mirip dengan suami yang menghianatinya, membuat Roro pernah mendorong Danish ke kolam dan menenggelamkannya. Setiap melihat Danish, Roro selalu ingin memaki dan membalas dendam. Roro pikir itu bukanlah sang putra, tetapi Candra Padmadim, suaminya.

"Kak?" Tak tahan untuk tidak menanyakan perasaan Danish, Nara bersuara.

Danish menghentikan langkahnya, ia membalikkan badan dan tersenyum ke Nara. "Aku nggak apa-apa, kok."

"Bener?"

"Hm."

Nara bernapas lega, gadis itu cukup khawatir karena tak akan mudah mengalami hal itu. Ibunya tidak mengenali putranya sendiri, bahkan menuduhnya sebagai pembunuh.

"Nara?"

"Hm?"

"Apa pun yang terjadi, aku mohon kamu tetap di sisiku. Aku nggak menuntut apa pun selain cintamu." Nada bicara Danish terkesan serius, karena tujuan awal Danish menikah adalah untuk batu loncatan dirinya kembali ke Pendopo Agung dan menyelamatkan ibu serta warisan keluarga.

Namun, Danish tidak menyangka kalau ia benar jatuh cinta. Danish merasa sayang dan juga takut kehilangan, merasa nyaman dan juga senang di sisi Nara. Menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi perang di antara dirinya dan sang ayah.

"Tenang aja, selama kamu tetep suka kucing, aku tetep mau jadi istrimu," jawabnya sembari meraih tangan Danish untuk digenggam.

Danish terkekeh seraya membalas erat genggaman tangan istrinya, jawaban gadis itu selalu di luar perkiraan. Namun, karena itu hati Danish perlahan lebih tenang, tak semerawut seperti beberapa detik yang lalu.

***

Siapa yang mau ikut ke Honeymoon ke Jepang? Siapin tiketnya! Sebentar lagi kita terbang ke Jepaaaaang 🌸🌸🌸

See you next part ❣️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro