Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Keyakinan


Selamat datang di part baru 🦋
(Yang baper tapi jomblo, istighfar ajalah)

Kalian tahu cerita ini darimana, sih?

Romance Act ⚠️
(Kalau ada tanda ini hati-hati ada scene romance)

Happy Reading 💞

🦋🦋🦋

Nara menatap bias cahaya lampu tidur yang temaram, jarum jam sudah melewati tengah malam. Namun, matanya tak juga terpejam. Tangan sang suami melingkar di perutnya, memeluknya dari belakang. Terdengar embusan napas tenang dengan dengkuran yang halus. Sepertinya Danish sudah terlelap sejak tadi.

Entah mengapa detik ini gadis itu merindukan Papi, ingin mendengar suara Papi. Kejadian beberapa jam yang lalu masih membuatnya syok. Melihat suami yang selama ini tampak lembut dan baik, bisa terlihat seperti vampir yang harus darah.

Perlahan Nara menarik tangan Danish dari pinggangnya, namun suaminya itu kembali mengeratkan pelukan.

"Mau ke mana?" tanya Danish dengan suara serak, terbangun.

"Mau ke kamar mandi."

Mendengar jawaban itu, Danish mengendurkan pelukan. Nara perlahan bangkit dari ranjang, berjalan keluar kamar. Kemudian ia masuk ke kamar mandi sembari membawa ponselnya.

Setelah menutup pintu dengan rapat, gadis itu duduk di atas closet. Mencoba menimbang-nimbang untuk menelpon papi, takut kalau papi kaget dan khawatir. Namun, Nara benar-benar kangen papi.

Panggilan akhirnya tersambung, berdering beberapa kali sampai akhirnya suara Papi terdengar.

"Papi? Belum tidur?"

"Papi baru pulang dari nganter bahan ke proyek. Ada apa, Nak? Tumben telpon tengah malam. Nara baik-baik aja, kan?"

"Baik, Pi. Nggak ada masalah. Nara cuma kangen. Malam minggu nanti Nara sama Kak Danish mau nginep di rumah papi."

Terdengar suara tawa Papi, tak sabar menanti malam minggu.

"Kenapa belum tidur? Nak Danish gimana bahunya?"

"Kak Danish rutin terapi, Pi. Katanya seminggu lagi dah bisa lepas arm sling-nya." Jeda sebentar, "Nara kangen sama papi, pengin ketemu papi. Kemarin masak kari kepiting, saking kangennya sama papi."

"Besok Papi mampir ke kantor Nara, jam makan siang. Papi bawa kari kepiting. Gimana?"

Nara hampir memekik, papinya selalu tahu bisa memenuhi keinginan Nara tanpa Nara bilang dengan jelas.

"Nara tunggu, ya, Pi. I love you, Papi ..."

"I love you to the moon and the back, and the back, back, back again."

Nara tertawa kecil, papi selalu bisa menghibur dan membuat Nara merasa tenang. Rasanya kekalutan dan syok Nara perlahan luruh. Seolah mendung yang menggelayut di benaknya perlahan terusir, berganti dengan pelangi yang indah.

Usai panggilan berakhir, Nara berdiri di depan cermin. Tanda merah keunguan terlihat jelas di lehernya, bekas dari hukumannya. Ada perasaan yang berat kembali hadir saat mengingat bagaimana kemarahan Danish beberapa jam yang lalu.

Suaminya itu memang tidak memukul, tidak membentak. Namun, tetap saja rasanya hati Nara merasa tidak keruan. Seperti ada perasaan takut dan juga khawatir.

Dia benar-benar seperti danau yang banyak menyimpan misteri.

"Untung pakai hijab ke mana-mana, jadi ketutup. Ini bisa ilang, nggak, sih?" Nara mengusap-usap bekas itu dengan air, tetapi seperti lebam yang tidak sakit. Tidak bisa langsung menghilang.

"Kayaknya ditutup concealer, bisa."

Nara menarik napas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin, sangat lama. Deretan sikap Danish yang sedikit red flag, ciuman waktu itu dan kejadian semalam membuat muara ketakutan sendiri di relung hati Nara. Apakah selama ini ia telah salah jatuh cinta pada seseorang? Nyatanya Nara benar-benar tidak bisa menebak bagaimana karakter Danish yang asli.

"Kata Papi... awal pernikahan memang banyak hal yang mengejutkan dari pasangan. Mungkin ini salah satunya. Aku cuma butuh waktu, kan, buat benar-benar memahami bagaimana suamiku? Perlu adaptasi."

Terbit senyum di bibir gadis itu.

"Yang penting dia nggak mukul. Memang dasarnya salahku, pergi tanpa izin. Dia punya hak buat marah," monolognya lirih sembari merapikan rambut, menutupi bekas itu.

Sekali lagi Nara menarik napas panjang, kemudian meraih ponsel di closet dan keluar dari kamar mandi.

Begitu membuka pintu, Nara memekik kaget saat melihat Danish berdiri di sana. Ponsel di tangannya terjatuh, kagetnya benar-benar seolah melihat hantu di depan matanya.

"Kamu kaget, ya? Maaf, maaf." Danish langsung memeluk.

Pelukan Danish detik ini seperti mengundang luapan perasaan Nara yang berkabut di hatinya sejak semalam. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Menangis karena hukuman Danish semalam, menangis karena takut. Menangis karena kaget. Meledak detik itu juga.

Danish memahami tangisan Nara, ia mendengar semua monolog Nara di kamar mandi, ia juga mendengar Nara menelpon Papi diam-diam. Danish benar-benar memahami mengapa Nara sekaget itu saat melihatnya.

Rasa takut. Istrinya itu punya rasa takut padanya.

"Duduk dulu, sebentar aku ambilin minum, ya."

Nara duduk di sofa, masih sesenggukan. Sementara Danish pergi ke dapur, tak lama kembali dengan segelas air.

"Minum, pelan-pelan." Danish menyodorkan gelas itu pada istrinya.

Dengan tangan gemetar, Nara meraih gelas itu lalu meneguknya hingga tandas. Gelas dikembalikan kepada Danish, kemudian Nara mulai mengatur napas. Suaminya jongkok di depannya, menunggu Nara hingga benar-benar tenang.

"Kenapa, Sayang? Hm?" tanya Danish dengan suara lembut, "Kamu takut, ya, sama aku? Soal hukuman."

Nara mengangguk. Daripada dipendam berlarut-larut yang hanya akan membuat hatinya memburuk, gadis itu memutuskan untuk jujur.

"Aku minta maaf, sebenarnya aku juga nggak tega. Tapi, aku pengin kamu tahu, kalau aku serius soal aku marah sama kamu. Aku nggak mau kamu ngulangin lagi kayak gitu, pergi tanpa seizinku. Aku sudah pernah bilang, kan, Ra? Kalau banyak hal yang berubah saat kamu memutuskan untuk berperang bersamaku."

Nara mengangguk sembari mengusap air matanya.

"Aku minta maaf, ya?" Danish meraih tangan Nara, lalu mengecupnya tanpa mengalihkan tatapan pada sang istri. "I love you, Nara."

Nara kembali mengangguk.

"Sakit?" Danish menyentuh bekas perbuatannya.

"Kayak dicubit."

"Kamu mau bales? Silakan, nggak apa-apa." Danish memiringkan kepala, memberikan lehernya. "Kamu boleh ngebales. Kamu gigit juga nggak apa-apa. Biar impas dan kamu lega."

Nara menggigit bibirnya, menatap leher Danish sembari menelan ludah susah. Hal yang tidak pernah ia lakukan, sedikit tidak percaya diri dan malu. Namun, dorongan rasa kesalnya membuat Nara berani untuk membalas. Menggigitnya.

Tampak raut wajah Danish menahan sakit beberapa detik, kemudian tersenyum saat Nara puas membalasnya.

"Nyebelin! Kalau marah nyeremin!"

"Aku minta maaf, ya?"

"Aku juga salah."

"Ada yang dipendem lagi, nggak? Masih takut sama aku?"

Nara mengangguk. "Nanti kalau tanganmu udah sembuh, lalu kita ... kamu..."

Danish paham maksud Nara, pria itu tersenyum sembari mengusap pipi kanan istrinya, "Aku janji aku pasti melakukannya dengan lembut. Itu juga sama-sama pengalaman pertamaku, Nara. Aku janji itu akan menjadi pengalaman yang indah dan berkesan untuk kita berdua. Hm?"

Nara bergeming menatap sorot Danish yang menunjukkan ketulusan. Perlahan luruh segala rasa takut dan khawatirnya.

"Aku udah urus visa buat kamu."

"Ha? Visa? Mau ke mana?"

"Honeymoon. Tapi sebelum itu, kita ke dokter dulu, ya."

"Memangnya mau ke mana pakai visa segala?"

"Ke mana tebak."

Nara menggeleng, tidak punya sama sekali petunjuk.

"Jepang," ungkap Danish sembari tersenyum.

Nara menutup bibirnya yang melongo. Matanya mengerjap-ngerjap tak percaya Danish akan mengajaknya ke negara itu. Negara impiannya. Sejenak Nara kehabisan kata-kata, speechless.

"Kita buat kenangan pertama kita di sana. Mau, kan?"

Mata Nara mengembun rasa terharu. Gadis itu mengangguk. Lalu memeluk Danish sembari mengucap, "Makasih, Kak. Aku pengin ke sana dari dulu ... makasih, Kak."

"Sama-sama, Sayang." Danish turut lega.

Nara melepas pelukan, menatap Danish dengan air mata haru dan bahagia mengalir di pipinya. "Tapi, Kak."

"Hm?"

"Memangnya kamu punya uang, ya, buat kita ke sana?"

Danish menyemburkan tawa, "Punyalah."

"Nggak pinjol, kan?"

Tawa Danish semakin keras sembari berdiri dan menarik Nara untuk turut berdiri, "Nggak usah khawatir soal uang. Aku ada, kok. Aku punya tabungan lebih, cukup buat kita dua minggu di sana. Nanti kamu buat itenarary-nya, ya."

Nara tersenyum lebar, kemudian memeluk Danish. "Makasih, Kak. Makasih sekali lagi. Makasih udah ngeyakinin aku kalau kamu beneran sayang sama aku."

"Demi Allah, aku beneran sayang sama kamu, Ra. Kamu tega sekali mikir kalau aku nggak beneran sayang." Danish menelangkupkan dua tangannya di dua pipi Nara. "Perempuan, perempuan," gerutunya sambil terkekeh.

"Sayang, nggak?"

"Sayang, sayang, sayang," jawab Danish sambil menghujami wajah Nara dengan kecupan.

"Cinta, nggak?"

Danish tersenyum miring sungguh berhadapan dengan perempuan memang sesukar itu memahami, padahal bukti dan sikapnya sudah menunjukkan seberapa besar rasa sayang dan cinta, tetap saja perempuan akan terus menanyakan.

"Cinta..." lirih Danish menjawab sembari mengecup bibir Nara. Memagutnya dengan lembut, seolah semua cinta diberikan pada ciuman itu agar Nara benar-benar percaya dan yakin.

"I love you, Naraina..." ucap Danish tanpa melepas pagutan.

Air mata mengalir di pelupuk Nara, tanda luruh segala perasaan takut pada suaminya sendiri, sebagai pula tanda keyakinan yang besar akan cinta Danish, terpupuk di hatinya.

***


Danish tersenyum dari jauh melihat Nara sedang asyik menikmati kari kepiting bersama Karin di sudut kantin. Tawa dan senyum gadis itu terlihat seperti potongan video klip yang menyatu sempurna dengan lagu yang tengah berputar di seluruh lantai kantin.

Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow

Nara seperti warna bagi hidupnya yang selama ini hanya hitam dan putih. Bias warna Nara merangkul setiap sudut gelap hati Danish, menerangi benaknya yang terkadang abu-abu dan pekat. Seperti warna matahari terbit yang indah dan menghangatkan.

Bagaimana cara Nara berbicara, tersenyum, tertawa, bahkan hanya sekadar berkedip dan bernapas, semua tampak indah di mata pria yang sedang jatuh cinta padanya.

Seperti ada magnet yang menarik mata Danish untuk terus menatapnya, seperti ada benang yang terus menarik sudut bibir Danish untuk tersenyum.

"Itu makanan nggak bisa lari sendiri ke mulut lo, ya, Nish," tegur Marvin yang duduk di depannya.

Danish melirik Marvin dengan kekehan kecil, "Nggak selera makan. Lagi seleranya sama Nara."

"Ketombe babi—" umpat Marvin sebal dengan kebucinan sahabatnya. "Lo dulu nggak kayak gini, deh."

"Bisa, nggak, berhenti bahas yang dulu?"

Marvin mendengkus sebal. Dulu saja Danish seperti tidak akan pernah jatuh cinta lagi dengan perempuan lain setelah putus dengan Isabel. Berkat Nara yang tidak mudah menyerah menaklukan hati Danish, pria itu akhirnya jatuh cinta lagi.

"Gue harus jadi muridnya Nara, nih."

Danish menatap tak suka.

"Buat menaklukkan hati Karin," lanjut Marvin.

"Nggak usah macem-macem. Usaha sendiri, pikir sendiri."

"Pelit lo, protektif amat!" Jeda sebentar melahap makanannya, "Jadi ke Jepang? Kapan?"

"Bulan depan. Selesai Pekan Olahraga Tahunan." Danish turut melahap makanannya, "Bisa, kan, cuti dua minggu?"

"Sebulan juga nggak apa-apa, sekarang gue bisa handle. Demi lo nanti bisa pindah ke Thunder Holdings." Marvin menaikturunkan alisnya, "Katanya Thunder Holdings mau bangun Mal, ya? Gue bisa kali ngelobi stand kopi gue di Atrium Malnya."

Danish tak menggubris, matanya fokus pada panggilan yang baru masuk di ponselnya.

"Harga temen, ya? Nanti bisalah kita bagi omsetnya."

Danish berdiri, "Aku mau angkat telepon dulu."

"Ya Allah, lo pelitnya nggak tanggung-tanggung ya, Nish," cerocos Marvin yang tak ditanggapi Danish.

Danish keluar dari kantin, menjauh beberapa langkah. Setelah memastikan aman untuk mengangkat telepon, ia mengusap panel hijau dan mendekatkan benda pipih itu di telinga kiri.

"Halo?"

"Apa kabar, Danish?"

"Tidak usah basa-basi. Ada apa?" Nada Danish terdengar dingin, seolah enggan untuk berurusan dengan si penelpon.

"Kurang ajarmu terhadap orang tua memang tidak pernah berubah."

Danish hanya menghela napas panjang, tak menyanggah apa pun.

"Pastikan besok kamu hadir di pesta. Aku sudah mengundurnya demi untuk menunggumu bisa hadir. Pastikan juga untuk mengajak istrimu."

"Jangan berharap. Aku tidak akan membawa istriku ke sarang serigala."

"Sarang serigala itu juga ada ibumu di sana." Terdengar tawa di seberang sana. "Aku tunggu. Besok. Pastikan untuk datang atau ...serigala ini akan memakan ibumu."

Danish memutus panggilan secara sepihak, ada lonjakan amarah yang meledak di dalam hati dan mati-matian diredam dengan tenang. Pria itu memejam sejenak sembari mengatur napasnya yang sempat naik turun memburu.

"Kak?" suara itu terdengar bersamaan dengan usapan kecil tangan seseorang terasa di punggungnya. Danish menoleh dan mendapati Nara berdiri di belakangnya, "Kamu baik-baik aja?"

Amarah dalam dada dipaksa untuk padam, senyuman terbit menggilas saraf emosinya.

"Hai," sapanya pada Nara.

"Ada masalah?"

"Nggak ada. Kamu udah selesai makan siangnya?"

"Siapa yang telepon?" tanya Nara tak menghiraukan pertanyaan Danish, ia menangkap gelisah di mata suaminya. "Keluargamu, ya?"

Danish diam untuk beberapa saat. Terlihat seperti menimbang-nimbang keputusan.

"Mamamu baik-baik aja, kan, Kak?"

Danish masih bergeming, pikirannya sedang bertengkar dengan logika. Kalau besok tidak datang, ibunya akan terancam. Namun, jika ia besok datang ke pesta bersama Nara, Danish takut sesuatu terjadi pada istrinya.

"Kak?"

"Baik, kok," jawab Danish sambil mengangguk, jeda beberapa detik, "Nara ...kamu mau ketemu mamaku?"

"Hah?" Mata Nara berbinar, terlihat senang. "Mau dong! Kapan?"

"Besok."

"Besok?" Nara melongo sebentar, terdengar sangat mendadak.

"Iya. Besok ayo ketemu mamaku di Pendopo Agung."

***

Besok aku libur update karena mau keluar kota, insyaallah lusanya aku update, yaaa 🦋
tapi kalau aku besok sempet nulis, keknya besok update meski nggak banyak.

Komen 500  deh biar aku besok semangat nyempetin nulis ☝️😬
(jangan spam tanda baca, kalau bisa ada kalimatnya yaa)

Kalau kalian suka sama cerita ini, kalian boleh tag aku di IG ya. Nanti aku repost 🥰
IG : dianafebi_

Sampai jumpa part selanjutnya 💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro