39. Hukuman
Vote dulu, baru baca 👀
(Yang ikutan kesel, jangan banting hape)
Happy reading 🔥
.
.
.
Pukul sebelas siang Nara sampai di kedai Pak Wibis. Beruntung hari ini ternyata Pak Wibis tidak ada di tempat, Nara menemui asisten manager Pak Wibis untuk meninjau data pengunjung, laporan pelanggan, inspeksi dapur dan ketersediaan stok. Tak luput juga Nara mengecek ketersedian kanvas dan alat lukis yang sudah didistribusikan setiap cabang seminggu yang lalu.
"Kanvasnya sisa banyak, ya. Ini emang nggak ditaruh di depan, ya, Kak?" tanya Nara pada asisten manager Pak Wibis, Lidya.
"Tahu sendiri gimana Pak Wibis, beliau satu-satunya manager toko yang nggak setuju dengan konsep ini. Katanya kedai jadi kotor gara-gara cat kuasnya. Ngomel-ngomel setiap hari, jadi kami nggak berani buat ngeluarin kanvas meski banyak pelanggan yang nanya."
Nara mengembuskan napas panjang, merasa kecewa dengan sikap Pak Wibis. Padahal perusahaan ini bisa bangkit lagi karena konsep itu, antisipasi pelanggan membeludak dan ramai di sosial media. Seharusnya Pak Wibis paham ke mana arah zaman, bukan stuck pada zamannya yang sudah tertinggal puluhan tahun yang lalu.
Semua kedai waralaba milik Nawasena yang sudah berganti nama Kedai Soonday kompak mengusung tema dan konsep mental health. Jika ada satu kedai cabang yang tidak mengikuti, akan menjadi masalah ke depannya. Penilaian netizen bisa menjadi boomerang bagi perusahaan, Nara tidak mau Kedai Soonday 'cacat' karena Pak Wibis tak mau ikut aturan.
Lama Nara berpikir, akhirnya ia memutuskan sesuatu.
"Jam berapa beliau kira-kira ke sini?"
Lidya menoleh ke jam dinding, "Nikahan keponakannya katanya selesai jam satu siang, tadi pagi beliau bilang langsung ke sini kalau sudah selesai."
Nara tampak menimbang-nimbang sejenak. Memperkirakan durasi perjalanan sampai kantor sebelum Danish selesai rapat.
"Kayaknya keburu, deh," ujarnya kecil, "Ya, udah, Kak, saya tunggu aja sampai Pak Wibis datang. Saya perlu bicara dengan beliau."
"Beneran, Kak? Emangnya nggak takut, ya? Waktu itu, kan, pernah disuruh nyuci piring."
Nara tersenyum kemudian menggeleng. "Tenang aja."
"Ya, udah, kalau gitu. Mau saya buatkan minum sambil nunggu?"
"Boleh, boleh."
Lidya kembali ke counter kedai, sementara Nara duduk di salah satu meja. Tak lama Lidya membawakan segelas es kopi dan donat. Sembari menunggu Pak Wibis, Nara menulis laporan survei. Kedai Pak Wibis mendapat ulasan paling buruk di antara banyaknya cabang di kategori sikap dan pelayanan. Namun, kedai ini mendapat ulasan terbaik ke-tiga dalam kategori rasa dan penyajian menu.
Nara menghela napas panjang. Jadi, bingung bagaimana memberi penilaian umum pada kedai Pak Wibis. Tempatnya bersih dan tertata rapi, menu lengkap dan dapur lolos inspeksi kebersihan. Produk terjaga baik dan hampir tidak ada yang melewati tanggal masa edar.
"Definisi not bad but not good, jadi bingung." Nara membolak-balik kertas survei.
Jarum jam berputar tak terasa, hampir pukul satu siang. Usai kembali dari salat zuhur di musala kedai, Nara belum melihat tanda-tanda Pak Wibis datang. Ia kembali duduk dan menunggu. Hingga terkantuk-kantuk dan tak sengaja tertidur.
"Kak, Kak Nara?" Lidya membangunkan.
"Iya?" Serta merta Nara bangun, mengusap bekas ilernya yang terasa di pinggiran bibir.
"Pak Wibis sudah datang."
"Oh, ya?" Baru saja mau berdiri, mata Nara sudah menangkap pria paruh baya yang perutnya njemblung itu sudah berdiri di sampingnya. Menatap tajam, alisnya bertaut seram. "Halo, Pak."
"Kalau tidur jangan di sini!" semprotnya membuyarkan seluruh kantuk Nara. Pak Wibis melempar serbet, "bersihkan bekas ilermu dan pergi dari sini!"
Pak Wibis berjalan ke arah counter kedai. Nara buru-buru mengelap meja dengan serbet, kemudian menyusul ke counter kedai.
"Orang pusat kerjanya seenaknya sendiri. Dateng-dateng cuma molor, hobinya komplain ini itu. Survei, survei, nggak guna!" cerocos Pak Wibis, suaranya menggelegar. "Kamu! Ngapain kamu ke sini?"
"Su—survei."
Pak Wibis melempar celemek plastik ke arah Nara, "Cuci piring sana!"
Nara meletakkan celemek itu di atas meja counter, "Bapak, kan, sudah setuju soal konsep yang kita sepakati bersama. Kenapa kanvasnya nggak dikeluarkan? Itu namanya melanggar aturan, Pak."
"Aturan siapa?" Pak Wibis mendelik. "Siapa yang sepakat? Nggak ada yang disepakati bersama. Pusat itu yang semuanya sendiri. Memangnya pernah mendengar masukan manager toko? Nggak, kan? Pusat menentukan aturan demi keuntungan sendiri!"
Pak Wibis lanjut mengoceh, bahkan pria paruh baya itu tak senggan untuk mengumpat atas aturan yang dibuat oleh kantor pusat. Nara berdiri mendengarkan setiap kalimat Pak Wibis. Acungan telunjuk yang mengarah dengan suara yang menggelegar membuat Nara beberapa kali tersentak kaget.
Usai mengomel, Pak Wibis diam menatap Nara yang sejak tadi tidak satu pun membantah kalimatnya.
"Boleh saya ngomong?"
Pak Wibis melengos.
"Saya punya papi seusia Bapak. Dulu beliau seorang atlet timnas yang pernah mendapat medali emas di olimpiade. Namun, karena satu hal, Papi pensiun dini dari timnas. Katanya waktu itu Papi sulit untuk mengontrol amarah, seolah selalu menyalahkan apa pun yang terjadi karena orang lain. Semua tampak salah. Banyak teman dekat Papi yang akhirnya benci dan menghindar karena emosi Papi yang tidak bisa ditebak."
Pak Wibis tampak tidak mendengarkan, tak acuh.
"Post Power Syndrom," lanjut Nara menyebutkan sebuah kondisi kejiwaan yang dialami oleh orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan yang diikuti dengan penurunan harga diri. "Papi didiagnosa gangguan itu. Gejalanya mudah tersinggung, mudah sakit hati, mudah marah. Perubahaan mood yang tidak stabil. Umumnya dialami oleh orang-orang yang baru saja pensiun atau orang yang masa jabatannya selesai."
Mata Pak Wibis kian nyalang, seperti ingin melahap Nara bulat-bulat. "Jadi, kamu nuduh saya gangguan jiwa?!"
Meski lututnya bergetar karena takut, Nara mengangguk.
"Berani-beraninya! Keluar kamu dari sini!"
"Saya sarankan Bapak ke psikiater atau bisa mulai dengan melukis di kanvas yang ada di gudang. Atau Bapak bisa mulai dengan mengakui diri kalau Bapak sudah bukan lagi Koki Utama di Kapal Pesiar," ucap Nara dengan nada cepat.
Byur! Pak Wibis menyiram Nara dengan es kopi di atas meja counter. Semua karyawan berseru kaget, beruntung detik ini tidak ada satu pun pelanggan di kedai. Namun, ada calon pelanggan yang urung masuk karena melihat kejadian tersebut.
"Keluar dari sini!"
Lidya berniat membantu Nara, tetapi ia ciut karena melihat kemarahan Pak Wibis. "Kak, udah..." katanya dengan suara setengah berbisik.
Nara mengusap wajahnya yang penuh dengan kopi, melebur dengan air mata yang mengalir. Gadis itu mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, meletakkan kartu itu di meja counter.
"Papi saya bisa sembuh. Saya yakin Bapak juga." Nara meraih tasnya di meja, "Saya undur diri."
Nara keluar dari kedai sembari mengusap air mata yang mengalir. Sejak pertama kali bertemu dengan Pak Wibis, Nara sudah bisa membaca gangguan yang dialami Pak Wibis. Gangguan yang dulu pernah dialami papinya. Post power syndrome. Tak serta merta langsung tahu, Nara yakin seratus persen Pak Wibis sedang mengalami gangguan itu setelah mendengar latar belakang Pak Wibis yang mantan seorang koki utama di kapal mewah.
"Kak Nara!" Lidya memanggil, ia mengulurkan sweater, "Pakai ini, ya. Bajunya kotor."
"Makasih, ya, Kak. Nanti saya paketin deh sweaternya."
"Gampang itu. Hati-hati, ya, pulangnya." Lidya menjeda kalimat sebentar, "Makasih."
"Makasih buat?"
"Makasih udah perhatian sama Pak Wibis. Saya tahu Kak Nara ngomong kayak tadi karena peduli. Makasih, ya, Kak. Pak Wibis sebenarnya orang yang baik."
Nara mengangguk. Setelah itu ia berpamit. Jam menunjukkan pukul setengah tiga sore. Hanya ada setengah jam untuk bisa sampai di kantor. Dan itu mustahil akan tiba tepat waktu. Gadis itu mendesah pasrah, ia harus mencari alasan apa kepada suaminya.
"Pulang ke rumah papi aja, kali, ya?" Nara berdecak kesal. "Papi lagi ada di proyek."
Sebuah pesan masuk ke ponsel Nara.
From Veve: Ra, Pak Danish tahu kamu kunjungan ke Sentul.
"Ck," decak Nara kesal. Tamat riwayatnya sudah.
Tak lama panggilan dari Danish masuk. Nara mencak-mencak kesal karena semua tidak berjalan sesuai dengan perkiraan dan rencananya. Meski menyesali keputusannya untuk pergi kunjungan, jauh di lubuk hatinya ia merasa lega akhirnya bisa menyampaikan apa yang selama ini ingin disampaikan ke Pak Wibis.
Nara mengusap panel hijau mengangkat panggilan suaminya setelah mengumpulkan segala keberanian. Pelan ia menempelkan benda pipih itu ke telinga kiri.
"Pulang," ujar Danish singkat menandakan pria itu tengah marah.
"Hm."
"Nggak usah ke kantor. Langsung pulang ke rumah."
"Iya."
Setelah itu panggilan terputus. Dengan langkah penuh dengan kepasrahan, Nara pulang.
***
Jakarta dan kemacetan seperti jodoh tak terpisahkan. Perkiraan sampai di rumah sebelum magrib, nyatanya kemacetan membuat kaki Nara sampai di depan pintu apartemen sekitar jam tujuh malam. Perutnya lapar karena hanya makan donat dan segelas es kopi tadi siang. Sebentar lagi ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi kemarahan suaminya.
"Assalamualaikum?" Nara masuk.
"Walaikumussalam," jawab Danish. Pria itu duduk menyilangkan kaki di sofa ruang tamu, menunggu Nara.
"Kak?"
"Cepat mandi dan ganti pakaian, aku tunggu di ruang makan." Danish beranjak dari sofa. Berjalan ke arah ruang makan. Meninggalkan Nara yang sudah menggigit bibir karena takut dan merasa bersalah karena ketahuan berbohong dan pergi tanpa izin.
Usai mandi dan berganti piyama, juga menunaikan kewajiban yang terlewat dan menggantinya. Nara berjalan ragu ke ruang makan, terdengar Danish tengah menyiapkan piring dan menghangatkan lauk. Ditata di meja makan.
"Makan," titah Danish dengan nada dingin. Pria itu juga duduk di sana, ia juga belum makan sejak mendengar Nara pergi kunjungan tanpa seizinnya.
Nara mengangguk, kemudian perlahan duduk berseberangan dengan suaminya. Sesekali melirik, jelas ada kemarahan yang tersirat di sorot pria itu. Namun, Nara masih belum berani untuk memulai kalimat. Mereka makan dengan bisu, hanya dentingan sendok yang bersinggungan dengan piring mengisi kekosongan.
Danish benar-benar mendiamkannya.
Saat mencuci piring, Danish juga tidak menegur atau mengatakan apa pun. Nara yang membilas dan Danish yang menata piring di rak. Setelah rampung, pria itu beranjak terlebih dahulu dari dapur.
"Kak!" panggil Nara karena merasa frustasi didiamkan sejak tadi.
Danish menoleh.
"Kamu marah sama aku?"
"Menurutmu?" sahutnya dingin.
"Ya, kalau marah, marah dong! Omelin aku, apa gitu kek, jangan diem aja."
"Emangnya kamu bisa ngatasin kalau aku marah?"
"Ya, coba aja. Daripada diem-dieman. Emangnya bisa nyelesaiin masalah?" sahut Nara jadi ikut sebal, "Aku emang salah, aku minta maaf. Tapi, jangan diemin aku, Kak. Kalau kamu marah, ya, marah aja. Atau kalau kamu mau kasih hukuman biar kapok, aku terima, kok."
"Oh, ya?" Satu alis Danish terangkat.
"Kalau itu bikin masalah kita selesai, aku terima apa pun hukumanmu."
Pria itu tersenyum miring, kemudian berbalik jalan keluar dari area dapur seraya berkata, "Temui aku di ruang kerja."
Sembari menatap punggung Danish yang menjauh dan hilang di balik pintu ruang kerja, Nara menghela napas panjang. Bahunya membengkung pasrah. Pasti Danish akan menyuruhnya menulis berlembar-lembar permintaan maaf, atau disuruh menyalin dan mengetik ratusan data pelanggan. Hal-hal yang paling dibenci Nara di kantor, rekapan penjualan yang bikin pusing tujuh keliling.
Nara masuk ke ruang kerja Danish dan mendapati pria itu berdiri di depan meja, membelakangi pintu. Arm sling-nya dilepas, tengah membaca tumpukan dokumen. Sepertinya memang benar, Danish akan membuatnya kapok melanggar larangannya dengan merekap tumpukan dokumen penjualan di atas meja itu.
"Jadi apa hukumannya? Ngerekap? Nyalin? Atau ngetik?" Nara berdiri di belakang Danish.
Danish meletakkan dokumen yang dipegang di atas meja, kemudian berbalik berhadapan dengan Nara. Mereka saling beradu tatap. Nara mencoba memasang wajah kucingnya, tampak memelas, tetapi itu tidak berhasil meluluhkan kemarahan Danish.
"Apa hukumannya?" Suaranya semakin lirih, matanya membulat dan berkedip pelan.
Suaminya itu tersenyum miring, membaca gerak-gerik Nara yang berusaha membuatnya luluh.
"Hukumanmu..." Danish menjeda sejenak, "Cuma berdiri di situ."
Nara terkejut, "Berdiri aja? Cuma berdiri di sini? Sampai kapan?"
"Sampai aku bilang, cukup."
Nara mengerutkan kening. "Beneran berdiri aja?"
"Hm. Berdiri dan jangan bergerak."
Kening Nara mengerut sembari menatap Danish yang berekspresi datar. Meski tidak begitu paham maksud suaminya, Nara mengangguk. Menerima hukuman.
"Oke." Gadis itu berdiri tegak, meski kakinya pegel dan badannya capek. Ia harus menerima hukuman ini. Ia tidak mau berlarut-larut membuat suaminya marah.
Danish menatap Nara sekian menit, tanpa suara. Hanya menatap gadis itu yang sesekali melirik dan mendongak ke arahnya. Sejak tahu Nara pergi tanpa izin, Danish benar-benar marah besar, ia bahkan menggebrak meja Sofie dan mengancam memecat perempuan itu jika sesuatu terjadi pada istrinya. Orang-orang memang tidak tahu jika dirinya dan Nara dalam masa berperang, tidak tahu apa rencana kubu sebelah untuk menghancurkan rencana kudeta Danish. Bisa jadi dengan menyakiti Nara.
Danish meminta Pamannya untuk mengirim orang ke Kedai Sentul, mengawasi Nara sampai gadis itu pulang dengan selamat. Danish sendiri kesal dengan keadaannya yang masih dalam pemulihan, karena tidak bisa langsung menjemput Nara.
Jujur, detik ini rasanya Danish ingin berteriak di telinga Nara untuk tidak melanggar larangannya. Sebagai risiko gadis itu telah terjun dalam peperangan. Danish hanya takut jika sesuatu terjadi pada Nara. Hanya itu. Namun, ia tidak bisa marah. Danish tidak bisa marah pada gadis yang ia cinta.
Pria itu berjalan dan berdiri di belakang Nara. Satu-satunya untuk meredam marah adalah dengan melakukan ini. Hukuman untuk istrinya itu.
Nara tersentak kaget saat tiba-tiba tangan Danish menyibak rambut di bahu kanannya, "Nga—ngapain, Kak?"
"Jangan bergerak. Kamu masih dalam hukuman."
Nara tidak punya petunjuk, apa yang akan suaminya lakukan. Namun, dadanya perlahan berdebar kaget saat perlahan Danish menarik sisi kanan kerah piyamanya. Sekujur tubuh Nara langsung mendadak kaku. Ia mulai membaca apa yang akan selanjutnya Danish lakukan. Gadis itu menelan ludah dengan pelan.
Tengkuk leher yang polos dan tampak indah itu terlihat jelas di depan mata Danish. Tengkuk yang sama di hari pria itu menikahi Nara dan sempat membuatnya goyah beberapa kali.
"Gentleman won't do it without permission, right?" Nara mengingatkan kalimat yang pernah dilontarkan Danish beberapa hari yang lalu. Nadanya terdengar bergetar, antara takut dan juga bingung.
Danish tersenyum, "Benar. Tapi," Kalimatnya menggantung.
"Tapi?" Nara mencengkeram ujung piyamanya.
"Kamu melanggar apa yang aku larang. Kamu tahu, pergi tanpa izin juga termasuk penghianatan."
Nara tidak terima dengan sebutan itu, gadis itu berbalik badan, tetapi dua tangan Danish menahan untuk tetap pada posisinya.
"Kamu berhianat pada janji dan terima konsekuensinya."
"Aku—" Kalimat Nara terhenti saat lehernya disentuh bibir Danish.
Nara memejam dalam merasakan sensasi tersengat listrik menjalar dari satu titik ke seluruh tubuhnya, merinding sekujur badan, meremang seluruh bulu kuduknya. Gadis itu menahan napas. Rasa aneh yang baru pertama kali dirasakan yang membuatnya menggigit bibir kuat. Jantungnya terasa ingin meledak detik itu juga.
Sensasi terbakar itu kian lama kian berubah menjadi sensasi cubitan.
"Kak..." desisnya merasakan sakit. Hingga rasanya tidak tahan, Nara benar-benar merasa kesakitan. "Kak, sakit!"
Gadis itu melepaskan diri dari suaminya. Ia berbalik dan mundur beberapa langkah, menatap Danish seperti vampir yang baru saja menghisap hebat darah mangsanya, bahunya tampak tersengal-sengal naik turun.
Sisi lain Danish yang detik ini baru Nara tahu dan cukup membuatnya syok.
"Jangan sekali-kali lagi pergi tanpa izin, Nara. Aku benar-benar marah," ucap Danish di tengah bahunya yang naik turun. "Bukan untuk mengengkangmu, tapi aku takut sesuatu terjadi sama kamu. Kamu harus tetap berada di dalam jangkauanku."
Meski masih syok dengan apa yang baru saja terjadi, Nara memahami apa yang ditakutkan Danish. Seharusnya Nara juga berpikir demikian, ia sudah menikah dan dalam masa berperang. Seharusnya ia bisa berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu. Tidak bisa semaunya sendiri.
Gadis itu mendekat, lalu perlahan memeluk suaminya, "Aku minta maaf. Aku nggak akan ngulangin lagi, aku janji," katanya yang kemudian menangis menyesali perbuatannya.
Danish menghela napas panjang, mengendurkan segala urat dan sarafnya yang menegang karena amarah yang ditahan mati-matian. Perlahan ia menyambut pelukan sang istri, bernapas lega karena akhirnya luruh segala amarahnya.
"Aku maafin." Danish memeluk erat. "Aku juga minta maaf sudah tega memberimu hukuman, aku harap ini yang pertama dan yang terakhir kali. Hm?"
Nara mengangguk. Masih sesegukan menangis.
Di balik wajah tenang dan sikapnya yang dingin, tidak banyak orang tahu selain Marvin dan keluarganya bahwa Danish memiliki anger issue akibat dari penyiksaan yang dialami sejak kecil. Satu hal yang dikhawatirkan pria itu jika lepas kontrol ketika menghadapi Nara yang menjadi sumbu amarahnya. Karena itu pernah terjadi dan ia menyesal setengah mati.
***
Danish api, Nara bensin. Darr, meledak🔥🔥
Jangan lupa follow IG dianafebi_
Tiktok dianafebi_
Penerbitnya blackswan_books
See you next part 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro