37. Tanpa Izin
Miaowers! Aku ada kabar gembiraaa!
Hello, Jodoh mau naik cetak dalam waktu dekat ini loh!
Tenang, tenang, pasti ini aku selesaikan sampai tamat di wattpad. Nggak akan digantung hehe.
Jangan lupa follow IG author ya, dianafebi_
atau IG penerbit blackswan_books
Oke, selamat membaca!
Romance Act ⚠️
***
Lampu kamar mati sejak satu jam yang lalu, dua manusia berbaring di atas ranjang. Satu terlelap terjun ke dunia mimpi, sementara satunya masih terjaga, menatap dengan senyuman setiap jengkal wajah yang terlelap di hadapannya.
Jantungnya berdegup kencang, ujung bibir pria itu tak berhenti tersenyum. Ia menyadari telah jatuh hati, jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Aku sebodoh itu pernah nolak kamu, ya," monolognya dengan suara lirih, sembari perlahan meraih helaian rambut Nara yang menghalangi wajah gadis itu.
Danish sisipkan pelan helaian rambut itu ke belakang telinga Nara. Bias lampu tidur yang semburat di ruangan ini menambah kesan cantik dan menarik di mata Danish.
"Kamu kenapa seimut ini?" Danish menekan-nekan pelan pipi Nara, kenyal dan empuk. "Kayak boneka."
Merasa terganggu, Nara mengerang sambil mengusap pipinya.
Danish tersenyum lebar, merasa lucu.
"Kamu kalau marah nyeremin, ya. Tapi, aslinya lucu. Apalagi kalau ngomel, mirip Marsha and The Bear. Bla, bla, bla, pipinya ngembung kayak ikan buntal."
Danish kembali menoel-noel pipi Nara. Merasa terusik, Nara akhirnya terbangun. Matanya memerah menatap kesal.
"Kamu ngapain sih, Kak?" protesnya sembari menarik selimut untuk menutupi wajahnya.
"Nggak bisa tidur."
Nara menyibak selimut, "Bahunya nyeri?"
"Sedikit."
"Mau minum obat anti nyeri?"
"Iya, habis ini."
"Ya, udah, sebentar aku ambilin obatnya." Dengan sempoyongan Nara bangkit, matanya terasa pedes dan mengantuk.
"Nggak usah, aku bisa ambil sendiri. Kamu tidur lagi aja."
"Nggak apa-apa, sekalian aku mau minum. Haus."
Nara beranjak dari ranjang, berjalan ke pintu dengan langkah gontai. Tidak lama kemudian, dia kembali membawa satu gelas air minum dan obat.
"Bismillah dulu," ucapnya sembari menyodorkan gelas dan obat tersebut ke Danish yang sudah duduk menunggu.
Danish tersenyum sembari mengucap bismillah, lalu meneguk obat dan menghabiskan air di dalam gelas. Gelas itu diulurkan kembali ke Nara, diletakkan di nakas.
"Makasih."
"Kamu perlu sesuatu lagi?"
"Nggak, Ra. Tidur lagi aja."
Nara mengangguk sembari kembali naik ke ranjang, berbaring di tempat semula.
"Ra?"
"Hm?" Setengah terbuka matanya menatap Danish.
"Bisa deketan nggak? Aku pengen tidur peluk kamu, boleh?"
Mata Nara yang setengah terbuka itu langsung terbuka lebar, ia mengerjap-ngerjap sebentar. Apakah tadi salah mendengar?
"Kalau kamu nggak nyaman gapapa, nggak perlu. Kamu tidur lagi aja, gih." Danish tersenyum.
"Bukan gitu." Nara menjeda kalimat, "kalau kena tanganmu yang sakit, gimana?"
"Tanganku yang sakit, kan, sebelah sini." Tunjuk Danish di sisi seberang Nara.
"Bener?"
"Hm."
"Oke."
Perlahan Nara menggeser posisinya menjadi lebih dekat, melingkarkan tangan kirinya ragu di perut Danish. Pelan-pelan takut menyenggol tangan Danish yang sakit. Sementara itu tangan Danish yang bebas, menarik bahu Nara untuk lebih mendekat. Menjadi bantal kepala gadis itu.
Beberapa detik melewati suasana yang canggung. Rasa kantuk berubah menjadi rasa berdebar. Nara menelan ludahnya pelan, saat indera penciumannya penuh dengan aroma yang menguar dari tubuh Danish. Aroma Invictus.
Aroma yang beberapa bulan yang lalu seperti magnet, menarik Nara dalam rasa suka yang berbunga-bunga. Terasa mustahil bisa menghirupnya sedekat ini.
Detak jantung yang terdengar di telinga mengalihkan perhatiannya.
"Maaf, aku nggak bisa ngontrol jantungku," ujar Danish seolah tahu Nara mendengar detak jantungnya yang kencang.
Nara tersenyum sebentar, lalu memberanikan diri untuk meletakkan tangannya di atas dada kiri Danish. Detaknya kian terasa, kian naik turun napas pria itu.
Sesuatu yang membara tengah memburu.
Danish mengubah posisinya miring, menghiraukan bahu yang nyeri karena gerakannya yang tiba-tiba. Nara mendongak dan mata mereka bersitatap.
"Kenapa, Kak? Butuh sesuatu?"
Mata Danish jatuh pada lekukan bibir merah muda milik Nara, kemudian matanya kembali ditarik ke atas menatap dua retina istrinya.
"Boleh aku menciummu?"
Nara tersentak kaget, matanya mengerjap cepat.
Mereka membisu untuk beberapa detik. Napas dan detak jantung mereka hampir seirama, naik turun dengan cepat.
"Ke—kenapa selalu minta izin?" Nara sedikit tergagap, kantuknya benar-benar buyar.
"Karena ... " Danish tidak bisa menjelaskan detailnya, berhubungan dengan kisah orang tuanya yang rumit. Namun, Danish berpikir memang harus seperti itu, semua atas persetujuan kedua belah pihak untuk melakukan sebuah sentuhan.
"Karena kejadian waktu itu?" tebak Nara soal ciuman pertama mereka yang berantakan dan menyakitkan.
"Salah satunya," jawab Danish.
"Kalau aku bilang ... " Nara menelan ludah sejenak, "Untuk ke depannya kamu nggak usah minta izin. Kamu bebas mau cium aku, peluk aku, mau apa pun dari aku."
"But, that's your body, Nara. Gentleman won't do it without permission."
Nara menghela napas panjang, ia merasa bangga punya suami yang tahu aturan dan sopan santun. Namun, ia tidak habis pikir dengan benak Danish perihal suami izin menyentuh kepada istrinya. Maksud Nara, Danish punya kebebasan untuk apa pun. Kenapa harus minta izin.
"Kak?"
"Hm."
"Kamu ... memang suamiku, aku akui kamu gentleman, kamu punya prinsip dan kamu sangat memegang prinsip itu. Kamu nggak harus selalu bersikap dewasa, kamu boleh manja sama aku. Kamu boleh ngelakuin apa pun yang penting nggak nyakitin aku. Kamu boleh bersikap kekanakan, kamu boleh nangis di depan aku. Apa pun itu, tolong sertakan aku. Aku mau jadi orang pertama yang kamu tuju kalau kamu butuh bantuan."
Danish tersenyum, kemudian mengangguk.
"Terima kasih."
Nara menarik tangannya untuk menyentuh pipi Danish. Mengusap-usap pelan dengan ibu jarinya.
Sebuah proses perasaan mereka yang kian detik kian menyatu menjadi satu muara. Menggelorakan satu rasa dan satu cinta.
Nara benar-benar tidak menyangka, Danish yang beberapa bulan lalu hanya bayangan di pelupuk, kini benar-benar nyata di depan mata.
"So, may i?" tanya Danish meminta izin kembali.
Nara tertawa karena sepertinya tadi percuma memberi izin melalui kalimat panjang lebar. Ternyata Danish masih meminta jawaban yang tegas soal izin Nara.
"Iya, iya, boleh." Nara mengangguk.
Tawa Nara kian lama kian lenyap saat menyadari sorot dalam Danish yang mulai menyirobok matanya. Detak jantung kembali berdebar kencang, napasnya turut berhenti sekian detik ketika dengan pelan bibir Danish mendarat sempurna di bibir Nara.
Ciuman yang lembut dan penuh cinta.
Menarik segala benang ragu dan rasa penasaran. Nara yang tidak berpengalaman seperti Danish, mengikuti alur yang diarahkan oleh suaminya. Danish menepati janjinya untuk memberikan ciuman yang lembut, untuk mengganti ciuman pertama yang menyakitkan.
Dan malam ini Nara benar-benar sadar bahwa Danish telah menjadi miliknya. Baik, raga maupun hatinya.
•••
"Kasusnya Beni belum ada kabar, Kar?"
Nara dan Karin berada di kantin kantor, jam makan siang.
"Belum. Tahu sendiri gimana kerja penegak hukum kita, Ra. Apalagi Beni anaknya orang penting. Pasti banget dilindungi sama keluarganya yang punya kuasa."
"Yang sabar, ya, Kar. Gue yakin nanti kita bisa ungkapin kasus ini lagi kayak dulu. Kita udah pernah ngelewatin ini, kan, Kar, dulu. Jadi, lo nggak usah khawatir. Kita pasti bisa jebloskan lagi Beni ke penjara, hm?"
Karin tersenyum meski wajahnya kontradiksi dengan senyuman. Setiap malam ia diburu rasa takut jika tiba-tiba Beni muncul dan membuatnya celaka. Lebih ditakutkan lagi kalau Beni melukai orang-orang yang Karin sayang. Seperti apa yang yang telah terjadi ke ayahnya.
"Kak!" Nara melambai ke arah pintu kantin saat melihat Danish datang.
"Sebentar, ya, aku pesen makan dulu."
"Oke." Nara mengangguk.
Karin turut menoleh ke belakang, terlihat Marvin juga berada di sana, di belakang Danish. Pria itu melambai ke arah Karin.
"Kak Marvin gimana?"
"Gimana apanya?" Karin mengaduk soto di mangkok, kemudian melahapnya seolah pertanyaan Nara tadi hanya pertanyaan biasa, aslinya ada bimbang seperti jembatan goyah.
Pria bernama Marvin itu kerap mengusik pikirannya dari waktu ke waktu, menggoyahkan pendirian Karin untuk tidak lagi mengenal cinta. Setiap hari mengirim pesan, menyatakan perasaan. Meski ditolak berulang kali, pria itu tak gentar untuk menyerah.
"Dia ngajak touring bulan depan."
"Oh, ya? Ke mana?" Nara bertanya antusias, ternyata saran darinya dipakai oleh Marvin.
"Ke mana apanya? Gue nggak mau."
"Lah, kenapa?"
"Nggak bisa gue, kerja. Udah habis cuti gue, nggak bisa cuti lagi."
Nara mengembuskan napas panjang, turut kecewa. " Tapi, sebenarnya lo mau?"
"Mau aja, sih, asal rame-rame. Lo tahu sendiri, gue emang suka touring."
Nara mengangguk-angguk.
"Lagian gue juga nggak mau ke mana-mana, sih, Ra. Sebelum Beni ketangkep, gue kayaknya nggak bisa pergi jauh dengan tenang."
"Kan, ada Kak Marvin."
"Itu masalahnya. Karena ada Marvin. Gimana kalau Beni ketemu Marvin. Gue nggak mau ngulang kedua kalinya kayak apa yang terjadi sama bokap gue."
Nara tidak bisa menyanggah, ketakutan itu juga dirasakannya. Nara paham betul apa yang ditakutkan Karin.
Obrolan mereka tertahan saat Danish dan Marvin datang. Danish duduk di samping Nara, sementara Marvin di samping Karin.
Suasana tampak sedikit canggung di antara mereka. Sebelum akhirnya Nara membuka suara dengan menanyakan mengenai turnamen antar perusahaan yang akan diadakan minggu terakhir bulan ini.
"Kayaknya gue mau ikut lari estafet," ujar Nara. "Kalau lo Kar?"
"Nggak tahu. Di kantor kayaknya nggak begitu excited soal turnamen itu."
"Yaelah, kantor lu nggak asyik banget. Mending resign deh, terus ngelamar di kantor gue," sahut Marvin sambil mengunyah pentol.
"Ngimpi lo! Lagian mana cocok gue sama perusahaan kopi. Emangnya lo mau kopi lo gue campur pakai oli?"
"Loh, siapa bilang nggak cocok? Lo cocok kerja apa pun di kantor gue, jadi asisten pribadi gue juga cocok-cocok aja. Lo cuma perlu duduk dan nemenin gue makan siang. Gaji di atas UMR, plus bonus ngeliat ketampanan gue."
"Dih, bangun lo udah siang!" Karin memicing tajam, "Heran gue setiap makan siang di sini ketemu lo terus. Eh, Direktur itu makan siangnya di restoran sebelah. Bukan di kantin karyawan. Sana dah lo pergi!"
"Apa asyiknya restoran mahal kalau nggak ada lo? Kan, makan siang gue ngeliat muka lo."
Karin tidak segan-segan memukul kepala Marvin dengan garpu. Mengundang tawa Nara yang sedari tadi menonton pertikaian dua temannya itu.
"Hahahah, lucu, lucu, please, jangan berdamai dulu!" Nara bertepuk tangan.
Sementara Danish hanya tersenyum melihat Nara yang kegirangan.
Setelah beberapa menit kemudian mereka makan dengan tenang, dengan sesekali Karin dan Marvin adu sengit saling memicingkan mata. Berbeda dengan Nara dan Danish yang saling melirik dengan senyuman.
"Btw, Nish," ujar Marvin.
"Hm?"
"Bibir lo kenapa? Lagi sariawan?" tanya Marvin setelah memperhatikan dari tadi ada luka kecil di bibir bawah Danish.
"Uhuk!" Nara tiba-tiba tersedak, buru-buru dia minum es jeruk di gelas hingga tandas, kemudian berdiri. "Kar, lo udah selesai, kan? Yuk, balik. Mau ke toilet nih."
"Iya, bentar." Karin meraih gelas.
"Kenapa tiba-tiba kabur gue bahas bibir suami lo? Jangan-jangan lo, ya, yang gigit?" goda Marvin sembari tertawa di akhir kalimat.
"Ih, kalau ngomong!" protes Nara, meski apa yang dikatakan Marvin itu benar. Dia yang membuat bibir Danish terluka semalam.
"Nggak, bukan Nara yang gigit. Tapi, kucing," jawab Danish semakin membuat pipi Nara memerah.
"Kar, duluan ah!" Melesat kilat, Nara kabur dari sana.
"Kucing, miaowww!" goda Marvin semakin membuat langkah Nara cepat keluar dari kantin setelah mengembalikan piringnya.
"Ra! Tunggu!" Karin segera menyusul, sebelum itu Karin menatap Danish dengan tajam, "Jangan ajarin sahabat gue aneh-aneh, awas lo!"
"Eh, Danish tuh suaminya sahabat lo, ya, kalau lo amnesia. Mau dibolak balik gimanapun, terserah. Ah, iri bilang, Sis," sahut Marvin, berganti menggoda Karin.
"Najis!" Karin melesat dari meja kantin.
Meninggalkan Marvin yang tergelak. Danish berdiri tak lama dari itu.
"Eh, kok, udahan aja lo? Ini makanan gue belum habis."
"Mau nyusul istri, ngambek entar itu kalau nggak dibeliin yogurt. Bisa gawat nanti kalau di rumah." Danish berlalu dari meja meninggalkan Marvin yang berdecak kesal.
"Sialan, iri gue iriiii!"
***
Kemarin aku sibuk lagi di real life huhu, tapi ke depannya insyallah udah mulai longgar. Jadi, aku bisa update setiap hari, bismillah.
Oh, ya, aku mau minta pendapat dong!
Lebih baik scene dewasanya (wkwkw dewasa ga tuh) pokoknya scene itulah, di-skip atau nggak?
Kalau di-skip, no prob. Di novelnya juga di-skip kok 🤣
Kalau nggak di-skip, ya miriplah sama scene Daniel Judy yg honeymoon di Maldives ☺️
Jadi, tolong votenya yaaa 😭☝️
Sampai jumpa next part 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro